Dalam Dekap Rasa (Part 1)

1 comment

03 Januari 2010

Dear Tuan Pemberi Rasa

Hari ini hujan lagi. Apakah di tempatmu hujan juga?

Aku suka hujan. Bagiku, tiap tetes hujan mengandung sebuah harapan baru. Dan harapku adalah, semoga kau rasa limpahan cinta yang ku titip di tiap tetes hujan.

Adakah kau rasa? Cinta yang berjumpalitan di dada? Semua ku berikan semata untukmu saja.

Salamku, Buana

Sebuah tulisan singkat, tapi aku melihat ada banyak makna tersirat di sana. Sebuah pengharapan yang teramat besar bagi terbalasnya sebuah cinta.

Ku tatap nanar layar laptop. Tulisan singkat yang terdapat dalam sebuah portal berjudul www.dalamdekaprasa.blogspot.com tersebut selalu berhasil memakuku. Aku tidak pernah kenal siapa pemiliknya. Dia menamakan dirinya Buana dan rajin mengisi blognya dengan tulisan-tulisan yang sarat akan makna. Tidak ada petunjuk lebih mengenai dia. Dan ini membuatku bertanya-tanya, siapa dia?

Perkenalanku dengan blog ini tidak disengaja. Berawal dari keisengan menjelajah dunia maya mencari sebait puisi untuk ku selipkan di kartu ucapan selamat ulang tahuan kepada ibuku. Tepatnya, aku mengutip sebait puisi milik Sapardi Djoko Damono yang juga dikutip oleh si pemilik blog. Sejak saat itu, aku sering mengunjunginya. Kalimat-kalimatnya membuatku tidak bisa lupa dan terus menerus berkunjung ke sana.

Dia menemukan dirinya Buana. Entah apa maksud nama itu. Mungkin saja dia merasa dirinya seperti jagad raya, buana, yang lepas dan luas. Mungkin juga dia ingin seperti buana, alam raya, yang dengan ikhlasnya menjadi tempat tinggal manusia-manusia. Atau mungkin saja itu nama aslinya. Namun satu hal yang ku tahu, dia melampiaskan semua perasaannya melalui blog tersebut.

Dalam Dekap Rasa. Aku suka kalimat itu. Sederhana tapi penuh makna. dan kalimat itu cukup untuk menggambarkan perasaannya. Dari tulisan-tulisannya aku tahu kalau dia sedang jatuh cinta, tepatnya begitu mencintai seseorang. Namun sepertinya cinta itu bertepuk sebelah tangan. Pria yang di cintainya tidak pernah tahu mengenai perasaan itu. Dan dia memutuskan untuk memendam cintanya, alih-alih menyatakan langsung kepada si pria.

Mengapa aku seolah begitu mengenal dia? Well, aku selalu mengikuti perkembangan tulisannya satu tahun terakhir. Dan aku sudah melahap habis semua tulisan yang telah mendiami blog tersebut selama dua tahun.

Itu artinya dua tahun juga dia memendam rasa. Memendam cinta.

Tanpa sadar, aku turut prihatin padanya. Bayangkan saja, dua tahun memendam perasaan sementara pria yang kamu cintai tidak pernah menyadari kehadiranmu? Kamu hanya bisa memandangnya dari jauh, menitipkan pesan pada angin semoga angin berbaik hati menyampaikannya, menitipkan perasaanmu pada hujan dengan harapan agar hujan menyampaikan cintamu di tiap tetesnya di atas kepala pria tersebut, dan memandang bintang semoga bintang yang tahu perasaanmu segera memberitahukannya pada pria yang berada jauh di sana. Itulah yang dilakukan perempuan tersebut, Buana.

Setahun mengikuti kisahnya membuatku merasa dekat dengannya. Padahal, sedikitpun aku tidak tahu siapa dia. Berkali-kali aku meninggalkan komentar di sana, bertanya apakah aku bisa mengenalnya? Karena sejujurnya, aku menyukai tulisannya.

Aku jatuh cinta pada tulisan-tulisannya.

Aku mencintai kisahnya.

Dan? Ya, aku mau jujur. Aku telah jatuh cinta padanya, meskipun aku tidak tahu siapa dia.

Sebut aku bodoh, aku terima. Jatuh cinta pada seseorang yang tidak aku kenal sama sekali, bahkan apakah orang itu ada atau tidak, aku tidak tahu. Hanya saja, kisahnya begitu mengusikku. Aku suka tidak sabaran menunggu tulisannya yang di posting seminggu sekali itu. Aku hanya merasa, betapa beruntungnya pria yang dia maksud, dilimpahi cinta yang teramat dalam oleh seorang perempuan.

Jujur saja, aku ingin pria itu adalah aku.

10 Januari 2010

Dear Tuan Pemberi Rasa

Apakah kau lihat bintang malam ini? Begitu banyak dan bercahaya benderang. Malam gelap pun terlihat terang. Seharusnya itu bisa membuatku tenang. Kamu tahu aku suka bintang seperti aku mencintai hujan. Bintang benderang seterang hatiku tuan. Jika malam terang karena cahaya bintang maka hatiku terang akibat cinta mendalam. Cinta, untukmu.

Namun, seterang apapun cinta yang ku berikan. Sedikitpun tak kau hiraukan. Oh tidak, bahkan hadirku saja tidak kau pedulikan. Aku sanksi, adakah aku di ingatanmu? Adakah aku sedikit saja di hatimu? Bertahun ku pendam rasa. Memang, akulah si pengecut yang tak mau ungkap rasa. Bukan karena ku tak ingin tapi karena ku tak kuasa. Aku tak punya daya untuk memulai semua. Aku tak bisa gerakkan lidah untuk ungkap semua. Hasilnya? Ku hanya bisa tatap punggungmu bergerak menjauh dari mata.

Sampai kapan aku harus begini? Jujur, aku lelah dengan semua ini. Ingin ku teriakkan di hadapanmu perasaan ini. Ingin ku katakan betapa aku mencintaimu dan aku tersiksa memendam rasa. Ingin ku katakana semua di hadapanmu, tapi? Aku tak bisa. Ingin salahkan Tuhan saja. Mengpa Dia tak beriku kuasa untuk berkata? Tapi ku tahu ku tak bisa salahkan Dia.

Tidak, aku tidak bisa. Jadi ku putuskan untuk mencintaimu dalam diam saja.

Salamku, Buana

3 Comments

Restu

Maaf jika aku lancang, tapi sampai kapan kamu akan bersikap seperti itu? Menatapnya dari jauh dan mencintainya dalam diam. Dia perlu tahu perasaanmu. Percayalah, itu akan membuatmu tenang. Oh ya, sekali lagi ku katakan. Bolehkan aku mengenalmu?

January 10, 2010 07.25 PM

Buana

Terima kasih telah datang ke blogku. Kamu begitu rajin komentar di sini, heh? Mengenai saranmu, aku tidak tahu. Hanya saja aku terlanjur nyaman dengan keadaan ini. Kamu hanya orang yang melihat dari pinggir, kamu tidak pernah berada di dalamnya, jadi bagaimana kamu bisa tahu bahwa aku akan tenang jika aku mengungkapkan rasa ini?

January 10, 2010 09.30 PM

Restu

Aku memang melihat dari pinggir saja. Karena itu aku bertanya, bolehkah aku mengenalmu? Karena jujur saja, aku terlanjur larut dalam kisahmu. Aku ingin mengenalmu dan tahu lebih banyak tentang kamu. Maaf, jika aku lancang.

January 11, 2010 o4.45 PM


To be continued....

Love,


SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig