Merah Cinta Delima - Don't Cry Joni

Leave a Comment
Saat ini saya sedang getol-getolnya mendengar lagu lama berjudul Don't Cry Joni oleh Conway Twitty featuring Joni Lee. Berikut lirik lagunya:

Jimmy please say you'll wait for me, I'll grow up someday you'll see, Saving all my kisses just for you, Signed with love forever true.
Joni was the girl who lived next door, I've known her I guess ten years or more, Joni wrote me a note one day, And this is what she had to say.
Jimmy please say you'll wait for me, I'll grow up someday you'll see, Saving all my kisses just for you, Signed with love forever true.
Slowly I read her note once more, Then I went over to the house next door, Her tear-drops fell like rain that day, When I told Joni what I had to say.
Joni, Joni please don't cry,You'll forget me by and by, You're just fifteen and I'm twenty two, and Joni I just can’t wait for you.
Soon I left our little home town, Got me a job and tried to settle down, But these words kept haunting my memory, the words that Joni said to me.
Jimmy please say you'll wait for me, I'll grow up some day you'll see, Saving all my kisses just for you, Signed with love forever true.
I packed my clothes and I caught a plane, and I had to see Joni. I had to explain, how my heart was filled with her memory, and ask my Joni if she'd marry me. I ran all the way to the house next door, but things weren't like they were before, My tear-drops fell like rain that day, When I heard what Joni had to say.
Jimmy, Jimmy please don't cry, You'll forget me by and by. It's been five years since you've been gone, Jimmy, I - (married) - your best friend John.

Lalu, seketika saya teringat akan sebuah tulisan singkat saya dengan cerita yang kurang lebih sama dengan lirik lagu tersebut. Setelah mengobrak abrik laptop, saya pun menemukan tulisan tersebut.

,,MERAH CINTA DELIMA”

Aku pergi bukan karena aku tidak lagi mencintaimu.
Juga bukan karena aku menyerah padamu.
Aku pergi justru karena cintaku padamu.
Agar aku bisa membuktikan diriku pantas mendampingimu
dan menghancurkan segala penghalang yang
membentang diantara kita. Kepergianku bukan
karena aku menginginkan untuk jauh darimu,
melainkan sebuah keputusan yang ku ambil
untuk mewujudkan berseminya cinta kita di atas
sebuah altar suci. Kepergianku bukan karena aku tidak
menginginkanmu melainkan karena aku sangat menginginkanmu
dan tiada hal lain yang bisa kulakukan selain
berjauhan denganmu dengan harapan suatu hari
nanti aku dan cintaku diizinkan untuk mempersuntingmu…

“Berjanjilah kamu akan menungguku pulang. Aku tidak tahu berapa lama aku akan pergi dan aku tidak berani menjanjikan satu tanggal pasti kepulanganku. Aku pergi untuk membuktikan kepada dunia bahwa aku pantas untukmu dan begitu aku berhasil membuktikan diriku, maka saat itulah aku akan kembali. Berjanjilah kamu akan setia menungguku. Aku pasti akan pulang, untukmu.”
“Aku berjanji. Aku akan menunggumu pulang. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang kubutuhkan. Aku akan tetap berada disini, setia menunggumu pulang.”

“Kutitipkan Delima padamu. Aku tidak bisa meninggalkan dia tanpa perlindungan dan kamu satu-satunya orang yang kupercaya untuk menjaga Delima. Jaga dia sampai aku kembali.”
“Percayalah padaku. Aku akan menjaganya seperti aku menjaga diriku sendiri. Pergilah, kamu tidak usah khawatir. Delima aman disini selama masih ada aku.”
“Terima kasih, teman.”

Hari ini aku kembali……
Hari ini aku kembali setelah delapan tahun kepergianku dari kota kecil ini. Aku kembali dengan sebuah pembuktian diri yang berhasil kuraih. Sebuah pembuktian diri yang untuk meraihnya mengharuskanku angkat kaki dari tempat ini. Sebuah pembuktian diri yang membuatku terpaksa berjauhan dengan seseorang yang kucintai. Sebuah pembuktian diri yang harus segera kudapatkan agar aku bisa mempertahankan seorang perempuan dan cintaku untuknya. Seorang perempuan yang telah kutinggalkan selama delapan tahun dan sekarang aku kembali untuknya. Untuk hidup bersamanya.
Hari ini aku kembali untuk membuktikan kepada semua orang bahwa aku telah menjelma menjadi seseorang yang berhasil, bukan lagi seseorang dengan masa depan yang tidak jelas. Hari ini aku kembali untuknya, untuk mempersatukan cintaku dan cintanya….

Kota ini tetap sama. Tidak peduli berapa tahun aku meninggalkannya, tidak ada yang berubah.
Ku tatap jalanan yang terbentang dihadapanku. Jalanan yang begitu familiar dengan diriku dan menjadi saksi 20 tahun kehidupan awalku. Kota ini, beserta isinya, sangat dekat denganku, bahkan sebagian besar hidupku berlangsung disini. Kota ini menyimpan banyak cerita tentang aku. Kehidupan masa kecilku yang berbahagia, kehidupan masa remajaku yang penuh warna. Kota ini masih saja indah dan keindahannya tidak terkalahkan oleh kota-kota manapun yang pernah kusinggahi. Keindahan yang membuatku jatuh cinta dan hanya bisa kutuangkan ke dalam bentuk lukisan.
Ya, lukisan. Perpaduan berbagai macam warna yang membentuk sebuah objek indah dan kaya makna. Lukisan, bukan hanya menjadi mata pencaharianku tapi juga menjadi satu-satunya cara untukku mengungkapkan semua perasaanku. Dan sekarang, lukisanlah yang membawaku sampai ke titik ini, titik kesuksesan, puncak dari pembuktian diri yang berhasil kuraih dan karena itulah aku berani untuk kembali kesini.
Delapan tahun lalu aku terpaksa harus angkat kaki dari kota yang sangat kucintai ini. Aku terpaksa harus meninggalkan semua kenangan dan semua yang kumiliki disini. Aku terpaksa harus menjelajahi kota demi kota demi satu tujuan, meraih masa depan yang jelas. Dan delapan tahun lalu aku juga terpaksa harus berpisah dengan orang yang sangat ku cintai.
Namanya Delima. Dia memang bukan wanita tercantik yang pernah ku kenal tapi dia adalah satu-satunya wanita yang berhasil merebut hatiku. Hanya kepadanya aku bisa merasakan cinta dan hanya dialah satu-satunya wanita yang kuinginkan untuk menemaniku seumur hidupku. Dan dia juga mencintaiku. Dia mencintaiku apa adanya, tidak pernah menuntut sesuatu yang melebihi kemampuanku dan sangat mengerti diriku. Dia juga tidak pernah bermasalah dengan pekerjaanku sebagai seorang pelukis karena dia sangat mengerti kecintaanku kepada lukisan. Dia mampu bersabar untukku dan karena itulah aku semakin mencintainya.
Tapi cinta kami tidak cukup kuat untuk meyakinkan orang tuanya. Pekerjaanku sebagai seorang pelukis dinilai tidak memiliki masa depan yang jelas dan mereka tidak mau mempertaruhkan masa depan Delima dengan mengizinkannya bersamaku. Kehadiranku ditolak mentah-mentah, tidak peduli seberapa kerasnya aku dan Delima memohon di kaki mereka. Restu itu tidak pernah kudapatkan. Cinta kami yang begitu kuat ternyata tidak mampu melunakkan hati orang tua Delima yang sekeras karang.
Lalu tiba-tiba secercah harapan datang ke hadapanku. Orang tua Delima berjanji akan memberikan restunya untukku jika aku sudah mampu membuktikan diriku layak untuk anaknya. Aku harus membuktikan kepada mereka bahwa aku mampu memiliki masa depan yang pasti, yang mampu menjamin kehidupan Delima. Dan aku memutuskan untuk pergi dari kota kecil ini, dengan satu tujuan: membuktikan diriku pantas untuk bersanding dengan Delima. Dengan berat hati aku harus meninggalkan Delima yang melepaskan kepergianku dengan air mata dan satu janji untuk menungguku kembali pulang, kembali untuknya.
Aku pun berjuang sendirian di tengah derasnya kehidupan Jakarta demi memenuhi janjiku pada Delima. Lukisan, satu-satunya keahlian yang ku punya, kujadikan alat penyambung hidup. Aku tidak keberatan harus menjalani hari-hari sebagai pelukis jalanan dengan harapan suatu hari nanti aku pasti bisa membangun galeri lukisan milikku sendiri. Bertahun-tahun kujalani hidup sebagai seorang pelukis jalanan dan rupiah demi rupiah kusimpan demi mewujudkan cita-citaku. Doa demi doa kupanjatkan setiap hari semoga Tuhan berbaik hati mau mengabulkan permintaanku.
Dan doaku dijawab melalui tangan seorang pria tua bernama Pak Herman. Pertemuan yang tidak disengaja tersebut justru memutar balikkan kehidupanku. Dia tertarik dengan lukisanku dan dia membeli semua lukisanku. Ternyata dia adalah seorang kolektor lukisan. Dia mengajakku ke rumahnya yang dipenuhi lukisan. Semakin lama aku mengenalnya semakin banyak fakta tentang dia yang kuketahui. Ternyata dulunya dia juga seorang pelukis tetapi karena sebuah kecelakaan tangan kanannya menjadi lumpuh sehingga dia harus berhenti melukis. Tapi kecintaannya kepada lukisan tidak pernah luntur dan dia beralih menjadi seorang kolektor. Kepada dia aku juga menceritakan kisah hidupku dan dia tertegun mendengarkan ceritaku tentang Delima. Dia menyemangatiku untuk tidak pernah menyerah. Aku beruntung pernah mengenal dia tetapi Tuhan hanya memberiku waktu sebentar saja untuk mengenalnya. Pak Herman pergi ke pangkuan Tuhan di saat aku benar-benar membutuhkannya. Sebelum kepergiannya, dia meninggalkan dua hal untukku: sebuah galeri lukisan yang harus ku kelola dan harapan agar galeri tersebut bisa mempersatukan aku dan Delima.
Sejak saat itu, hidupku berubah dari seorang pelukis jalanan menjadi pemilik sebuah galeri lukisan. Galeriku terus berkembang dan aku mempunyai banyak pelanggan sampai akhirnya aku berhasil membuka dua galeri baru. Aku juga semakin produktif dan menghasilkan lukisan-lukisan berkualitas. Aku begitu menyayangi galeri ini karena iniah titipan Pak Herman, malaikatku, dan aku akan terus menjaganya.
Setelah semua hal yang kudapatkan, aku teringat Delima. Sudah delapan tahun aku meninggalkannya, tanpa kabar. Aku sangat merindukannya dan ingin bertemu dengannya. Aku rasa sekaranglah saatnya. Aku sudah berhasil membuktikan diriku dan galeri ini adalah fakta keberhasilanku. Tantangan orang tuanya berhasil ku taklukkan. Lalu, aku pun memutuskan untuk pulang, menemui Delima.
Dan disinilah aku sekarang, berdiri di jalan masuk ke kota masa kecilku.
“Awas….. minggir….”
Aku mendengar seseorang berteriak di belakangku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati sebuah sepeda sedang melaju kencang ke arahku. Aku melompat menghindar tapi si pengendara sepeda kehilangan keseimbangannya. Sepedanya oleng. Si pengemudi sepeda terjatuh dan tertimpa sepedanya sementara anak kecil yang diboncengnya terpental.
“Aduh….” Si pengemudi sepeda, seorang anak kecil berusia kira-kira 8 tahun, merintih kesakitan sambil mengangkat sepeda yang menindih tubuhnya. Aku pun menolongnya.
“Astaga, Dewa….” Anak itu berlari ke arah temannya yang terpental. Aku pun mengikutinya. Aku tersentak begitu mendapati anak kecil itu tidak sadarkan diri dengan darah bercucuran dari luka robek di keningnya.
Aku ingat, hanya berjarak beberapa meter di depan ada sebuah puskesmas. Tanpa berkata apa-apa aku menggendong anak kecil bernama Dewa itu dan berlari menuju puskesmas.

Aku menarik nafas lega begitu dokter puskesmas mengatakan Dewa baik-baik saja meskipun dia harus mendapat lima jahitan di keningnya. Aku berdiri di samping tempat tidurnya sementara Heru, teman Dewa yang mengendarai sepeda, ku suruh menjemput orang tua Dewa.
“Astaga Dewa….” Aku mendengar suara seorang perempuan masuk ke dalam ruang tempat Dewa dirawat. Dia segera mendekati Dewa sambil menangis. Sementara itu, Heru bersembunyi di belakangku sambil menggigil ketakutan. Sepertinya, perempuan yang kuyakini sebagai ibunya Dewa itu baru saja memarahi Heru.
“Heru, berapa kali bibi bilang, kamu jangan mengajak Dewa naik sepeda. Dia masih kecil. Mengapa kamu selalu melawan kata-kata bibi?”
“Maaf bibi,” ujar Heru sambil terus bersembunyi di belakangku. Aku memeluk pundaknya dan tersenyum menenangkannya. Tidak apa-apa, bisikku pelan.
“Kamu yang membawa Dewa ke sini kan? Terima kasih.”
Aku mendongak untuk menatap ibu Dewa. Aku ingin bilang kalau dia tidak perlu berterima kasih karena kecelakaan ini terjadi karena salahku juga. Tapi, begitu aku mengangkat mata dan menatap perempuan dihadapanku, aku tercekat. Perempuan itu, yang sedang berlinang air mata dengan satu tangan memeluk Dewa yang masih belum sadarkan diri, sangat ku kenal. Dan perempuan itu juga terkejut ketika beradu pandang denganku.
“Delima?” panggilku gugup. Ya, aku yakin 100% bahwa perempuan yang ada di depanku adalah Delima. Seharusnya sekarang aku berada di rumahnya kalau saja tidak ada insiden ini. Tetapi, ternyata Tuhan sudah mengatur semuanya untukku. Dia mempertemukan aku dengan Delima disini.
“Resky?”
Aku ingin berkata lagi tapi Dewa tersadar dari pingsannya. “Mama….” panggilnya.
Aku tersentak. “Mama?”
Delima tersenyum kecut dan berpaling ke arah Dewa. Dewa menangis kesakitan dan Delima menenangkannya. Saat itulah aku melihat sebuah cincin emas melingkar di jari manis Delima. Lututku goyah. Apa yang terjadi selama kepergianku? Apa maksud cincin yang ada di jari Delima dan panggilan mama yang keluar dari bibir Dewa? Apakah…? Tidak, itu tidak mungkin. Delima sudah berjanji untuk menungguku. Tidak mungkin dia menyerah secepat itu dan mengingkari janjinya. Tapi, pemandangan di depanku ini, Delima yang begitu khawatir pada Dewa dan panggilan mama yang ku dengar dari bibir Dewa, apa maksudnya? Tidak, aku tidak percaya ini. Pasti ada yang salah.
“Maaf. Aku permisi dulu….”
Aku meninggalkan ruangan itu dan tidak mempedulikan panggilan Delima. Delima juga tidak mengejarku, dia kembali sibuk mengurus Dewa yang terus menangis. Aku butuh sendirian sekarang. Aku ingin menenangkan diri dan mencerna semua fakta yang kutemukan hari ini. Aku berdoa semoga saja pemikiranku salah. Dewa bukanlah anak Delima dan cincin itu tidak berarti apa-apa. Semoga saja Delima masih memegang janjinya, seperti yang selama ini kulakukan. Semoga….

Selama ini aku membayangkan kepulanganku akan disambut dengan suka cita. Delima akan memelukku dan mengatakan betapa dia merindukanku. Orang tuanya akan tersenyum menyambutku dan mengatakan mereka bangga kepadaku dan mengizinkan aku mempersunting Delima. Aku membayangkan sebuah pesta pernikahan sederhana dan setelah itu aku akan memboyong Delima ke Jakarta dan kita akan hidup bahagia sampai akhirnya kita terpisahkan oleh maut.
Tapi, kenyataannya? Kepulanganku justru disambut oleh pengkhianatan. Dua pengkhianatan sekaligus.
Fakta yang kutemui di puskesmas ternyata benar, Dewa adalah anak Delima. Ternyata Delima mengingkari janjinya padaku dan menyerah terhadapku. Cintanya kepadaku ternyata tidak mampu membuatnya bertahan menungguku.
Dan Raffi, sahabatku sekaligus satu-satunya orang yang kupercaya juga mengkhianatiku. Aku menitipkan Delima padanya karena aku tidak mau meninggalkan Delima tanpa perlindungan, tapi bukan berarti dia boleh merebut Delima dari tanganku.
Setelah semua ini ku ketahui, apa artinya pengorbananku selama ini? Aku tetap tidak bisa memiliki Delima. Lebih sakitnya lagi, aku bahkan harus merasakan perihnya dikhianati oleh dua orang terdekatku, yang sangat ku sayangi dan ku percayai. Apa arti galeri itu sekarang jika Delima sudah jatuh ke tangan orang lain? Apa arti kebaikan Pak Herman jika akhirnya aku gagal mempertahankan Delima? Seharusnya dulu aku tidak pergi sendirian. Seharusnya aku membawa Delima pergi bersamaku, toh dulu Delima bersedia untuk ikut denganku meski tanpa restu orang tuanya. Harusnya dulu aku tidak menolak keinginan Delima untuk ikut denganku. Aku membenci rasa hormat yang kumiliki kepada orang tua Delima dan membuatku menolak usulnya itu. Seharusnya dulu aku lebih memilih Delima….
Sekarang semuanya sia-sia. Delima telah pergi dariku, selamanya, bersama Raffi, sahabatku yang menusukku dari belakang. Seluruh duniaku hancur gara-gara mereka berdua…..

“Resky…..”
Aku tidak menoleh meskipun aku tahu itu Delima. Aku juga tidak menyahuti panggilannya. Aku bahkan tidak bergerak sedikitpun meskipun Delima tepat berdiri di sampingku.
“Maafin aku…”
Aku menghembuskan nafas keras.
“Aku… aku….” Delima tidak sanggup lagi menahan tangisannya. Bahunya berguncang karena terisak-isak.
Dan aku pun luluh karena aku paling tidak tahan melihat Delima menangis. Aku pun memeluknya dengan maksud menenangkannya. “Tidak apa. Sst… jangan menangis.”
Tanpa kusadari Delima membalas pelukanku dan tangisannya semakin keras. Aku membiarkan Delima terus menangis sampai akhirnya dia kelelahan dan berhenti menangis.
“Resky, maafkan aku. Aku gagal memenuhi janjiku. Aku tidak bisa menunggu kamu sampai kamu pulang, seperti janji kita.”
Aku menatapnya. Banyak hal yang ingin kutanyakan tapi mulutku terkunci rapat.
“Setiap hari aku bertanya-tanya, dimana kamu? Apa kamu baik-baik saja? Setiap hari aku menunggu datangnya kabar dari kamu. Aku begitu khawatir. Aku ingin menyusulmu tapi aku tidak tahu harus menyusulmu kemana. Hanya kabar dan kepastian bahwa kamu baik-baik saja yang aku inginkan. Tapi kamu tidak pernah memberiku kabar.”
Aku menelan ludah. Yah, selama bertahun-tahun kepergianku aku tidak pernah sekalipun menghubungi Delima. Aku melakukannya karena aku tidak ingin dia khawatir jika tahu keadaanku di Jakarta yang begitu memprihatinkan. Selain itu aku juga bertekad akan menghubunginya jika kehidupanku sudah membaik.
“Selama ini Raffi selalu disampingku. Dia setia menemaniku menunggu kamu, dia selalu menghapus air mataku, mendengarkan keluh kesahku, menepis kekhawatiranku. Raffi-lah yang menyemangatiku dan mendorongku untuk terus menunggu kamu.”
“Dan kamu jatuh cinta padanya?” tebakku. Aku berusaha mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban ‘iya’ dari bibir Delima. Walau bagaimanapun juga, salahkulah jika dia dekat dengan Raffi. Selain karena aku meminta Raffi untuk menjaganya juga karena tidak adanya kabar dariku maka wajar jika mereka menjadi dekat dan tumbuh perasaan cinta.
“Papa memintaku untuk menikah dengan Raffi,” jawab Delima pelan.
Aku tersentak. Apa? Orang tuanyalah yang memintanya untuk menikah dengan Raffi? Itu pasti karena di mata mereka Raffi memiliki masa depan yang jelas karena bekerja sebagai pegawai negeri di kantor kelurahan. Tidak seperti aku.
“Apa kamu mencintainya?” tanyaku pelan.
Delima menghapus air matanya. “Aku harus pulang. Sudah malam. Dewa pasti menungguku.”
“Delima,” panggilku. “Sebelum kamu pergi, aku ingin tahu jawabannya.”
“Sekarang Raffi adalah suamiku,” jawab Delima.
“Apa kamu mencintainya?”
Delima menoleh kepadaku. “Lima tahun menjadi istrinya membuat aku harus belajar untuk mencintainya meskipun pada awalnya itu terasa berat.”
“Apa kamu masih mencintaiku?”
Langkah Delima mendadak berhenti. Dia tidak segera menjawab pertanyaanku.
“Delima?”
“Di saat aku belajar untuk mencintai Raffi, maka saat itu juga aku harus belajar melupakan kamu.”
Aku berdiri di hadapan Delima dan memaksanya untuk menatapku. “Apa kamu sudah berhasil mencintai Raffi?”
Delima tidak menjawab tapi dari tatapannya aku tahu jawabannya. Tatapan Delima saat menatapku sekarang sama seperti tatapan dia kepadaku delapan tahun lalu, saat aku masih bersamanya disini. Tidak ada yang berubah dari tatapan itu. Namun, justru itu yang membuatku semakin terluka karena mengetahui jauh di dalam hatinya, Delima masih mencintaiku dan dia tersiksa menahan cintanya demi memenuhi permintaan ayahnya. Aku semakin terluka karena mengetahui rasa sakit yang juga dialami Delima.
“Resky, aku tidak peduli lagi dengan perasaanku. Aku tidak peduli lagi, siapa sebenarnya yang aku cintai sekarang. Yang aku pikirkan hanyalah, menjalani posisiku sebaik mungkin: menjadi istri Raffi dan ibu bagi Dewa. Permisi.”
Selesai berkata seperti itu, Delima meninggalkanku.

“Kamu tega mengkhianatiku,” ujarku lantang. Sementara itu, di depanku Raffi tertunduk dengan perasaan bersalah. “Aku memintamu untuk menjaganya sampai aku kembali, bukan menikahinya.”
“Resky, maafkan aku.”
“Kamu itu sahabatku satu-satunya. Kamu orang yang paling aku percaya tapi justru kamu yang mengkhianatiku.”
Raffi bangkit berdiri dan memandangku. “Aku juga mencintai Delima,” ujarnya.
“Apa?”
Raffi mengangguk. “Aku mencintainya dan selama ini aku menyimpan perasaan itu karena aku menghormati kamu. Aku tidak ingin merusak hubungan kalian. Dan waktu kamu memintaku untuk menjaganya, sebenarnya aku agak keberatan. Aku takut, perasaan yang selama ini kupendam akan semakin tumbuh jika aku bersamanya, terlebih tidak ada kamu disini. Dan, ketakutanku terbukti.”
“Jadi itu alasannya kamu mau menikah dengannya?”
“Kamu boleh menyalahkan aku, tapi apa kamu sadar bahwa selama ini kamulah yang secara perlahan-lahan melepaskannya? Kamu tidak pernah memberi kabar dimana kamu, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu pernah berpikir bahwa selama ini Delima tersiksa menunggu kamu? Setiap hari dia menangis hanya karena memikirkan kamu. Berapa tahun kamu meninggalkannya tanpa ada kabar sedikitpun? Lalu, apa salah jika aku, satu-satunya orang yang ada di dekatnya, tidak kuasa menahan perasaanku padanya?”
Aku terdiam. Raffi benar.
“Dan waktu ayahnya memintaku untuk menikahinya, aku tidak mau karena aku tahu di dalam hatinya dia masih mencintai kamu. Aku tidak ingin menikah dengan perempuan yang tidak mencintaiku. Tapi, kami tidak punya kuasa apa-apa untuk menolaknya. Aku terpaksa menikahi Delima meskipun dalam hati sejujurnya aku senang. Aku tahu Delima masih ingin menunggu kamu. Dia percaya bahwa kamu akan kembali tapi dia juga tidak punya kuasa apa-apa untuk menolak perintah ayahnya. Aku tersiksa tetapi Delima lebih tersiksa lagi. Setiap malam dia terbangun dan diam-diam memandangi foto kamu sambil menangis dan meminta maaf. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku ingin Delima bahagia dan jika cara untuk mewujudkannya adalah dengan mengembalikannya padamu, aku akan melakukannya.”
Aku tersentak. Mengembalikan Delima padaku? Tidak. Delima bukan barang yang bisa dikembalikan begitu saja. Lagipula, Raffi adalah pilihan ayahnya dan tidak peduli sebesar apapun kesuksesanku, di mata ayahnya, aku tetap saja seorang pecundang. Aku tidak mungkin memiliki Delima dan harapan untuk memilikinya sudah pupus. Lagipula, Delima sekarang berada di tangan Raffi yang sangat mencintainya meskipun dia tahu Delima tidak bisa membalas perasaannya. Dia tetap bertahan dan berusaha membahagiakan Delima. Aku tahu dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dia akan menyerahkan Delima jika aku memintanya. Tidak. Aku tidak ingin pengorbanan Raffi menjadi sia-sia dan dia akan semakin terluka jika aku meminta Delima dari tangannya.
Aku merangkul pundak Raffi. “Tidak. Aku memang masih mencintainya tapi dia telah memilih kamu. Lagipula, sekarang ada Dewa.”
Raffi menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Selama ini aku di Jakarta, menjadi seorang pelukis. Aku sudah punya tiga galeri lukisan,” ujarku. “Tapi semuanya tidak ada artinya di mata ayah Delima dibanding kamu, seorang pegawai kelurahan. Ayahnya telah memilihmu dan Delima juga telah memilihmu.”
“Tapi Resky…”
“Besok aku kembali ke Jakarta. Kejadian ini memberiku banyak pelajaran, salah satunya adalah arti pengorbanan. Kamu telah berkorban banyak untukku dan sekarang saatnya aku berkorban untukmu. Tapi, apa aku masih boleh meminta sesuatu?”
“Apa?”
“Jaga Delima. Sekarang kamulah orang yang paling bertanggung jawab terhadapnya. Raffi, pastikan dia bahagia karena itulah kunci kebahagiaanku.”
Aku memeluk Raffi sebentar dan kemudian pergi meninggalkannya.

Hari ini aku kembali ke Jakarta, meneruskan hidupku dan mengubur semua yang ku alami di kota ini dalam-dalam, termasuk Delima dan Raffi. Aku harus bisa merelakan mereka meskipun aku harus terluka karenanya. Aku harus bisa menerima bahwa tidak semua mimpi bisa menjadi kenyataan dan ini adalah konsekwensi dari keputusanku. Aku yang memutuskan untuk pergi dan meninggalkan Delima disini, bersama Raffi maka sekarang aku harus bisa menerima semua kenyataan ini. Paling tidak, aku cukup berani untuk membuktikan diriku meskipun aku tidak bisa mendapatkan Delima.
Sekarang aku sudah punya kehidupan sendiri, di Jakarta bersama galeri dan lukisanku. Delima juga sudah mempunyai kehidupannya sendiri, disini, bersama Raffi dan Dewa. Kita semua harus bisa menjalani kehidupan yang sudah ditakdirkan Tuhan dengan baik dan ikhlas meskipun awalnya terasa berat.
Sekali lagi, aku menoleh ke belakang, ke jalanan yang sudah kutinggalkan. Jalanan yang menghubungkanku dengan kehidupan masa laluku di kota kecil yang indah ini. Jalanan yang menghubungkanku dengan Delima, cintaku yang tidak bisa kumiliki.
“Selamat tinggal Delima. Selamat tinggal Raffi. Selamat tinggal Dewa. Selamat tinggal masa laluku…..”

love,
iif

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig