Ruby's Wishes part 3 (Final)

Leave a Comment

Hari Ketiga

“Aku ingin kamu mencintaiku.”



Aku tersentak. Hampir saja gelas yang sedang ku pegang jatuh ke lantai. Ku tatap Ruby dengan ekspresi campur aduk, tapi perempuan itu hanya menatapku tenang, setenang dia mengucap kalimat barusan.

Bibirku membuka menutup hendak berbicara, tapi tak satupun kata yang berhasil keluar. Bersuarapun aku tidak sanggup. Selama dua hari ini aku sudah cukup menempa mental dengan meladeni dua permintaan konyol Ruby, tapi sepertinya dia masih menyimpan satu stok permintaan konyol lagi.

Eh? Wajarkah jika aku menyebut ini sebagai permintaan konyol pula?

Dia ingin menantang angin –istilah yang diciptakan Safir untuk kebiasaan kami menjadi raja jalanan dengan Harley kesayanganku-, aku telah mewujudkannya meski harus mengalahkan seribu ketakutan sebelumnya. Dia ingin menggapai bintang –satu lagi istilah yang diciptakan Safir untuk hobi kami mendaki gunung- dan meski harus dipelototi orang tuanya, aku berhasil membawanya ke puncak sebuah gunung. Namun, kali ini?

Dia ingin aku mencintainya.

“Apa susahnya, Adrian?”

Ku palingkan wajah menatap lurus keluar jendela. Gerimis yang sejak tadi pagi berjatuhan dari langit telah berubah menjadi hujan. Bunyi hujan menerpa genteng rumah menjadi satu-satunya pemecah keheningan di ruangan ini.

“Adrian.”

Aku masih terdiam seribu bahasa. Sedikitpun aku tidak berani menatap Ruby. Aku tidak tahu apa yang bisa ku lihat di wajahnya itu. Permohonankah? Cinta? Paksaan? Atau, yang paling aku takuti, aku melihat…

Safir.

“Tatap aku, Adrian.”

Tidak ku indahkan permintaan Ruby. Perlahan aku beringsut dari sofa dan menggerakkan kaki menuju pintu. Meski diluar hujan, setidaknya itu jauh lebih baik ketimbang berada di ruangan ini. Sebut aku pengecut, tidak apa. Aku tidak tahu tindakan apa lagi yang bisa kulakukan selain melarikan diri.

Namun, Ruby menangkap tindak tandukku. Secepat gerakan yang dimungkinkan oleh tubuh ringkihnya, dia berlari ke arahku. Diraihnya pergelangan tanganku dan didorongnya aku ke dinding, bertepatan dengan aku yang berhasil membuka pintu.

Ruby menatapku tajam. Bara kemarahan menyala-nyala di mata birunya yang selama ini menyiratkan kedamaian.

“Kamu mau pergi kemana. Kamu ingat kan dengan janjimu? Kamu masih berhutang satu hal denganku,” teriak Ruby meningkahi suara hujan.

“Kenapa kamu selalu melontarkan permintaan yang sulit untuk ku penuhi?”

“Kamu berhasil memenuhi dua permintaanku sebelumnya.”

Aku menggeleng. “Tapi tidak untuk yang ini.”

“Kenapa?”

Karena aku masih mencintai Safir, kakakmu. Ingin rasanya aku menyuarakan kalimat itu, tapi lidahku mendadak kelu. Dihadapanku, Ruby masih berdiri tegak –atau setidaknya berusaha untuk tetap terlihat kuat.

“Kamu lebih dulu bertemu denganku ketimbang Safir,” ujarnya pelan.

Ucapan Ruby membawa ingatanku melayang ke saat lima tahun lalu, ketika aku bertemu dengannya untuk pertama kalinya. Di ruang Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit. Untuk yang ke sekian kalinya Harley melemparku ke jalanan yang berujung perawatan di rumah sakit. Pagi itu, ketika aku membuka mata, aku mendapati tempat tidur di sebelahku yang semalam kosong sudah ditempati. Sesosok tubuh perempuan terbaring di atasnya. Semula aku pikir dia tertidur, tapi tiba-tiba dia menoleh dan menatapku.

“Hiasan yang bagus,” ujarnya sembari menunjuk dahinya.

Ku raba dahiku dan mendapati perban disana. “Terima kasih,” jawabku.

“Hanya luka kecil ku rasa. Mobil atau motor?” ujarnya lagi.

Diam-diam ku amati dia dan mata biru terangnya langsung menyihirku. “Motor,” jawabku singkat.

Dia terkekeh. “Ayahku selalu mengumpat setiap kali melihat motor di jalan raya, terlebih jika motor itu menghalangi jalannya.”

“Kalau begitu berdoalah semoga aku tidak pernah bertemu dengan ayahmu di jalanan,” candaku.

Lagi-lagi dia tertawa.

“Kamu sendiri? Apa yang membawamu ke sini?”

Dia mengangkat bahu. “Aku sudah bersahabat dengan tempat ini sejak umurku masih berkisar di hitungan hari,” jawabnya pelan tapi aku bisa melihat raut kesedihan di wajahnya. Detik itu juga aku menyadari bahwa dia adalah korban salah satu penyakit yang membuatnya harus bolak balik ke rumah sakit terus menerus. Belakangan, aku baru tahu kalau dia mengidap lemah jantung.

Aku ingin mengajaknya terus bicara tapI dokter datang dan menurunkan kain pembatas di antara kami.

Baru keesokan harinya aku mengenal Safir. Ketika bangun, aku mendapati dia sedang membereskan pakaian Ruby. Awalnya aku pikir bahwa Safir dan Ruby adalah orang yang sama. Mereka sama-sama berambut hitam dan bermata biru. Jika diperhatikan secara serius, baru terlihat bahwa Safir lebih berisi ketimbang Ruby yang kurus kering.

“Hai,” sapaku. “Kamu sudah boleh pulang?”

Safir menghentikan aktivitasnya memasukkan baju ke dalam tas. Ditatapnya aku dengan dahi berkerut.

“Beruntunglah kamu sudah diperbolehkan pulang sementara aku masih harus terkurung disini selama beberapa hari,” ujarku lagi.

Safir tersenyum, dan aku terseret dalam pesona magis yang dipancarkan senyuman itu. “Aku rasa kamu salah orang.”

“Eh?” Ku tatap berkeliling dan menggeleng. Jelas aku tidak salah orang karena hanya kami berdua yang menghuni ruangan itu.

Safir meletakkan tas yang telah dipenuhi baju di atas tempat tidur. “Aku rasa yang kamu maksud adalah adikku.”

“Adik?” aku bingung.

“Yang kemaren ada di sini adik kembarku. Kita begitu mirip sehingga sering tertukar.”

Aku mengengguk paham. “Siapa namamu?”

“Safir. Dan adikku bernama Ruby.”

“Aku duluan yang mengenalmu, Adrian.”

Ucapan Ruby melemparkanku kembali ke masa sekarang. Ruby masih berdiri di hadapanku dan aku masih terdesak ke dinding. Sementara diluar, hujan masih setia menghujam bumi.

“Kenapa kamu malah mencintai Safir?”

Pertanyaan yang sulit. Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang membuatku mencintai Safir. Hanya saja, ketika aku bertemu Ruby, perasaanku biasa-biasa saja. Sedangkan ketika aku bertemu Safir, aku merasa pintu hatiku terketuk.

“Jika kisahku adalah sebuah film, maka bisa dipastikan akulah yang akan mendapatkan cinta si pemeran utama pria. Penyakitku dan kelemahanku adalah senjata ampuh untuk menimbulkan simpati dan cinta,” ujar Ruby. Suaranya terdengar gemetar.

“Tapi ini bukan film.”

Ruby membungkam ucapanku dengan ciumannya. Aku tersentak kaget. Tubuh kurus Ruby menekanku ke dinding. Dingin dinding menghantam punggungku. Perlahan aku bergerak dan melepaskan diri dari pelukan Ruby. Aku hanya tidak ingin menyakitinya lebih jauh.

“Maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu,” ucapku pelan sedetik setelah terlepas dari Ruby.

“Tahukah kamu pikiran jahat yang pernah terlintas di otakku?”

Aku terdiam. Kembali bunyi hujan menempa genteng menjadi satu-satunya sumber suara diantara kami.

“Ketika Safir meninggal, sisi hatiku bersorak gembira. Itu artinya kamu kembali sendiri dan aku bisa menumbuhkan kembali bibit cinta yang selama ini aku sembunyikan hanya karena aku menyayangi Safir.”

Tak ada satupun kalimat keluar dari bibirku. Ketika ku lihat Ruby, sorot matanya menyiratkan banyak hal yang ingin disampaikannya.

“Kamu tahu, kali pertama aku merasa memiliki harapan adalah ketika bertemu kamu. Aku melihatmu seperti seekor burung bebas yang bisa kesana kemari tanpa halangan. Aku ingin seperti kamu, tapi aku tahu diri. Karena itulah aku cukup berharap memiliki seseorang yang bisa membawaku terbang bebas. Namun ketika kamu datang ke rumah untuk menjemput Safir, itulah kali pertama aku menangis dan merasakan sakitnya patah hati.”

Tubuh Ruby menggigil ketika ucapan demi ucapan keluar dari bibirnya. Dia terhuyung ke depan. Beruntung refleksku masih berfungsi sehingga dia tidak membentur lantai. Dengan hati-hati aku memapahnya dan mendudukkannya di sofa. Nafasnya terdengar memburu dan wajahnya memerah pertanda menahan emosi. Aku jadi kalang kabut. Tidak, jangan sampai dia kolaps dihadapanku. Bisa-bisa aku dipenjarakan oleh orang tuanya.

“Kenapa kamu tidak bisa mencintaiku? Lihat betapa miripnya kami.”

“Kalian memang mirip, tapi kalian adalah pribadi yang berbeda,” sahutku. “Kamu adalah kamu dan Safir adalah Safir. Aku mencintai Safir karena dia, dan aku tidak bisa mencintaimu karena Safir.”

“Adrian…”

“Maafkan aku Ruby. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu ini,” tegasku. Hatiku sudah dibawa mati oleh Safir, dan untuk mencintai perempuan lain, jelas aku tidak bisa. Sekalipun perempuan itu adalah Ruby.

Ruby memegang dadanya yang naik turun tidak beraturan. Nafasnya sesak. Aku tidak bermaksud membangkitkan emosi Ruby, sesuatu yang membahayakan kesehatannya.

“Mengapa susah bagimu untuk mencintaiku?” gumam Ruby di sela nafasnya yang memburu. Dia meringis kesakitan. “Apa karena aku sakit dan hanya menyusahkanmu saja?”

Aku menggeleng. Sedikitpun tidak pernah terlintas di otakku pikiran picik itu.

“Adrian…” Ruby berusaha keras memanggil namaku di sela nafanya yang naik turun. Wajahnya pucat. Keringat mengucur deras dari pori-porinya. Emosi itu menggoncang jantungnya, membuatnya kesulitan untuk bernafas.

Ku raih Ruby ke dalam gendonganku dan segera ku bawa dia ke kamarnya. Disana Ruth, perawatnya, sudah menunggu. Melihat Ruby yang tampak lemah, Ruth segera menyiapkan obat-obatan yang dibutuhkan Ruby.

Dengan penuh kehati-hatian aku meletakkan tubuh ringkih Ruby di atas tempat tidur. Tangannya menggenggam erat tanganku. Sepercik rasa kasihan melingkupiku ketika ruang pandangku dipenuhi sosok kesakitan Ruby, tapi aku tidak bisa menumbuhkan rasa cinta untuknya.

“Adrian…” Pelan suara Ruby memanggilku. Matanya mengerjap dan bulir-bulir air mata berjatuhan di pipinya.

“Maafkan aku Ruby,” ujarku pelan.

“Jika aku tidak ada, kamu bisa kan mencintai Ruby? Dia sangat mencintaimu Adrian, dan aku merasa bersalah kepadanya karena mencintaimu juga.”

Maafkan aku Safir, aku tidak bisa mencintai Ruby sesuai keinginanmu.

“Kamu pembunuh Safir. Jangan biarkan tangan kotormu itu menyentuh putriku Ruby.”

Seharusnya sedari dulu aku mengikuti kata-kata ayahmu Ruby, agar aku tidak menyakitimu seperti ini.

“Adrian….” Kembali Ruby memanggilku, meski dia sedang berada di ambang kesadarannya.

Perlahan-lahan ku lepaskan pegangan Ruby di tanganku. Maafkan aku, gumamku sekali lagi. Ku tatap wajah Ruby yang sudah terkulai dalam tidurnya.

Safir, haruskah aku pergi agar aku tidak menyakiti Ruby lagi?

Mungkin aku harus pergi, tapi suatu hari aku harus kembali karena aku masih berhutang satu hal padanya.


SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig