Mencintai Dalam Kerahasiaan

Leave a Comment
Mataku menyipit demi mengendalikan emosi. Nafasku memburu membuat dadaku terasa sesak. Namun pria di hadapanku ini, masih saja membakar diriku dalam kecemburuan.
Pria itu tampak berseri-seri di arena permainan anak. Sesosok perempuan sederhana tak lepas dari genggamannya. Pun seorang bocah perempuan kecil, tak lepas dari gendongannya. Pria itu tampak sabar membawa anaknya berpindah-pindah dari satu permainan ke permainan lainnya.
Darahku mendidih. Pemandangan itu bukan sekali dua kali ku saksikan, melainkan sering. Namun, seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa memendam emosi seorang diri. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Ingin rasanya aku berlari ke hadapannya, menariknya menjauh dari keluarga kecilnya itu. Tapi, aku tidak bisa. Perjanjian kecil kita membuatku terpaksa mengurut dada dan menahan nyeri di hatiku.
Perjanjian kecil yang menyatakan bahwa...

"Kita saling mencintai, dan biarlah kita menjaga cinta ini dalam kerahasiaan."


Dadaku kian sesak. Nyeri merambati keseluruhan hatiku, menelusup masuk dan menghancurkannya. Cemburu yang melingkupiku telah menjadi makanan sehari-hari untukku.
Aku mencintainya, dan ku yakin pria itu juga mencintaiku. Hanya saja, kami saling mencintai dalam kerahasiaan. Hanya kami dan Tuhan yang tahu betapa besar cinta yang kami rasakan, sementara dunia melihat kami hanya sebatas teman.
Pria itu keluar dari arena permainan anak. Bersama keluarga kecilnya, dia menelusuri lorong pusat perbelanjaan yang ramai siang ini. Ku seruput minumanku sampai habis dan membuntutinya.
Entah apa yang merasuki hingga aku melakukan perbuatan tercela itu. Aku merindukannya, dan sangat ingin melihatnya, meski dari jauh. Aku rasa, ini cukup menjadi alasan untuk membenarkan tindakanku.
Mereka masuk ke sebuah toko baju. Aku berdiri di pagar pembatas di luar toko, tidak jauh dari toko yang dimasukinya. Mataku mencuri-curi mengintip ke dalam toko, sekedar memastikan apa yang sedang dilakukannya. Sekali lagi rasa sakit menghantam hatiku ketika melihat dia tengah memilihkan baju untuk perempuan itu. Kecemburuan kian berkuasa di diriku.
Aku masih bergeming di tempatku hingga dia keluar dari toko. Dia melihatku. Kami bersitatap. Wajahnya menegang melihatku yang menantangnya. Dipaksakannya menarik bibir membentuk sebuah senyuman, tapi matanya sibuk melirik perempuan di sebelahnya, memastikan perempuan itu tidak menyadari kehadiranku. Hanya semenit waktu yang diberikannya untukku. Dia tidak berkuasa apa-apa ketika perempuan itu menariknya. Meski sebaris senyum kembali ditujukannya untukku, itu tidak cukup untuk mengobati kerinduan dan rasa sakit hatiku.
Dia pun meninggalkanku, sendiri, dalam cinta yang terjaga kerahasiaannya dari mata dunia.
***

"Aku melihatmu kemaren."
Aku mendongak. Sebaris senyum di wajah yang ku rindukan menyambutku.
Pria itu menarik kursi di hadapanku dan menghempaskan tubuhnya yang menggiurkan itu diatasnya.
"Kebetulan aku sedang berada di sana," timpalku.
"Kamu tahu, aku sangat ingin menghampirimu."
Aku tergelak. "Tapi kamu tidak bisa?"
Dia menunduk, memainkan sendok di piring kosongku.
"Keterbatasan di antara kita menyakitiku," bisiknya lirih.
Ku hentikan tawaku dan berganti helaan nafas berat. "Resiko buat kita."
"Mengapa kita harus menjaga kerahasiaan cinta ini?" Matanya sayu menatapku.
"Damar, ingatkah kamu akan ucapanmu di saat kamu menyatakan cinta?"
Dia mengangguk.
"Kamu sendiri yang bilang, tidak mudah menanggung cinta ini. Keberadaan cinta yang kita rasakan tidak pernah dipandang benar. Kamu telah berkeluarga, begitupun aku, dan kita sama-sama terkurung dalam kehidupan yang tidak kita inginkan."
Aku berhenti untuk menghela nafas. "Kamulah kehidupan yang aku inginkan, Damar. Kamu tentu ingat apa yang terjadi saat kita memaksakan diri untuk berpisah?"
Lagi-lagi dia mengangguk. "Berjauhan denganmu membuatku gila. Aku tidak tahan menanggung rindu sebesar itu. Semakin aku menghindarimu, semakin besar cinta itu tumbuh hingga akhirnya..."
"Kamu mendadak muncul di hadapanku dan memintaku kembali," sambungku. "Percayalah, aku juga merasakan hal yang sama."
Ku genggam tangan Damar. "Kita tidak bisa memusnahkan cinta itu. Kita terpaksa mempertahankannya. Meski untuk itu, kita harus saling mencintai dalam diam. Mencintai dalam kerahasiaan."
Dia menatapku lekat-lekat. "Kamu jangan pernah menyerah terhadapku. Ku mohon."
Aku mengangguk. "Jangan pernah menyerah terhadapku juga Damar."
Jika saat ini aku tidak berada di tengah keramaian, tentu sudah ku peluk pria yang sangat ku cintai ini. Tapi, aku harus bisa menahan diri. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan yang sudah lama terjalin ini hanya karena satu tindakan bodoh.
"Sudah sore, Damar. Aku harus pulang."
Dia tersenyum. "Hati-hati ya."
Aku mengangguk.
"I love you," bisiknya.
"I love you too, Damar."
Aku bangkit berdiri dan perlahan beringsut menjauhinya. Meski tidak melihat langsung, bisa ku rasakan tatapan tajam Damar menghujam punggungku. Mencintai Damar telah menjadi pilihanku, meski berat rasanya tidak bisa melampiaskan perasaanku kapanpun aku mau. Aku hanya bisa mencumbunya di balik pintu yang tertutup, saat kerahasiaan itu tak lagi diperlukan. Meski berat, aku tetap bertahan, karena berpisah dengannya jauh lebih berat lagi.
Kami pernah mencobanya dan kami gagal.
Telepon genggam di kantongku bergetar. Segera ku ambil telepon itu dan mengangkatnya.
"Halo?" Sapaku.
"Halo, mas Heru?"
Suara Dania terdengar nyaring di ujung telepon. "Ada apa Dan?"
"Mas, nanti tolong belikan susu Tya ya. Susunya habis."
"Baiklah. Ada lagi?"
"Nggak ada mas, itu aja. Kamu cepat pulang ya."
"Iya, ini aku sudah di jalan."
Dania menutup telepon. Aku bernafas berat dan berbalik. Damar masih di sana dan matanya tak lepas dari tubuhku. Ah Damar, mengapa cintaku hanya bisa berlabuh untuk pria itu?

Love; Iif
NB: Ini cerita LGBT pertamaku
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig