Ruby's Wishes (Side Story): Ruby and Rob

Leave a Comment
Ruby's Wishes: Ruby and Rob


“Adrian tidak akan kembali, Ruby.”

Baru satu langkah kakiku menginjak pabrik baja ini, Rob sudah menyambutku dengan kalimat yang selalu diucapkannya selama sebulan terakhir ini. Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak mengindahkan ucapan Rob. Alih-alih aku malah melewatinya dan para pekerja lainnya lalu mengarahkan langkahku ke tanah kosong di belakang pabrik. Tanah kosong ini adalah tempat Adrian melewatkan tidur siangnya di sela-sela waktu istirahat yang diberikan Rob. Semula, aku hanya menatap Adrian dari jendela kamarku –yang kebetulan menghadap langsung ke tanah kosong ini- karena selalu ada Safir di sini. Namun, semenjak kepergian Safir, akulah yang menggantikan posisinya, meski aku harus bermain kucing-kucingan dengan ayah. Amarahnya kepada Adrian dan asap pabrik yang tidak menyehatkan tentu menjadi alasan kuat baginya untuk melarangku ke sini.

Namun, semenjak sebulan terakhir, mengunjungi tanah kosong ini sudah menjadi rutinitasku. Berawal dari kepegian Adrian yang mendadak bulan lalu. Aku meringis perih. Tentu permintaanku yang ketiga menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Aku menginginkan Adrian untukku meski aku tahu dia masih menyimpan cinta untuk Safir. Keinginanku membuatnya pergi. Menjauh entah kemana. Meninggalkanku.

Masih teringat olehku suasana pagi itu. Aku datang ke rumahnya untuk meminta maaf. Namun, aku hanya mendapati pintu yang tertutup rapat. Seberapapun kerasnya aku memanggil, pintu itu tetap tertutup. Tidak peduli seberapa derasnya air mataku bercucuran, Adrian tetap tidak menjawab. Pun ketika aku melangkah pergi, suaranya tidak terdengar sedikitpun.

Ketika aku kembali keesokan harinya, suasana rumah itu tetap suram. Hingga saat ini.

Lalu aku mencoba mencari penjelasan ke pabrik ini. Hasilnya nihil. Aku hanya mendapatkan gelengan kepala Rob sebagai jawaban.

“Dia datang pagi-pagi sekali, mengambil upahnya lalu berkata bahwa dia mengundurkan diri. Dia tidak menyebutkan apapun alasannya. Sejak saat itu, aku tidak bertemu dia lagi.”

“Sudahlah Ruby.”

Aku melihat Rob sudah duduk di sampingku. Bau keringat bercampur bau asap bekas pembakaran menguar dari tubuhnya. Aroma itu juga dimiliki Adrian dulu, berbaur dengan aroma maskulin khas tubuhnya. Ah, aku rindu itu.

Rob melepas topi lusuh yang sudah tidak jelas warnanya itu. Rambut merahnya semakin nyala di bawah terik matahari siang. “Kau hanya menyiksa dirimu sendiri. Berandalan itu entah dimana sekarang.”

Berandalan adalah panggilan khusus Rob untuk Adrian. Rob-lah yang menemukan Adrian terkapar di tengah jalan setelah terjatuh dari motornya lima tahun lalu. Adrian yang tidak punya tujuan ditampung Rob di rumahnya dengan harga sewa yang sangat murah. Rob juga yang menawarkan Adrian pekerjaan di pabrik ini. Rob sudah menganggap Adrian sebagai adiknya sendiri. Namun, yang palling penting, Rob jugalah yang berperan dalam hubungan Safir dan Adrian.

“Aku merasa kosong,” ujarku pelan. Ku benamkan kepala ke dalam lututku. Berusaha keras aku menahan isak tangis yang bisa keluar kapan saja.

“Kau masih menyisakan air mata untuk hari ini?” tanya Rob. Tangan besarnya terasa hangat ketika membelai punggungku.

Aku menghela nafas berat. Semenjak kepergian Adrian, aku selalu menangis di depan Rob.

“Kamu benar-benar tidak tahu kemana dia?” tanyaku. Pertanyaanku itu terdengar seperti jeratan putus asa. Ku angkat wajah dan ku tatap Rob dengan tatapan meminta belas kasihan.

Rob menggeleng. “Aku bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya.”

Kembali aku mendesah putus asa. Tidak ada yang tahu siapa Adrian sebenarnya. Kecuali –mungkin- Safir.

Amarah menggelayutiku. Ini tidak adil. Mengapa Safir bisa masuk ke dalam kehidupan Adrian sementara aku tidak? Aku lebih dulu mengenal Adrian. Kalau saja pagi itu aku membereskan sendiri baju-bajuku dan tidak menyuruh Safir yang melakukannya, mereka pasti tidak akan bertemu.

Namun, semua telah terlambat. Adrian lebih memilih Safir.

Rasa sakit yang ku rasa semenjak lima tahun lalu masih membekas hingga sekarang. Aku sedang asyik di balik grand piano ketika terdengar suara raungan motor dari luar rumah. Aku penasaran dan mengintip dari jendela. Saat itu, aku benar-benar tidak percaya begitu melihat sosok Adrian di teras rumahku. Dia tampak lebih segar dibanding ketika kita bertemu di rumah sakit meski perban di dahinya belum dilepas. Dia tampak gagah meski hanya mengenakan jaket jins lusuh. Rambut coklatnya diikat rapi dan satu per satu anak rambut berjatuhan di dahinya, membuatnya terlihat menggemaskan. Saat itulah aku merasakan sensasi luar biasa di hatiku. Aku jatuh cinta. Pada Adrian.

Tanpa buang-buang waktu aku berlari menuju pintu, tapi aku kalah cepat ketimbang Safir. Namun, aku tidak khawatir karena aku tidak tahu kalau mereka sudah kenal. Aku yakin, Adrian pasti menganggap Safir adalah aku. Hanya orang-orang terdekat saja yang bisa membedakan aku dan Safir.

“Aku mencari Safir.”

Meski aku hanya mendengar ucapan itu dari balik pintu, tetap saja gemanya menghantam dinding hatiku. Adrian mencari Safir? Bagaimana bisa?

Lalu aku mendengar suara tawa Safir. Tawa yang sangat ku benci sejak dulu. Tawa yang selalu keluar dari bibirnya setiap kali dia menceritakan kehidupan bebas di luar rumah kepadaku, dan aku terpaksa mendengar ceritanya karena bagaimanapun juga, dia adalah saudaraku. Namun, sekarang aku semakin membenci tawa itu.

Aku berlari ke kamar –penjaraku. Entah apa yang terjadi di bawah sana. Aku mengurung diri selama beberapa hari, tetapi Safir dengan kurang ajarnya selalu menggangguku dengan cerita-cerita tentang Adrian. Aku menunggu hingga Safir selesai menceritakan petualangan mereka menjelajahi kota dengan motor Adrian, lalu mengusirnya keluar dari kamar, dan aku mulai menangis. Keesokan harinya Safir kembali lagi dengan cerita petualangannya mendaki gunung. Lagi-lagi aku menunggunya hingga selesai kemudian menangis. Selalu begitu. Dan Safir, entah dia buta atau pura-pura buta, sampai-sampai dia tidak bisa melihat luka di mataku.

Hingga puncaknya terjadi di hari ulang tahun kami yang ke dua puluh. Ayah menghadiahiku grand piano sementara Safir hanya bisa gigit jari karena permintaannya dibelikan sebuah motor tidak dikabulkan ayah. Namun, malam itu dia mendapatkan hadiah yang jauh lebih berharga di banding aku. Di perjalanan pulang sehabis makan malam di restoran, aku melihat mereka.

Mereka ada di sana, di bawah atap toko kelontong yang sudah tutup. Hujan memenjarakan mereka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka tetap tertawa dan sesekali Adrian memainkan rambut Safir.

Hatiku sakit.

Ayah juga melihat mereka. Beliau menghentikan mobil tepat di hadapan mereka.

Ibu membuka jendela. “Safir,” panggilnya keras.

Safir dan Adrian terperanjat. Refleks Adrian melepaskan ciumannya di bibir Safir. Aku tidak menoleh keluar sedikitpun. Hatiku terlalu sakit untuk menyaksikan kemesraan mereka.

“Masuk ke mobil, Safir,” perintah ibu. Tegas.

“Tapi, bu.”

“Masuk Safir.”

Safir tidak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata ibu. Dia pun masuk ke mobil dan duduk di sebelahku. Aku tidak menggubrisnya. Ingin rasanya aku merobek bibirnya yang tak henti-hentinya tersenyum.

Sesampainya di rumah, aku langsung berlari ke kamar. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi, Safir tidak mengizinkanku. Dengan lancangnya dia menyusulku ke kamar.

“Adrian memintaku menjadi pacarnya.”

Aku menulikan telinga. Tanpa ekspresi aku berganti pakaian. Namun, Safir tetap berkoar-koar di belakangku.

“He’s a good kisser.”

Selama ini aku tidak peduli dengan aktivitas pacaran Safir. Meski kadang aku iri melihat dia yang dengan gampangnya menggaet pria di sekolah, aku tidak terganggu. Namun, kali ini aku cemburu.

“I think I love him, and he loves me too. We have a good night until…” Safir angkat bahu. “Coba saja kalian tidak datang, mungkin saat ini aku masih bersamanya.”

Aku muak. “Safir, aku ingin istirahat.”

Tanpa menggubris Safir, aku menenggelamkan diri di balik selimut. Ku pikir Safir akan pergi, tapi dugaanku salah. Aku merasakan tempat tidurku bergetar dan selimutku terbuka. Safir telah menyusup di sampingku.

Udara sesak, terlebih ketika aku melihat senyum bahagia di wajahnya.

“Kau mencintainya, Ruby?”

Aku tidak menjawab. Setetes air mata mengaliri pipiku. Beruntung cahaya remang-remang di balik selimut. Aku tidak ingin Safir melihatku menangis.

“Selama ini kamu selalu mendapatkan apa yang kamu mau dan aku selalu mengalah untukmu. Aku terpaksa menghabiskan liburan di rumah sementara teman-teman lain pergi camping karena ayah ingin aku menemanimu di rumah. Aku selalu dinomorduakan di rumah ini,” ujar Safir. “Bukan salahmu. Hanya saja takdir memaksamu menanggung penyakit itu.”

Hening menjawab semua kata-kata Safir.

“Dan aku ikut-ikutan menanggungnya. Bukannya aku tidak menyayangimu. Aku menyayangimu Ruby, tapi aku juga menginginkan kehidupanku sendiri. Aku ingin diperlakukan dengan adil.”

Kembali air mata menetes di pipiku. Aku tahu, sudah lama Safir ingin membuka diirnya seperti ini.

“Namun kali ini aku tidak akan mengalah. Aku mencintai Adrian. Hanya dia yang mengerti aku dan bersikap adil di depanku. Dan dia juga mencintaiku.”

Pertahananku jebol. Aku terisak. Biarlah Safir mendengarnya. Biar dia tahu betapa sakit yang ku rasakan sekarang. Dia telah menikamku dan membuatku berdarah-darah seperti ini.

“Aku tidak akan menyerahkannya untukmu meski kau memintanya.” Safir berkata tegas.

Isakanku semakin keras seiring ucapan yang keluar dari bibir Safir. Aku terus menangis meski kesulitan menghela nafas. Semakin keras aku menangis, Safir semakin mencecarku dengan cerita cintanya bersama Adrian. Aku tidak lagi menyimaknya, dan yang aku tahu, aku terbangun keesokan harinya di rumah sakit.

Tiga tahun aku menanggung sakit tapi Safir tidak peduli. Hingga kabar kematiannya datang melalui corong telepon dan ibu yang menjerit histeris. Ada masa aku tersenyum di balik duka itu. Adrian kembali sendiri. Aku bisa meraih cintaku kembali.

Namun, ada atau tidak adanya Safir berarti sama untukku. Adrian tetap mencintai Safir, tidak peduli seberapa kerasnya aku menunjukkan cintaku di depannya. Dan bulan lalu, keterus teranganku membuat Adrian pergi meninggalkanku.

“Sudahlah Ruby. Lebih baik kamu pulang.”

Aku menatap Rob. Pria itu mengangguk tegas.

“Aku merindukan Adrian,” aku berkata jujur.

Rob meraih pundakku dan membenamkan kepalaku di dadanya. “Jangan menyiksa dirimu sendiri. Jika Adrian juga merindukanmu, dia akan kembali.”

Aku terisak. “Adrian tidak akan pernah merindukanku.”

“Itu artinya, kamu juga harus berhenti merindukan dia.” Rob melepaskan pelukannya. Di tatapnya aku lekat-lekat. “Cinta baru benar-benar berarti jika kedua belah pihak sama-sama merasakannya. Cinta sepihak hanya akan menimbulkan luka, seperti yang kamu rasakan sekarang.”

Aku menggeleng. Ucapan Rob berarti vonis akhir untukku dan aku tidak mau mengakuinya.

“Berhentilah mencarinya. Pulanglah, Ruby.”

Tangisanku kian keras. Serta merta aku memeluk Rob dan meluapkan tangisanku di dadanya.

Rob mengusap punggungku. “Pulanglah Ruby, sebelum ayahmu mencarimu.”


NB: kelanjutan kisah Ruby's Wishes. Cerita selengkapnya bisa dilihat di kategori Ruby's Wishes.

NB: Agak berat melanjutkan kisah ini. Semoga dengan kehadiran tokoh baru tidak mengganggu jalan cerita. Aku rasa aku ingin menyelesaikan kisah Ruby dan Adrian secepat mungkin, berhubung saat ini ide dan mood sedang berbaik hati padaku. Oh ya, jangan lupa tinggalkan komentar ya.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig