Shopping For Love

Leave a Comment

Shopping For Love

Oleh Ifnur Hikmah

(Terinspirasi dari lagu Labels Or Love by Fergie)

“What are you doing, women?”

Teriakan Marco di belakangku sama sekali tidak menghentikan langkahku memasuki Diane Von Furstenberg. Cocktail dress berwarna baby blue itu seolah-olah memanggilku. Dan benar saja. Hanya dengan mematut diri di depankaca, aku merasa gaun itu sangat cocok untukku. Tanpa pikir panjang kuserahkan gaun sederhana –tapi dengan price tag yang sama sekali tidak sederhana itu- ke shop keeper yang senantiasa berjaga dibelakangku.

“Lo udah gila ya?” Kembali Marco melancarkan repetannya.

Aku mendelik kesal. Mengapa gaun-gaun disini terlihat sangat seksi di mataku?

“Rachel, dengerin gue nggak sih lo?”

“Iya, gue dengerin kok.” Meski lidahku meladeni ocehannya, tapi tidak dengan mataku. Pink cocktail dress beralih ke tangan shop keeper.

“Apa maksudnya ini semua, Chel?”

Dengan berat hati kuhentikan kegiatanku memilih-milih baju dan menatap Marco. “Gue lagi belanja, Marco. You know me kan kalo udah belanja gimana?”

Marco mendelik sebal. “Lo kalau kesal sama Adrian, bukan gini cara nyelesainnya.”

Tanganku yang terulur ke sebuah little black dress mendadak berhenti di udara. “Penting ya lo bawa-bawa nama itu sekarang?”

“Penting, karena dia kan penyebab lo jadi kayak orang gila ini?”

Sekuat tenaga aku mengabaikan Marco.

“Sekarang cepat bayar apa yang udah lo pilih dan kita pulang.”

“Tapi gue mau ke Lanvin,” bantahku.

No way. Lo udah cukup bikin diri lo sendiri bangkrut ya.”

“Marco apa-apaan sih lo. Gue udah lama ngincer purple sleeveless-nya Lanvin.”

“Apa ini belum cukup, Chel?” Marco mengangkat kedua tangannya yang dipenuhi berpuluh-puluh tas kertas berisi beragam hot item yang telah menguras habis tabunganku.

Cukup? Apakah Marc by Marc Jacobs, DVF, Burberry, Zara, Chanel, Bally, Mango, Bottega Veneta, Aldo, Jimmy Choo, dan entah nama apa lagi yang menghiasi kantong belanjaanku itu pernah mengenal kata cukup? Bagiku, tidak. Terlebih disaat mood jelek sedang melandaku. Ya, thanks to Marco yang udah ngingetin aku lagi sama the bastard Adrian.

The bastard Adrian who I love him so much. Suck.


You’re such a liar, Adrian.

Ditelepon kamu bilang kalau kamu ada meeting dengan bos bulemu itu weekend ini. Weekend, Adrian? Harusnya aku cukup jeli menangkap kebohonganmu itu. Mana mungkin orang seperti kamu rela menghinakan diri membusuk di ruang kerjamu akhir minggu seperti ini? Kamu sendiri yang bilang kalau cuma manusia-manusia kesepian yang rela mendekam di kantor weekend-weekend begini. Harusnya aku tidak menerima begitu saja ucapanmu itu. Buktinya?

Alih-alih bekerja di kantor, aku malah melihatmu melintasi lobby Sudirman Park. Sejak kapan kantormu pindah ke Sudirman Park, hah?

Dan kamu bahkan tidak memasang tampang bersalah sama sekali sewaktu kita bertiga terkurung di lift. Aku. Kamu. And that bitch.

“Kantormu pindah ke Sudirman Park?” Bahkan orang paling tolol sedunia pun bisa menangkap nada sinis di balik suaraku.

Namun kebohongan sepertinya sudah menjadi nama tengahmu. Kamu hanya melepaskan rangkulanmu dari pundak perempuan itu dan tersenyum kepadaku. Ingin rasanya aku mengantukkan kepalamu ke dinding lift tapi segara kutahan emosiku karena aku tidak ingin terlihat hina di mata selingkuhanmu itu.

“Hai Chel.”

Bahkan kamu masih bisa bertingkah setenang itu di saat aku mendapatimu selingkuh? Kamu benar-benar penjahat kelamin ulung, Adrian. Sekarang aku merasa bersalah karena mengabaikan nasihat Marco sewaktu menerimamu jadi pacarku tahun lalu.

Dan perempuan itu dengan kurang ajarnya mengajakku kenalan. Hei, who do you think you are?

“Hai, kamu kenal Adrian? I am Natasha, Adrian’s fiancée.”

Sekarang aku bertanya, adakah yang bisa menjelaskan kepadaku permainan apa yang sedang berlangsung sekarang?

Namun tak ada penjelasan yang terpapar ke mukaku sampai akhirnya lift berhenti di lantai delapan dan kamu melangkah keluar bersama perempuan yang menyatakan dirinya tunanganmu itu. Kamu tahu Adrian, begitu kakimu melangkah keluar dari lift ini, it’s mean we’re over.

Pintu lift menutup seiring dengan air mataku yang menetes turun.

Dengan penuh kekesalan dan sakit hati itulah aku bertemu Marco, my partner in crime.

“Gue lagi stres.” Hanya itu yang aku ucapkan dan Marco langsung mengerti. Dia segera memacu mobilnya menuju Grand Indonesia, my second home. Mengapa aku menyebutnya my second home? Karena disinilah aku menghabiskan detik demi detik akhir pekanku.

Bagi sebagian orang, mungkin tindakanku ini disebut bodoh. Ya, orang normal mana yang mau menguras tabungannya demi sepasang Jimmy Choo atau clutch Marc by Marc Jacobs atau sackdress lansiran Lanvin atau hanya sebuah trench coat Burberry? Tak masalah bagiku disebut bodoh karena satu-satunya caraku melepas stres adalah dengan shopping therapy. What I know is that I'm always happy when I walk out the store.

Lalu disaat sedang patah hati begini, apalagi yang bisa membuatku bahagia? Yes, A Prada dress has never broken my heart.

Sekali lagi tas belanjaan yang ditenteng Marco berhasil menghindarkan perhatianku dari Adrian.

Aku tidak pernah menyesal telah mengelaurkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit demi memuaskan nafsuku memenuhi my walk in closet. Seperti kata Fergie, Let's stop chasing them boys and shop some more. In my case, let’s stop thinking about Adrian and that bitch and shop more. Setidaknya barang-barang ini selalu ada untukku, mereka tidak akan membuatku menangis dan menjerumuskanku ke lubang terdalam patah hati, like what Adrian did to me.

“I’m sorry, Marco.”

Saat itu kami sudah berada didalam BMW silver Marco dan keputusannya untuk mengantarku pulang tak lagi bisa dibantah, padahal aku masih belum puas mengelilingi Plaza Indonesia. Tapi paling nggak dia masih berbaik hati mengizinkanku ke Lanvin dan memborong tiga dress disana.

“Karena telah menjadikan gue kuli panggul seharian ini? You don’t have to do it, women. Siapa lagi sih yang bisa lo suruh-suruh mengangkat belanjaan lo yang bejibun itu selain gue?”

Aku tersenyum. “Bukan untuk itu, tapi karena gue telah mengabaikan nasihat lo dan menuruti ego gue dengan menerima Adrian.”

Yah, tahun lalu aku dibutakan oleh semua pesona Adrian sampai-sampai aku mengabaikan semua fakta yang disodorkan Marco kehadapanku seputar betapa bejatnya Adrian. Satu hal yang kutahu saat itu, he’s so sexy and adorable and I’m falling for him. Just me and him and love. Cinta yang pagi tadi kusadari hanyalah kamuflase belaka.

“Hei, what’s wrong?”

“Dia bilang ada meeting hari ini tapi gue malah menemukannya di lift apartemen lo bersama cewek lain yang memperkenalkan dirinya sebagai tunangan Adrian.”

“What?”

“Kenapa lo kaget? Bukannya lo sendiri yang bilang kalau Adrian itu player sejati.”

“Ya well. Gue cuma denger-denger dari orang-orang selama ini.”

Aku membuang pandang ke luar jendela. Malam perlahan mulai turun di sepanjang jalan yang kami lalui.

“Jadi itu penyebab lo kalap hari ini?”

“Lo tahu gue kan?”

Tawa Marco menggelegar di dalam mobil yang sempit ini. “Saran gue ya, lebih baik lo mencari cowok baik-baik untuk menghindarkan lo dari kebangkrutan lebih lanjut.”

Aku tersenyum, untuk pertama kalinya di hari itu.


Sebuah kotak sepatu dengan tulisan Jimmy Choo di atasnya tergeletak pasrah di atas meja kerjaku. Tanpa bisa dicegah, air liurku menetes. Hei, siapa yang tidak tergoda melihat sepatu yang dari namanya saja sudah bisa mencekik kantong ini.

“Ini siapa yang ngirim?”

Ida, office girl yang membawakan hadiah ini ke mejaku hanya menggeleng. “Tadi orangnya bilang dia dari toko sepatu ini.”

“Oh ya sudah, thanks ya Da.”

Sepeninggal Ida, akupun membuka kotak sepatu itu. Sebuah cage heels berwarna emas dengan aksen glitter setinggi 12cm memaku pandanganku. Bukankah ini lansiran terbaru Jimmy Choo? Mimpi apa aku semalam?

Namun, selembar kertas yang terletak di dalam kotak itu menimbulkan rasa penasaran di benakku. Tanpa pikir panjang, akupun meraihnya. Seketika dadaku langsung sesak begitu kalimat demi kalimat di kertas itu berhasil dicerna oleh otakku.

Dear Rachel. First, I want to say sorry. Aku terpaksa berbohong Sabtu kemaren karena jelas tidak mungkin aku bicara yang sebenarnya. Mungkin kamu bingung mengapa kemaren aku hanya diam saja.

Natasha itu tunanganku dan kami telah bertunangan dua tahun lalu. Hanya saja setelah pertunangan itu Natasha ke London dan menyelesaikan kuliah master-nya disana. Saat terpisah jarak dengan Natasha itulah aku mengenalmu dan jatuh cinta kepadamu. Maafkan aku Rachel karena telah mempermainkanmu. Sejak awal, aku sebenarnya tidak ingin larut terlalu jauh denganmu hanya saja pesonamu sangat sukar untuk kutolak. Namun satu hal yang tidak bisa kuingkari, I love Natasha so much.

I’m sorry, Rachel Adinda. Semoga sepatu kesukaanmu ini bisa mengobati kekecewaanmu.

Adrian Nugroho

What the hell. Memangnya kamu pikir hatiku ini terbuat dari apa Adrian? Setelah kamu permainkan sedemikian rupa, lalu kamu patahkan dalam sekali kedipan mata, lalu kamu datang dan menyogokku dengan sepatu ini? Sialan kamu, Adrian. Tunggu saja sampai kita bertemu, aku akan mencekikmu. Biar kamu tahu gimana rasanya diperlakukan semena-mena seperti aku.

But, what should I do with these shoes? Return it to you? Frankly, I'm not willing. Do I have to accept it? Yeah, everyone knew what my weaknesses.

Tapi, dengan menerima sepatu ini bukan berarti aku memaafkanmu ya. Jangan harap maafku bisa dibeli dengan sepasang sepatu ini, Adrian.



P.S: Day 6 #11projects11days. Tema hari ini spesial karena bebas mau lagu apa. Awalnya saya memilih lagunya Garbage yang judulnya Only Happy When It Rains. Karena blank, akhirnya pindah ke lagu Will You Still Love Me Tomorrow by The Shirelles. Blank lagi. Terakhir saya memilih lagu tercerdas sepanjang masa yang menjadi original soundtrack film tercerdas sepanjang masa pula, Sex and The City. Yup, ebanr sekali, lagu yang mengilhami saya adalah Labels or Love by fergie.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig