FF8: Aku Benci Kamu Hari Ini

2 comments
Aku Benci Kamu Hari Ini
Oleh: Ifnur Hikmah

Pukul dua dini hari dan aku masih meringkuk di kubikelku? Sinting!

Sampai selarut ini dan aku masih sibuk mengutak atik InDesign di layar MacBook? Gila! Aku pantas diganjar penghargaan employee of the month karena dedikasiku ini.

Kuteguk Heineken yang tergeletak di atas meja. Hoekk! Aku tidak pernah suka bir murahan ini, tapi mau tidak mau aku harus tetap meneguknya biar mataku tetap on dan tidak tertidur. Lagipula, aku harus menghabiskannya sebagai ucapan terima kasih kepada Alex yang sudah berbaik hati membelikan minuman ini di Alfamart sebelah kantor. Ah, I miss my red wine.

“Rokok, Win.”

Aku menggeleng. Gila ya. Rokok dan bir secara bersamaan? Ah, lebih baik aku menembak kepalaku saja daripada bunuh diri perlahan-lahan seperti ini.

Namun sepertinya deadline telah melumpuhkan daya kerja otakku. Kalau saja my big boss tercinta itu tidak memaksa majalah ini selesai didesain malam ini juga, pasti sekarang aku bisa tidur dengan enak di apartemen. Sial. Ingin sekali aku membantah paksaannya agar aku bekerja overtime, tapi siapa aku? Seorang cungpret membantah perkataan big boss? Sampai kiamat juga itu tidak akan mungkin.

Kuantukkan kepala ke atas meja dan tertawa kering menertawakan nasibku yang mengenaskan.

“Masih banyak Win?”

“Revisi empat halaman lagi sih. Tapi tetap aja nggak bisa pulang,” sahutku lemah. Bayangan tempat tidurku yang empuk bermain di ujung mata.

Aku dan Alex sama-sama menghela nafas berat. Ya setidaknya aku punya teman senasib. Malah Alex lebih parah. Baru satu jam yang lalu istrinya menelepon dan memarah-marahinya karena untuk ketiga kalinya bermalam di kantor.

Namun tak urung perasaan iri berkelebat di hatiku. Meskipun harus banting tulang sedemikian rupa, Alex memiliki seseorang yang menunggunya di rumah. Secapek apapun dia di kantor, sekesal apapun dia karena dimarahi si big boss, paling tidak dia punya seseorang yang akan menenangkannya di rumah. Tubuh capeknya akibat memelototi monitor MacBook setiap hari akan terobati dengan kehadiran seseorang yang akan memijatnya nanti di rumah. Meskipun teleponnya berdering setiap saat dan hanya amarah yang diterimanya setiap kali mengangkat telepon, dia tahu ada cinta dan kepedulian terselip di balik amarah itu.

Sementara aku?

Mau pulang on time, pulang pagi, atau nggak pulang-pulang sekalian, tidak ada yang mencariku. Setiap kali membuka pintu apartemen, keheningan dan kekosongan selalu menyambutku. Temanku setiap malam hanyalah berbotol-botol wine, kacang pistasio, dan kepingan DVD. Tidak ada sentuhan hangat, kecupan singkat, atau belaian lembut untukku.

Shit! I hate this feeling.

Dering telepon menyentakku. Buru-buru kuaduk tas mencari keberadaan benda persegi itu.

“Ini telepon gue, Win. Lagian siapa sih yang nelepon lo malam-malam begini?” goda Alex dan langsung buru-buru pergi sebelum aku sempat mencekiknya.

Alex sialan. Kalau saja aku baru mengenalnya setahun belakangan ini, mungkin aku sudah menghajarnya dari dulu. Alex adalah satu dari sekian banyak orang yang sering menertawakan kesendirianku. Atau bahkan dialah yang paling getol menertawakanku. Dan sialnya lagi, sebagai sesama creative designer, aku dan dia sering bekerja sama, bahkan sampai larut malam, seperti sekarang.

“Yaelah. Becanda gue, Win. Jangan ngambek dong. Nih , minum lagi.” Alex menyodorkan botol Heineken kepadaku.

“Bini lo yang nelepon?” aku balik bertanya sambil menyambut botol hijau itu. Meski tidak suka rasanya, tetap saja aku membutuhkan minuman itu untuk mengganjal mataku yang sudah sangat berat ini.

“Siapa lagi. Tahu sendiri kan lo dia selalu ngabsenin gue.”

“Udah semalam ini? Memangnya dia nggak tidur?”

“Dia nggak bisa tidur kalau nggak ada gue.” Alex terkekeh.

Shit! Gejolak kewanitaanku yang telah lama tidur panjang kembali bergetar. Kapan terakhir kali aku merasakan kehangatan seorang pria di balik tidur lelapku? It’s a looooong time ago. Menyedihkan.

“Makanya gue buru-buru nyelesaiin ini biar bisa pulang. Kasihan Trisna juga ikut-ikutan begadang jadinya. Lagian gue kangen sama dia.” Alex kembali tertawa.

Namun aku tidak ikut tertawa karena hatiku telah mengucurkan air mata terlebih dahulu.

“Lo kenapa, Win?”

Apakah si tengil itu yang masih memiliki perasaan peka atau kesedihan itu benar-benar tercetak jelas di wajahku? Entahlah.

“Gue benci lo hari ini, Lex.”

Alex menatapku dengan wajah kebingungan. “Gue tahu lo nggak suka Heineken tapi nggak segitunya juga kali lo sampai membenci gue.”

Kutatap Alex dengan wajah lelah. Tidak lagi kututup-tutupi kesedihan yang melanda hatiku.

“Kita seumuran, Lex, and look at me.”

“Gue nggak ngerti.”

“Orang seumuran kita, apalagi cewek, semuanya sudah bekeluarga. Sementara gue? Masih single aja.”

“Bukannya lo enjoy-enjoy aja?”

“Iya, tapi nggak bisa dipungkiri kalau gue seringkali sedih melihat orang-orang seumuran gue punya someone to share. Capek kerja ada orang yang dicintai nunggu di rumah. Lagi kesal, sedih, atau bete, ada yang menghibur. Sementara gue? Just me, wine, cigarette, and my apartment.”

Aku menarik nafas panjang.

“Waktu melihat lo senyum-senyum sendiri dengerin istri lo ngomel-ngomel di telepon, gue jadi makin sedih. Nggak ada yang ngomel-ngomelin gue kalau lembur kayak gini. Dan lo pengen cepat-cepat pulang karena ada yang menunggu lo di rumah. Sementara gue?”

“Win…”

“Gue benci lo hari ini karena bikin gue lemah. Lo ngingetin gue sama kesendirian dan kesepian gue. Gue benci lo, Lex.”

Kupukul-pukul dada Alex sekedar melampiaskan kesedihanku. Alex berusaha menenangkanku dengan menangkap tanganku.

“Akan ada waktunya, Win.”

Tapi kapan? Ingin rasanya aku meneriakkan pertanyaan itu agar seisi dunia tahu apa yang mengganjal pikiranku selama ini.

34 years old and still single? Menyedihkan!


#15HariNgeblogF Day 8 "Aku Benci Kamu Hari Ini". Terinspirasi saat lembur dan ada temen yang diomel-omelin istrinya di telepon, hehehe. *But it's totally fiction. I'm 22, not 34, hahahahaha*
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig