Home vs The World

Leave a Comment

Senin malam gue bbm-an dengan temen. Namanya Za. Nggak penting jugalah ya kita bahas apa, tapi ada satu kalimat dia yang stuck in my mind till now.

She texted me “So urban. Like my fairytale, it’s too cosmopolitan. Never imagine if we’re still trapped in our village. No kind of this story told.”

It just a simple sentences but if think about it more and more, I realize one thing.

Sekarang kita kembali ke masa empat tahun lalu, masa-masa sebelum gue lulus SMA.

Waktu itu, jika menilik ke perangai gue #tsaaahhh nggak heran sih jika orang-orang beranggapan gue kebanyakan omong dan bilang gue kelewat pede. Tapi gue keukeuh dengan pilihan gue, event my mom ask me to stay there. I don’t want to stay. I wanna go. Bukan karena gue sombong kualitas pendidikan di sana nggak sebagus di Jakarta, tapi ini lebih ke diri gue.

And the reason is “gue nggak mau end up di tempat gue berawal. Bukan karena gue sombong atau apa, it just because I want to improve myself. I don’t want to stuck there, menjalani rutinitas yang sama dengan yang gue jalani selama 18 tahun, berkecimpung di hal yang itu-itu aja, tetap berada di lingkaran yang sama. Gue mau melihat dunia luar dan hal pertama yang harus gue lakuin adalah keluar dari kota kecil ini. “

Life is short, right? Karena gue tahu hidup ini singkat makanya gue memilih untuk improve myself. Gue sudah cukup tahu dan paham apa yang ada di lingkungan sekitar tempat asal gue. Di sana gue nyaman. Gue cukup jalan santai untuk dapetin apa yang gue mau. Tapi, hanya itu. Sementara yang gue mau adalah dapetin tantangan dan wawasan baru. Gue ingin mengenal dunia luar, nggak peduli sesulit apapun itu.

Balik lagi ke bbm Za di atas. Gue setuju. Baru empat tahun ya gue tinggal di sini tapi gue udah kenal banyak dengan hal-hal yang gue yakini nggak akan gue dapetin di daerah asal gue. Menyesal? Of course not. Gue malah makin tertantang untuk terus bergerak keluar.

Begitupun halnya ketka gue lulus kuliah dan mama meminta untuk pulang. Sekali lagi gue ngecewain beliau. I don’t wanna go home and live there till the end of time. Masih banyak tantangan lain yang menunggu gue di sini.

Tapi, setiap pilihan memiliki konsekwensi, bukan? Begitupun dengan pilihan gue. Gue pun dianggap sombong, aneh. liar and another negative things sama temen-temen gue. Hanya karena apa yang gue hadapi di sini itu nggak bisa diterima oleh nalar merka jadinya gue yang di alienasi.

Gue bisa ngebayangin apa yang terjadi jika seandainya gue memilih untuk tetap tinggal disana. Tetap melihat dunia sebatas hitam dan putih. Jadi pegawai negri yang punya banyak waktu lowong. Jalan untuk ngembangin diri minim banget. Usia segini sudah mikrin pernikahan. No more career things in my mind. Cuma geleng-geleng kepala aja dengerin cerita tentang nightlife, LGBT, hedonism, urban style, and another urban life. Dan menganggap semua itu salah besar.

#sigh

Namun, sekali keluar jadinya ketagihan terus ingin keluar lagi. Sekarang lagi-lagi gue harus adu urat leher dengan mama karena mencetuskan keinginan untuk keluar. Keluarga besar gue nggak setuju. Salah satu sepupu gue memutuskan untuk kerja di Jepang dan menikah disana. Gue suka sama dia dan mendukung pilihannya tapi sayang nggak ada satupun yang mendukung dia. Mama juga berat melepas kakak gue untuk kuliah diluar hanya karena usia dia sudah 27 tahun dan bagi mama itu sudah tua. Sayangnya, si kakak selalu jadi si penurut sehingga dia memendam keinginan itu meskipun kalau dia mau beasiswa itu udah ada di tangannya.

And me? Maaf ma kalau selamanya iif akan jadi si pembangkang. I want go out dan melihat apa yang ada diluar sana dengan mata kepala sendiri. Keinginan ini sama besarnya dengan keinginan gue dulu waktu SMA dan nggak sabar untuk segera keluar.

So, have you ever imagine if wyou’re still trapped in your village?

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig