Prolog: Eaaa telat. Ini harusnya hari ketujuh malah baru dipublish sekarang. Untuk tantangan kali ini nggak lengkap, banyak bolong-bolongnya, hehehhe *sungkem sama masmin dan yumin*
Biru, Jatuh Hati
Oleh: Ifnur Hikmah
(part of 15 Hari Ngeblog FF 2)
Pangandaran siang itu. Matahari
sedang tinggi-tingginya. Bukan saat yang tepat untuk bekerja sebenarnya.
Terlebih di Pangandaran, saat setiap jengkal yang kujejak meneriakkan kata
‘libur’.
Namun kehadiranku di sini bukan
untuk berlibur. Meski semua orang mendecakkan lidah pertanda iri karena
pekerjaanku yang tidak statis dan memungkinkanku mengunjungi tempat-tempat yang
hanya bisa mereka kunjungi di musim liburan, tetap saja kehadiranku di bawah
label bekerja.
Kehadiranku di sini bukan atas
nama bahagia. Sadomasochist
sepertinya cocok disematkan di dadaku, mengingat luka yang kutorehkan di hatiku.
“You’re the greatest photographer I’ve ever known. Gue nggak mau
momen paling membahagiakan dalam hidup gue dirusak hanya karena salah memilih
fotografer. Please?”
Tatapan penuh permohonan itu
meruntuhkan tembok yang melindungi hatiku. Dan aku pun menganggukkan kepala.
Lalu mengikutinya hingga tiba di
Pangandaran.
“Marcell, how do I look?”
Sebuah suara yang melengking
tinggi membuyarkan lamunanku. Kuangkat tatapanku dari lensa kamera yang tengah
kuotak atik. Seorang perempuan bertubuh mungil dengan dress berwarna biru menyambutku. Dia. Cantik.
“How do I look, Marcell?”
Kuacungkan ibu jari sebagai
pengganti kata oke. Seharusnya dia tidak bertanya. Biru, ataupun warna lain,
semua tampak sempurna di tubuh mungilnya.
“Oke. Nanti fotoin aku dan Reggy
sambil bermain air laut ya. Di luar konsep sih, cuma aku suka. Pura-pura candid aja. Mau kan Marcell?”
Sekali lagi aku mengacungkan ibu
jari pertanda aku menyetujui permintaannya. Andai saja dia tahu, tanpa
memintapun aku akan dengan senang hati memotret dirinya. Bukankah sejak dulu
hal itu sudah kulakukan?
Mini studio yang ada di
apartemenku menjadi saksi, tempat aku melakukan eksibisi dengan dia sebagai
bintang utama di sana. Dan aku, satu-satunya pengunjung setia eksibisi
tersebut.
“Thanks Marcell.”
Aku hanya tersenyum tipis saat
melihat sosok itu menjauh. Seorang pria kemayu langsung menghampirinya dan
membubuhkan bedak di wajahnya. Aku tetap memperhatikannya, dalam diamku, hingga
akhirnya dia siap untuk sesi pemotretan selanjutnya.
Sebuah tepukan di pundak membuatku
tersadar. Aku menoleh dan mendapati sosok Reggy tersenyum kepadaku.
Reggy. Kakakku. Calon suami
perempuan bergaun biru yang telah lama menjadi bahan imajinasiku.
“Thanks, Marcell. Gue nggak tahu mesti nggebalesnya gimana.
Gara-gara gue, lo terpaksa menolak banyak job.”
Reggy terkekeh.
Aku tersenyum tipis. “Anytime, Gy. You’re my brother. Kakak
gue mau nikah dan butuh bantuan gue, masa iya gue nolak?”
Reggy merangkulku pelan. “Gue ke
Rima dulu ya.”
Aku mengangguk dan mengalihkan
pandangan ke lautan biru di hadapanku. Cukup aku menyiksa diri dengan
menyaksikan kemesraan Reggy dan Rima melalui lensa kameraku. Aku tidak ingin
menyaksikan mereka langsung dengan kedua mataku. Cukup aku menjadi sadomasochist dengan mengiyakan ajakan
Reggy untuk menjadi fotografer pre-wedding-nya.
Aku tidak sanggup lagi menyakiti diriku dengan kemesraan mereka.
Dari ujung mata, aku melihat Rima
berlari ke arah Reggy. Gaun biru itu bermain ditiup angin. Dan sekali lagi,
untuk yang ke sekian kalinya, aku jatuh hati akan sosok itu.
0 Comments:
Post a Comment