Intermezzo: 15 Hari Ngeblog FF is back. Yeaiii. Akhirnya blog ini terisi lagi. Kali ini ada yang beda karena selain ditentuin judulnya, juga ditentuin settingnya. Setting pertama itu jam gadang. Hahahha. Sekalian nostalgia cyinn. Homesick, yess. Di cerita ini iseng inget-inget saat jalan-jalan di jam gadang dulu waktu SMA. Biar maki afdol, minjem nama mantan gebetan ah (sama nama ceweknya waktu itu), hahaha. (Dan pake foto sendiri waktu main-main di jam gadang dua tahun lalu with Feni dan Hilza).
Menanti Lampu Hijau
Oleh: Ifnur Hikmah
(Part of 15 Hari Ngeblog FF 2)
“Pengumuman kepada bapak, ibu,
uda, uni, om, tante, mamak, dunsanak. Dilarang membuang sampah di pelataran jam
gadang dan menginjak rumput. Terima kasih.”
Sekali lagi peringatan itu masuk
ke telingaku. Entah sudah berapa kali peringatan berbunyi sama mampir ke
pendengaranku semenjak aku mendudukkan tubuhku di sini, di taman jam gadang. Sudah
tidak terhitung berapa banyak badut yang menghampiriku –Mickey Mouse, Doraemon,
Spongebob, whatever you name it- dan
melenggak lenggokkan pinggulnya yang gendut di depanku.
Aku bergeming.
Sama sepertimu. Bergeming di
tempatmu.
Kita terdampar di sini. Kota yang
katamu penuh akan kenangan. Kenangan tentang dia.
Sekali lagi aku menatapmu. Kita terpisah
jarak sekitar dua meter. Sebilah jalanan memisahkan kita. Aku yang menatapmu
dan kamu yang mendongak ke puncak Jam gadang di hadapanmu.
Tempat duduk yang terbuat dari
batu ini terasa sakit saat kududuki. Namun, ada yang lebih sakit. Hatiku,
Mengikutimu selama dua jam
penerbangan Jakarta – Padang, lalu melewati jalanan berkelok-kelok dengan
deretan jurang di kiri kanan, hanya untuk menyaksikanmu meratapi nasib.
Kamu terlihat sedih. Aku malah
lebih sedih lagi.
Katamu, “Di sini aku menembaknya
dulu. Mengungkapkan cinta dengan cara norak khas remaja kota kecil. Mengutip Sapardi
karena beberapa jam sebelumnya baru saja membahas puisi itu di sekolah. Oh ya,
sekolahku tidak jauh dari sini. Kamu lihat ke bawah sana? Tinggal jalan kaki
menuruni lereng yang sudah disulap jadi pasar ini, lalu turun tangga di bagian
tengah lereng dan tinggal lurus saja. Kamu akan menemukan sekolahku di sana,
SMA terbaik di kota ini, tempat aku bertemu dengannya.”
Aku hanya menelan ludah. Pahit rasanya
melihat kamu tersenyum cerah. Tapi senyum itu bukan karena aku, tapi dia.
“Aku bertemu dia di hari pertama
MOS. Dia adik kelasku,” ujarmu lagi, “lalu kita sering bertemu di angkot yang
membawa kita ke sekolah. Sepulang sekolah, aku selalu mengantarnya pulang. Lewat
pasar lereng itu, lalu ke sini, ke pelataran jam gadang. Kita selalu berhenti
sebentar. Makan kacang rebus atau cuma mendengarkan pengamen menyanyikan satu
dua lagu. Setelah itu, aku mengantarnya pulang. Rumahnya di sana, di belakang
Plaza Bukittinggi ini. Oh, dulu Plaza ini belum ada. Hanya tempat parkir yang
sesekali disulap jadi pasar kaget saat musim libur tiba.”
Kembali aku menelan ludah. Kenangan
itu menghantuimu, selalu. Saat kamu di Jakarta, dan akhirnya membawamu pulang,
ke sini.
“Kamu lihat anak-anak SMA itu? Seragam
mereka sama seperti seragamku dulu. Dia juga seperti itu. Mengenakan jilbab
tapi ada poni yang terlihat mengintip.” Kamu terkekeh.
Aku sudah tidak tahan lagi. Dengan
menghentakkan kaki, aku berjalan menuju tempat duduk yang ada di seberang
jalan. Kamu tidak mengejarku, pun bertanya mengapa aku pergi. Kamu hanya
menatapku dari seberang jalan. Sesekali berganti dengan menatap jam gadang.
Bahkan sampai satu jam berlalu. Kita
masih saja diam. Kamu yang mereguk kenangan masa lalumu, dan aku yang menunggumu
terlepas dari bayangan itu.
“Sampai kapan, Di?” tanyaku lirih.
Kamu menatapku dengan pandangan
kosong. Demi Tuhan, aku sudah tidak sanggup melihat kamu dengan pandangan
kosong seperti itu. Three years are
enough, Di.
Kamu menggeleng. Gelengan yang
selalu kulihat setiap kali aku menanyakan hal yang sama; kapan lampu hijau di
hatimu menyala untuk orang lain selain Vina, mantan pacarmu yang sudah tiada
itu?
“Mungkin sampai angka empat di jam
gadang berubah menjadi yang seharusnya.”
Sekali lagi, aku menghela nafas
berat. Sampai angka empat berubah menjadi yang semestinya? Aku sudah cukup
dewasa untuk paham bahwa kamu tidak akan pernah menyalakan lampu hijau untukku
ataupun perempuan lain, dan memilih untuk selamanya tenggelam dalam kenanganmu
bersama Vina.
0 Comments:
Post a Comment