Prolog: Setelah absen di hari ketiga dan keempat, finally bisa ikutan lagi di hari kelima. Mengambil setting kota khilaf, bandung. Why oh why mesti Bandung yumin dan masmin? *lempar tangis ke Surabaya dan Lombok*
Sepanjang Jalan Braga
Oleh: Ifnur Hikmah
(Part of 15 Hari Ngeblog FF 2)
Kusebut ia kota khilaf. Khilaf
atas dompet karena jejeran toko yang tidak bisa ditolak, juga khilaf hati yang
pernah kulakukan tahun lalu.
Weekend getaway ke Bandung
serasa sudah menjadi rutinitas. Kemacetan sudah tidak lagi menjadi penghalang.
Jalan Braga di salah satu sudut kota Bandung selalu memanggil-manggil. Sampai
hari ini.
Kutatap docmart putih yang membungkus kakiku. Juga fedora hitam yang siap melindungi
rambutku dari sengatan matahari. Postman
bag yang setengah lusuh tersampir di pundakku. Dan sekaleng Carlsberg yang siap
kutenggak.
And Braga, here I come.
***
Once in a lifetime.
Kurasa setiap orang harus
berbuat gila sekali dalam hidupnya. Apapun itu. Be reckless. Be spontaneus. Live
to the fullest. Toh hidup ini terlalu singkat untuk dijalani dengan serius
dan penuh pertimbangan. Sekali-kali, biarkan kakimu melangkah tanpa tujuan dan
bersiaplah menghadapi kegilaan di depan sana—itulah prinsipku.
Braga. Salah satu jalan di
Bandung yang kaya akan arsitektur kolonial. Juga hiburan malamnya. Sebuah
padanan yang menarik. Sepanjang siang aku bisa menjelajah mencari objek menarik
untuk dijepret kameraku, dan dilanjutkan dengan berpesta semalam suntuk.
Perfect
.
***
"Come on, baby. Smile."
Bahkan menarik bibir untuk
tersenyum saja aku tidak bisa. Kepalaku masih terasa berat, efek
berkaleng-kaleng alkohol murahan yang kutenggak semalam.
Forget about Chivas or Martini last night karena siapa sangka aku malah berakhir dengan minuman
kaleng murahan di salah satu penginapan di Braga. Pria setengah bule yang
kutemui di salah satu klub begitu menarik perhatian. Senyumannya. Kemampuannya
meracik minuman. Kepiawaiannya bercerita apa saja tentang Braga—katanya dia
lahir di sini. Entah iya atau tidak, aku tidak peduli. Karena sejak detik
pertama melihatnya, aku sudah tertarik.
Entah magnet apa yang
dimilikinya sampai-sampai aku mengangguk tanpa perlawanan saat dia bilang ingin
ikut aku pulang ke penginapanku. Berselang cerita, minuman, dan ciuman, aku dan
dia menghabiskan malam bersama.
"Ayolah. Jangan cemberut."
Kepalaku masih terasa pening.
Akumulasi begadang dan alkohol yang kutahu sangat tidak baik untuk kesehatan—tapi
toh tetap kulakukan.
"Smile...."
Karena tidak juga mengindahkan
keinginannya, dia mendekatiku dan menciumku lembut, lalu menarik bibirku hingga
tersenyum. Blitz kamera terasa
menyilaukan di dalam kamar yang gelap dan berantakan ini.
"Come on. Kita mandi dan melanjutkan petualangan. Nanti malam kamu
harus balik ke Jakarta kan?"
Aku mengangguk. Ketika melihat
dia, baru kali ini aku merasa enggan untuk kembali ke Jakarta.
Sepanjang siang kuhabiskan
dengan menyusuri jalan Braga. Aku lebih banyak diam. Kubiarkan dia bercerita
apa saja—kebanyakan tentang Braga. Aku hanya ingin mendengar suaranya—suara bariton
dengan aksen Inggris yang masih kental di balik bahasa Indonesia yang sangat
lancar. Kubiarkan dia menggandengku kemana saja. Dan ketika dia mengantarku ke
stasiun, aku merasa berat untuk beranjak.
Bandung memaku langkahku.
Braga merantaiku untuk tetap di sini. Dia memasung hatiku di balik senyumannya.
I don't know him but I think I'm falling for him. Kegilaan paling parah yang pernah kulakukan. Khilaf
tak termaafkan yang pernah kuperbuat.
Aku berbalik dan yang kulihat
hanya punggungnya yang kian menjauh.
Shit. This time I realize that I’m falling in love with a stranger.
***
Setiap weekend kuhabiskan untuk kembali ke Bandung. Mencoba mencuri-curi
waktu di balik kesibukan. Ada kalanya Jakarta menghambatku untuk pergi, dan aku
uring-uringan karena Braga memanggil-manggilku. Dia—yang tak pernah kutemui
lagi—memanggil-manggilku.
Kali ini aku kembali ke
Bandung. Kembali berjudi dengan peruntungan di jalan Braga. Kutenggak Carlsberg
yang nyaris kosong, dan mulai melangkahkan kaki di jalan penuh kenangan ini.
Ada doa di setiap jejak langkahku. Doa agar aku bertemu dia lagi.
Dia, stranger yang telah menawan hatiku.
:D
ReplyDeleteIt used to call love at first sight or...addictive, isn't it?