I Want You For My Breakfast

1 comment
I Want You For My Breakfast
Oleh: Ifnur Hikmah


PS: Interpretasi liar dari imajinasi yang kelewat batas, hahha. Kesamaan nama hanya karena keinginan iseng penulis saja, tanpa tendensi apa-apa *lol*




Ada banyak karakteristik yang bisa menimbulkan benih-benih cinta. Tampan, itu pasti. Setidaknya seseorang yang bisa membuatmu menitikkan air liur saat pertama menatapnya adalah calon yang tepat untuk dibawa ke mana saja. Baik hati, well, menurutku ini tentatif. Bukankah isi hati seseorang akan lebih tereksplor saat pertemuan sudah berjalan lama? Memiliki postur tubuh yang membuatmu ingin menggelosor di dadanya? Ah, percayalah. Sangat menyenangkan merebahkan kepala di dada bidang dan menikmati setiap tarikan nafasnya.
Lalu aku, apa yang membuatku jatuh cinta? Otaknya yang membuatnya bisa disandingkan dengan beberapa nama pemilik IQ tertinggi. Dia tidak terlalu tampan, tapi bisa dibilang menarik, meski bukan tipe yang bisa membuat seseorang langsung jatuh cinta dalam satu kali kedipan mata. Namun setelah melewatkan beberasa menit bersamanya, percayalah, tidak akan ada yang rela mengalihkan tatapan matanya dari sosok itu, sedetikpun. Terlebih dengan semburat biru di sepanjang garis rahangnya. Menyegarkan.
Namun otaknyalah yang membuatku bertekuk lutut. Ketika dia tanpa jeda menjelaskan tentang kemegahan CCTV Headquarters di Beijing, atau ketika dia dengan mata menerawang menceritakan pengalamannya membangun rumah adat di Waerebo—demi Tuhan, where the hell Waerebo is?—atau ketika dia bercerita masa-masa menjalani ekskursi dan menelaah bangunan-bangunan yang menjadi makanannya. Seakan semua atensiku tersedot olehnya.
Dan memang benar. I don’t care about my new Glamour September Issue with Victoria Beckham on the cover, because I want this guy so bad.
*

Terik matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca lebar yang menutupi salah satu sisi dinding. Mataku mengerjap terbuka, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi.
“Morning, sleepyhead.”
Sebuah suara serak masuk ke pendengaranku. Aku tersenyum meski enggan untuk bangun. Aku masih setia dengan posisiku—tengkurap di atas tempat tidur. I don’t care about my naked back, toh dia sudah menikmatinya semalam.
Anyway, aku masih belum habis pikir bagaimana bisa end up di sini. Maksudku, aku tidak menyesal. Demi Tuhan, siapa yang menyesal telah menghabiskan malam bersama pria yang kujamin menempati urutan teratas di dalam daftar ‘calon suami idaman dan menantu dambaan semua orang tua’ itu? Hanya saja saat ini aku dilanda ketakutan besar.
Aku takut, setelah pagi ini, aku semakin jatuh cinta padanya.
“Bagaimana malammu?” Kembali sapaan itu masuk ke telingaku. Kali ini diiringi dengan sisi kiri tempat tidur yang bergerak turun, pertanda ada yang naik ke sana.
Kugerakkan mataku menelusuri sosok yang tengah duduk bersila di sebelahku. Aku menghela nafas berat saat mataku menelusuri dadanya yang dibiarkan terbuka, teringat bagaimana semalam aku bermanja-manja di sana. Mataku terus merangkak naik hingga mata kami pun beradu.
Aku masih menyukai sorot mata itu, sorot mata penuh kecerdasan dan optimisme.
“Apa aku harus menjawab pertanyaan itu? Itu artinya sama saja dengan memujimu. Nanti kamu bisa besar kepala.”
Dia terkekeh. Tangannya terulur membelai rambutku. Tangan yang begitu piawai menorehkan sketsa rumah di atas kertas, dan juga piawai membelai setiap inchi tubuhku hingga aku bergidik merasakan sensasi yang ditimbulkannya.
“Kalau gitu nggak usah di jawab,” sahutnya dan menghadiahiku sebaris senyuman, “sarapan, Ta.”
“Mau minum,” seruku manja.
Pria itu hanya tersenyum dan menyodorkan segelas susu coklat ke hadapanku.
“Aku tidak suka susu coklat,” ujarku refleks.
“Oh. Aku pikir kamu suka.”
Aku tertawa kecil. “Berani taruhan kalau kamu selalu membuatkan susu coklat untuk sarapan tunanganmu kalau dia ke sini.”
Raut wajah itu berubah sendu. Sepertinya kesalahan besar membawa serta nama tunangannya ke dalam percakapan ini. Bodohnya aku. Sudah jelas aku yang ada di sini, di rumahnya, dalam keadaan topless dan baru saja menghabiskan waktu semalam suntuk bersamanya, tetapi malah menyebut-nyebut tunangannya pagi ini.
Masih jelas di ingatanku perubahan ekspresi wajahnya ketika semalam aku menyinggung tentang foto yang ada di dinding kamarnya. Aku baru pertama kali menginjakkan kaki di rumahnya, efek lebih lanjut dari pertemuan yang tidak di sengaja di galeri yang iseng kusambangi kemarin sore. Setelah percakapan demi percakapan yang membuat kami dekat—atau setidaknya membuatku angkat topi kepadanya—kami pun berakhir di sini, di rumahnya. Tentu dia tidak membutuhkan effort berlebih untuk menarikku ke sini. Toh aku sudah bertekuk lutut sejak pertama kali mengetahui siapa dia.
Sigit Alexander, arsitek muda terkenal yang baru saja menghiasi empat halaman profil di Esquire.
Namun ada satu hal yang tidak kuketahui, keberadaan tunangannya. Sosok perempuan itu baru kuketahui ketika mataku menatap fotonya. Otomatis, sesi ciuman hangat yang tengah kulakoni mendadak berhenti begitu saja.
Aku ingin pulang, meski jika aku pulang, aku tak lebih dari sekedar pecundang.N niat itu urung kulakukan ketika Sigit menarikku ke pinggir kolam yang terhubung dengan pintu kaca dari kamarnya. Dari bibirnya mengalir cerita tentang tunangannya. Tentang mereka yang terpaksa menjalani hubungan long distance karena dia di Jakarta dan tunangannya di London. Tentang mereka yang tidak tahu lagi harus bagaimana menyikapi hubungan yang perlahanmulai terasa hambar itu. Tentang tunangannya yang mulai ingin menyerah dan dia yang masih saja mempertahankan hubungan itu meski akhirnya dia sadar, dia tidak punya kekuatan apapun untuk mempertahankannya.
Tentang mereka yang akhirnya menyerahkan semuanya kepada waktu.
Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Aku hanya menggenggam tangannya, seakan berkata bahwa aku mendukungnya. Aku tidak tahu berapa lama kami terkurung dalam keheningan karena satu-satunya yang kutahu, ketika kami tidak sengaja bertatap mata, gejolak perempuanku menyuruhku untuk menyambut ciumannya. Ketika bibir kami saling berpagut dan Sigit yang meraupku ke dalam pelukannya, aku pun membiarkan otakku bergerak liar.
Satu hal lagi yang kutahu, aku terbangun pagi ini dengan perasaan puas. Disampingnya.
“Aku sedang tidak ingin membicarakan Maria,” desahnya pelan. Dari hela nafasnya yang terdengar berat, aku bisa mengerti betapa berat beban yang dikandungnya, “kamu benar. Maria perempuan, dan aku sebagai laki-laki tidak mengerti atau mungkin mencoba mengingkari kebutuhan mendasar perempuan. Semalaman aku berpikir, aku hanya memberikan ketidakjelasan masa depan kepadanya.”
Ucapan itu sontak membuatku terduduk. “Sungguh, aku tidak bermaksud membuat hubungan kalian menjadi suram.”
Sigit tersenyum tipis. “Tanpa kamu pun hubungan ini sudah suram.”
“Iya, tapi, aku… maaf, harusnya aku tidak mengatakan apa-apa semalam.” Aku tergagap.
Demi Tuhan aku tidak bermaksud mengacaukan hubungan mereka. Mungkin aku dilanda sedikit cemburu, tapi aku tidak ingin merusak hubungan itu. Bagaimanapun juga, aku baru mengenal Sigit kemarin, sedang Maria sudah mengenalnya lima tahun lalu. Aku hanya berusaha menyampaikan realita. Kenyataan bahwa hubungan yang mereka jalani selamanya akan jalan di tempat, tanpa ada masa depan yang jelas, jika tidak ada yang mengalah dan memutuskan untuk pindah. Sigit sudah sukses dengan kehidupan dan karirnya di Jakarta, begitupun dengan Maria di London. Sebuah halangan berat ketika mereka memutuskan untuk ingin mengikat hubungan itu.
“Sudahlah. Kamu hanya menyampaikan kenyataan. Kenyataan yang selama ini kuingkari.”
Refleks aku memeluk sosok itu. Tubuhnya berguncang ketika mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya melalui helaan nafas. Lama dia terdiam dalam pelukanku dan aku pun tidak bermaksud untuk melepaskannya. Aku menikmatinya, menikmati saat-saat dalam diam seperti ini. It’s weird but I love it.
Sampai akhirnya Sigit melepaskan dirinya dan menatapku lekat-lekat. “Yakin nggak mau susu coklat untuk sarapan?”
Aku menggeleng.
“Tell me, what do you want for breakfast?” tanyanya, diiringi dengan sebuah kedipan dan senyum tipis tersungging di bibirnya.
Kucondongkan tubuhku hingga nafasnya yang beraroma mint terasa jelas di wajahku. Lalu, bisikku “I want you for breakfast.”
Sigit meraupku ke dalam pelukannya. Sebelum dia membuaiku lebih lanjut, aku masih teringat untuk menjulurkan jari tengahku ke arah foto Maria.
Salah dia tidak ada di sini and I don’t care about her.

PS2: Dibuat dengan penuh kemupengan dan keinginan untuk ngesot ke Serpong sana *lol*
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

  1. If, really blame on you for my wild fantasy after reading this! haha

    ReplyDelete

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig