Pulang
(Untuk Proyek #30HariLagukuBercerita oleh @PosCinta.
Diambil dari lagu Wilson Phillips, All The Way From new York)
(Pict: Logo Welcome to 57th Street, Manhattan, NYC)
I'm gonna ask you for something, and it may sound like a lot
I've never really asked you for anything, no
We've always lived so far apart
Would you fly all the way from New York to see me?
Could you fly all the way to stand here next to me?
I didn't think so
(All the way from New York by
Wilson Phillips)
Mataku terpejam. Sejenak deretan
gedung pencakar langit yang menghampar di balik jendela lebar yang menggantikan
satu sisi dinding apartemenku lenyap dari pandangan. Berganti gelap.
Aku masih terpaku di balik meja
hitam ini. Berusaha meredakan debar yang mendadak menghampiri sedetik setelah
layar Macbook di hadapanku menampakkan sebuah surat elektronik. Hanya pesan
singkat. Sebuah petikan lagu, tanpa tambahan apa-apa.
Namun itu sudah mampu membuat
pagiku menjadi kelabu. Tidak peduli sinar matahari musim panas bersinar cerah
di langit Manhattan.
Bunyi dering mesin penjawab
telepon mengagetkanku. Membuatku tersadar akan waktu yang terbuang percuma pagi
ini—meski tak lama kemudian kusadari aku hanya membuang waktu lima menit saja.
“Hello, this is Reina. Please leave a message.”
“Reina, I need your report, now.”
Aku terlonjak. Detik itu juga aku
dipaksa kembali ke dunia nyata. Dunia nyata yang bahkan bergerak sekian kali
lebih cepat dibanding langkah kakiku.
Sekali lagi, kuberanikan diri
untuk membaca pesan singkat itu. Isinya masih sama, hanya sebuah petikan lagu. Namun
apa yang tidak tertulis di sana berdentang dengan lantangnya di benakku.
Sebuah pertanyaan yang memintaku
untuk pulang.
*
Tumit sepatuku melangkah mantap di
sepanjang 57th street. Di sepanjang mata memandang, hanya ada
gedung-gedung pencakar langit yang sudah menjadi trademark kota Manhattan. Langkahku melangkah mantap menuju Frederick Douglass Boulevard sampai
nantinya berlabuh di Central Park. Itulah tujuanku sore ini. Menghabiskan
sedikit waktu yang kupunya sebelum pulang ke apartemen sepiku.
Aku menyesap kopi yang kubawa. Angin
sore ini terasa cukup bersahabat meski matahari musim panas terasa menyengat. Aku
rindu angin musim dingin. Ketika pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Big Apple dan berselancar sepanjang hari
di Wollman Rink.
Jauh di belakang tertinggal Hearst
Tower yang memerangkapku sepuluh jam sehari. Sebuah perangkap yang menyenangkan
meski untuk itu, aku sering diberi cap sebagai “budak pekerjaan”. Bagiku, itu
bukan masalah. Bukankah ini yang kuinginkan? Menapak karir di kota yang menjadi
pusat pergerakan roda perkenomian dunia? Sudah banyak yang kukorbankan, hingga
akhirnya aku bisa berdiri mantap di atas kakiku sendiri. Seorang diri di kota
yang sangat asing.
Namun penggalan lirik lagu yang
mampir ke inbox emailku membuatku
goyah. Sepanjang hari aku berusaha mengabaikannya, namun aku terlanjur kalah
bahkan semenjak pertama kali mataku menyusuri baris demi baris di email itu.
Dia memang tidak pernah meminta
apapun padaku, namun sekalinya dia meminta, dia tahu, sulit bagiku untuk
mengabulkannya.
Langkahku terasa limbung. Bukan karena
sepatu setnggi 12 cm ini sudah tidak sanggup lagi menopang bobot tubuhku, tapi
karena detak jantungku yang tiba-tiba bereaksi lebih cepat dibanding biasanya. Buru-buru
aku mencapai bangku beton yang tersedia di pedestrian dan mendudukkan tubuhku
di atasnya.
Pemandangan Hudson River sama
sekali tidak berhasil membuatku tenang. Berbagai gejolak yang berasal dari masa
laluku tercurah begitu saja. Satu per satu saling berebut ingin keluar.
Aku benci jika harus memikirkan
ini. Namun sekarang aku bahkan tidak punya kuasa memikirkan hal lain selain
terpaksa menikmati kembali kehadiran masa laluku.
*
Jakarta, tiga tahun sebelumnya.
“Enam bulan?”
Aku mengangguk. “Hanya enam bulan,”
tegasku.
Wajah tampan dihadapanku merengut.
Sedikitpun tidak terlihat senyum sumringah seperti yang selama ini sering
diberikannya padaku. “Kenapa harus New York?”
“Kamu lupa? Pusat majalahku kan di
sana.”
“Tapi New York itu jauh.”
“I know.” Lalu aku pun menenggelamkan sosok itu ke dalam pelukanku.
Aku tahu New York itu jauh. Perbedaan waktu yang cukup mencolok juga menjadi
penghalang yang nanti akan timbul ketika aku mendaratan tubuhku di kota itu. Belum
lagi godaan demi godaan, baik di Jakarta ataupun new York, yang sanggup
memunculkan ketakutan untuk berpaling di hatiku.
Aku mencintai pria ini. Sepenuh
hatiku.
But I love my job too. Mendapat kesempatan bekerja langsung di kantor
pusat Cosmopolitan, meski hanya enam bulan, itu pun demi memajukan edisi Indonesia
yang kutangani, menjadi berkah yang tak ternilai harganya. Tentu aku tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini.
Meski untuk itu aku harus
meninggalkannya.
Dan aku memang meninggalkannya
dengan satu janji kepulanganku begitu semuanya selesai.
Lalu enam bulan berubah menjadi
satu tahun. Bukan inginku untuk berlama-lama di sini meski tidak bisa
dipungkiri, New York selalu membuatku jatuh cinta. Semenjak pertama kali
melihatnya di layar bioskop ketika menonton Home Alone saat aku masih kecil. Musim
dingin New York dan Wollman Rink telah tertanam erat di benakku, membuatku
membulatkan tekad untuk mengunjunginya suatu hari nanti. Aku berhasil, bahkan
lebih dari itu, aku tinggal dan bekerja di sini.
“Katamu hanya enam bulan?”
“Aku juga nggak tahu kenapa
diperpanjang. Barusan kantor di Jakarta memberitahuku perihal perpanjangan ini,”
sahutku. Aku tahu, di seberang sana, dia tengah memberengut kesal. Aku pun
begitu. Bukan hanya dia yang merindukanku, aku pun juga merindukannya.
“Berapa lama?”
“Enam bulan lagi.”
Begitu saja. Telepon ditutup tanpa
ada penjelasan lebih lanjut. Dan aku pun melanjutkan kehidupanku di New York.
Lalu satu tahun berganti menjadi
dua tahun. Kali ini karena keputusanku sendiri.
Cosmopolitan US menawariku suatu
penawaran yang tidak mungkin kutolak. Menjadi karyawan mereka. Sepenuhnya. Dan begitu
kukonfirmasikan kepada Cosmopolitan Indonesia, mereka menyerahkan semuanya di
tanganku.
Aku bimbang.
“Kamu bercanda kan?”
Teriakan itu kuterima sedetik
setelah aku menyampaikan penawaran ini via telepon. Aku sudah menduga akan menerma
nada keberatan ini. Uuntuk waktu enam bulan saja, dia sudah keberatan, apalagi
sekarang? Untuk waktu yang tidak ditentukan kapan batas akhirnya.
“Terserah kamu.”
Telepon diutup begitu saja, bahkan
sebelum aku melontarkan sepatah kata berisi pembelaan.
Dan aku pun melanjutkan hidupku. Di
sini, di New York. Terhitung sudah menginjak tahun ketiga semenjak kali pertama
aku menginjakkan kaki di sini.
*
Aku memandang berkeliling. Merekam
setiap detik yang kulalui di New York dan membekukannya di ingatan. Aku pasti
akan membutuhkannya nanti. Ketika aku tidak lagi di sini.
Would you fly all the way from New York to see me?
Tentu saja aku mau. Bukan hanya
dia yang dilanda kerinduan, aku pun begitu. Meski selama ini aku berusaha
menyembunyikannya dengan menyibukkan diri, perlahan tapi pasti, kerinduan itu
selalu muncul. Entah ketika aku hendak menutup mata atau ketika membuka mata di
pagi hari. Keinginan untuk berada di dekatnya selalu ada, bahkan ketika aku
melangkah di jalanan kota New York yang begitu kucintai ini.
I love New York, but I love him more.
Dan pulang ke pelukannya, it’s all what I want.
Aku bangkit berdiri. Matahari perlahan-lahan
mulai meninggalkan langit New York, berganti dengan bintang-bintang yang
perlahan mulai muncul.
I didn't think so
Pelan, kuhela nafas panjang,
sebelum melanjutkan langkahku di 57th street.
Aku akan pulang.
Someday.
0 Comments:
Post a Comment