Tidak Sendiri

Leave a Comment
Tidak Sendiri
(Dari lagu You'll Never Walk Alone - Gerry & The Pacemakers)
(Untuk Proyek 30 Hari Laguku Bercerita)


When you walk through a storm
Hold your head up high
And don't be afraid of the dark
At the end of the storm
Is a golden sky
And the sweet silver song of the lark
Walk on through the wind
Walk on through the rain
Though your dreams be tossed and blown
Walk on walk on with hope in your heart
And you'll never walk alone
You'll never walk alone

“Dalam keadaan apapun, ingatlah, kamu tidak pernah sendirian. Ada aku. Selalu di sampingmu.”
*
Luka itu belum kering. Darahnya masih berceceran kemanapun aku melangkah. Rasa sakitnya masih menggayuti seluruh tubuhku, enggan untuk beranjak. Dan aku masih meringis. Bukan terkadang, tapi seringkali.
Aku sendiri. Menanggung luka.
Dimana kamu? Kamu yang pernah berjanji untuk selalu di sisiku, tidak peduli apa yang melandaku. Kamu akan selalu ada, berjalan di sisiku, kemanapun kakiku melangkah pergi.
Nyatanya, kamu tidak ada sekarang. Sekarang. Di saat aku membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu.
Bima.
*
Rasa ngilu menjalari pergelangan tanganku, terus menjalar ke sepanjang lengan ketika aku mencoba menggerakkan tangan kiriku. Aku meringis dan mencoba untuk membuka mata.
“Kamu udah bangun, nak?”
Aku mengenali suara itu sebagai suara ibu. Sejak kapan ibu ada di sini? Setahuku ibu ada di Semarang, bersikeras dengan egonya yang tidak ingin melihatku lagi. Sama seperti aku yang bersikeras untuk tidak akan pernah pulang ke Semarang selama ibu tidak memberikan restunya.
Namun ibu ada di sini.
“Boleh aku minta tolong ambilkan cermin, bu?”
Dari sudut mata kulihat ibu mengernyitkan dahi. Kebimbangan tercetak jelas di wajahnya. “Untuk apa?”
“Aku hanya ingin melihat keadaanku.”
Ibu bergeming. Sedikitpun dia tidak bergerak membuka tas tangannya. Aku tahu, di dalam tas tangan itu selalu ada cermin kecil yang tidak pernah absen kemanapun ibu pergi.
“Tapi, nak…”
“Bu, please.”
Ibu mengalah. Ah, coba ibu juga semudah ini mengalah ketika aku meminta restunya untuk menikahi Bima dua tahun lalu.
Perlahan ibu menyodorkan cermin kecil dengan gagang dari perak ke hadapanku. Debar di dadaku terdengar sangat kencang ketika dengan gerakan pelan tangan kananku terjulur menerima cermin pemberian ibu. Kutelan air ludah yang terasa pahit sebelum memberanikan diri mengangkat cermin tepat ke hadapan wajahku.
Dan luka bakar di pipi membuatku pingsan seketika.
*
Aku masih mengingat hari itu. Hari ketika aku membuat keputusan paling berarti dalam hidupku. Ketika Bima melamarku dan membuatku menjadi perempuan paling bahagia sedunia.
“Aku mencintaimu, Den, itu pasti. Kamu nggak ragu kan?”
Aku menggeleng.
“Menikahlah denganku.”
“Tapi…”
Kecupan singkat Bima di bibirku membuatku bungkam seketika. Namun tidak dengan gemuruh hebat di dadaku.
“Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Lalu, apa lagi yang menjadi penghalang?”
“Ibu…”
Orang tuaku, terlebih ibu, sama sekali belum bisa menerima kehadiran Bima. Salahkan sifat kolot dan cara berpikir ala ningrat yang beliau miliki sehingga menjadi sangat pemilih. Baginya, Bima bukan apa-apa. bukan keturunan darah biru. Hanya pegawai kantoran biasa. Bukan calon suami yang bisa membahagiakanku kelak. Namun aku terlanjur mencintai Bima, tidak peduli seribu penolakan dilontarkan ibu.
“Kita saling mencintai, itu yang paling penting. Mengapa mesti merisaukan hal lain?”
Pada akhirnya aku memilih Bima ketimbang menuruti nasihat ibu. Aku menikahi Bima meski tanpa restu ibu. Aku mengikuti Bima pindah ke Jakarta, meninggalkan semua kemewahan yang kumiliki di Semarang, mencoba belajar hidup apa adanya bersama Bima.
Semula aku berpikir kita akan berhasil. Aku dan Bima terus mencoba. Hingga akhirnya Bima menyerah dan memaksaku untuk ikut menyerah.
Bima menyerah kalah oleh takdir. Sementara aku? Sayangnya, api yang sengaja dia sulut untuk membakar rumah kami malam itu tidak ikut mencabut nyawaku. Hanya luka bakar di wajah dan punggung yang ditinggalkannya.
*
Tatapanku jatuh ke daun mahoni di bagian belakang rumah. Aku pulang ke Semarang, sebagai seorang pecundang. Aku tidak punya muka untuk bertemu orang tuaku, terutama ibu, sosok yang telah kusakiti namun nyatanya malah menunjukkan kasih sayangnya selama aku terbaring di rumah sakit.
“Sudah sore. Sebentar lagi maghrib. Masuk yuk, nak.”
Aku bergeming. Suara pelan ibu menelusuk masuk jauh ke dalam hatiku. Semakin membuatku terluka. Bukan lagi luka akibat kebakaran itu, ataupun luka akibat kepergian Bima, tapi luka yang kugores seorang diri. Luka yang kutimbulkan karena menyesal telah menyakiti ibu.
Tanpa bisa dicegah, air mataku mengalir turun.
Kurasakan sapuan hangat di pipiku. Tangan keriput ibu menghapus air mataku.
“Jangan lama-lama sedihnya. Tuhan masih memberimu kesempatan kedua bukan untuk dihabiskan dengan berduka, tapi untuk bangkit dan membayar semua kekhilafanmu.”
Refleks aku memeluk ibu. Rasanya seperti terlempar ke masa  berpuluh tahun silam, ketika aku terjatuh dari sepeda dan ibu selalu ada untukku.
Ibu yang selalu ada untukku. Kapanpun.
Bukan Bima, ataupun orang lain.
Bodoh. Aku mulai mengutuk diriku sendiri.
“Sudahlah, jangan nangis lagi.”
“Ibu… Maaf…” Ada banyak hal yang ingin kusampaikan namun semuanya tersangkut di tenggorokan. Hanya dua kata itu yang berhasil kusuarakan.
“Sudahlah. Ibu sudah memaafkanmu jauh sebelum kamu meminta maaf.”
Bodoh. Sekali lagi aku mengutuk diriku sendiri.
“Ibu bukannya membenci Bima. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Bodohnya aku tidak menyadari hal itu dan terlalu silau oleh cinta buta yang kurasakan. Janji-janji Bima terbukti tidak bisa membuat kita bertahan hidup. Kata-kata cinta yang selalu keluar dari bibir Bima hanya sebatas pemanis di kala malam-malam miris yang kami lalui di tahun-tahun awal pernikahan.
Lalu Bima pun pergi. Menyerah.
“Maaf… Ibu…”
“Sudahlah. Bagaimanapun juga, kamu tetap anak ibu. Ibu akan selalu ada untukmu. Dalam keadaan apapun. Kamu tidak akan pernah sendiri.”
Kalimat itu juga pernah terlontar dari bibir Bima namun nyatanya dia malah meninggalkanku sendiri. Tapi ibu?
Untuk pertama kalinya aku tersenyum. Ada ibu. Dan janjinya yang tidak akan pernah diingkari.
Aku tidak akan pernah lagi berjalan sendirian.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig