(Bukan) Perempuan Pilihan
Oleh: Ifnur Hikmah
From: weheartit.com
Cincin berlapis berlian murni itu
terlihat berkilau di bawah temaram cahaya matahari sore. Tergeletak pasrah
namun penuh keanggunan. Berkilauan dan memaksa siapa saja untuk mengalihkan
mata melihatnya.
Cantik. Cincin itu cantik.
“This is Cartier.”
Aku mendongak dan tersenyum. I know Cartier and I don’t care. Yang
kupedulikan hanyalah, mengapa cincin itu ada di sini. Di atas hamparan pasir
putih di Karimun Jawa. Matahari sore yang bersinar cerah di langit sana kian
memantulkan kilau cincin cantik itu.
Dadaku berdebar hebat. Kencang.
Dan aku pun gugup dibuatnya.
“This is super special. Very exclusive,” sambungnya.
Kualihkan tatapanku dari cincin
mahal itu ke sepasang bola mata dihadapanku. Ada kilau bahagia di sana.
Membuatnya tak kalah menyilaukan dibanding cincin ini. Namun lidahku masih
kelu. Masih belum sanggup mengeluarkan suara sepatah katapun.
“What do you think? Do you like this ring?”
Aku terpana. Butuh waktu sekian
detik untuk mengembalikan otakku agar berpikir rasional.
Tell me, salahku jika aku serasa dilambung angan berlebih bernama
pengharapan ketika seorang pria yang sangat dekat denganku, menguasai seluruh
hatiku, tiba-tiba saja menyusulku yang tengah melewatkan akhir pekan di Karimun
Jawa beserta sebuah cincin yang sangat cantik, lalu bertanya pendapatku tentang
cincin itu? I don’t think so.
“Oh Mario…” Refleks tanganku
terangkat menutup bibir. Takjub.
“Sepertinya kamu suka.”
Aku mengangguk. Cincin ini sukses
menarik atensiku sejak pertama kali Mario meletakkannya di atas hamparan pasir
putih ini satu jam yang lalu. Dan selama satu jam terakhri ini pula anganku
melayang melewati batas rasional. Meski tak pernah terucap kata cinta diantara
aku dan Mario, bagiku itu bukan penghalang. Kami sudah bersama-sama selama lima
tahun. Melewati banyak cerita bersama. Together
from Jakarta to Paris to Milan. Kemana saja. Berbagi apa saja.
Termasuk berbagi hati.
Meski Mario tidak pernah mengucap,
keberadaannya yang selalu di sisiku membuatku yakin hatinya pun telah tertuju
untukku. Dan sekarang ada cincin di antara kami.
I am very happy.
“I hope she likes too.”
What?
Mendadak senyum yang sejak tadi
membayang di wajahku lenyap sudah. She?
Dia? Kutatap Mario dengan beribu pertanyaan berkelebat di mataku. Menuntut penjelasan.
“Kamu kaget?”
Aku menelan ludah. Pahit. “Cincin
ini? Maksudmu?”
“Untuk Dinda.”
Dinda. Nama itu sontak menguasai
seluruh otakku. Nama yang melekat di diri seorang perempuan mungil tapi anggun
yang kuperkenalkan kepada Mario di hari ulang tahunku, enam bulan lalu. Dinda,
sahabatku.
Mario tertawa, membuatku kian
bertanya-tanya.
“Maaf, Na, aku menyembunyikan ini
darimu. Hanya saja, sejak pertama kali mengenal Dinda, you know, I just…” Mario mengangkat kedua tangannya. Kehilangan kata-kata.
Dari raut wajanya aku tahu kebahagiaan yang dirasakannya begitu besar
sampai-sampai dia tidak tahu harus berkata apa. “I just fall in love.”
“Are you sure?” Entahlah, aku masih belum memercayai pendengaranku.
Dinda dan Mario? Ah, it’s impossible.
“Sejak hari ulang tahunmu, aku
sering menghabiskan waktu bersama Dinda. Sampai akhirnya kami sama-sama yakin
dengan perasaan ini. Namun Dinda tidak ingin pacaran. Katanya, dia sudah
memasuki masa deadline.” Mario terkekeh.
“Dan setelah kupikir-pikir, apa lagi yang kutunggu? I love her and she loves me. Nggak ada halangan lagi, kan?”
Aku masih terpana. Namun yang
pasti, hatiku mulai terasa perih. Angan yang tadi melambung tinggi sekarang
terhempas ke dasar bumi. Perih. Sakit.
“Dia yang kupilih. I don’t need another woman. Just her, till
the end of my time.”
Aku memalingkan wajah. Menatap ke
kejauhan, menghindari raut wajah Mario yang begitu gembira. Sementara di
sampingku, cincin camtik itu maish berkilauan. Semakin menambah perih sakit
hatiku.
aduuuh. sakit, ceu. hahaha.
ReplyDeletebagus seperti selalu. gue suka cerpen-cerpen lo!!
*ga santai*
tapi.. ketebak eh. judulnya jangan spoiler dong.
*sotoy*
*sok pinter*
*sok ngerti sastra*
tapi ya.. gitu.
bikin yang baca penasaran dong. :D
nice kaka :D
ReplyDelete