Komang Artayudha
Oleh: Ifnur Hikmah
Anak kecil itu tersembunyi di
bawah rindangnya pohon mahoni di halaman sekolah. Tampak asyik menekuri kertas
gambar. Entah apa yang digambarnya. Sepertinya dia tidak ingin diganggu.
Aku hanya guru pengganti di TK
ini. Setiap kali TK yang berjarak tidak jauh dari rumahku ini membutuhkan guru
pengganti, mereka akan memanggilku. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke
sini, dan siap bercanda dengan anak-anak penuh keceriaan namun manja ini.
Perlahan, kakiku bergerak
melintasi halaman depan TK. Panas matahari terasa menyengat. Beberapa tetes
peluh bercucuran di keningku, membuat rambut panjangku terlihat lepek.
Langkahku bergegas. Sesegera mungkin menuju tepian rindang pohon mahoni agar
terhindar dari terik matahari.
“Hai,” sapaku ringan. Kumasukkan
tangan ke dalam kantong rok dan duduk di sebelah anak kecil itu.
Komang Artayudha namanya. Dari
namanya sepertinya ada darah Bali mengalir di tubuhnya. Hari ini kali ketiga
aku mengajar Komang. Dia memang selalu menjadi murid yang pulang paling
akhir—efek dari ibunya yang tidak pernah menjemput tepat waktu. Selama ini, aku
tidak pernah menghampiri Komang. Aku selalu pulang begitu jadwal mengajarku
selesai. Namun hari ini, tidak ada salahnya berlama-lama di sekolah. Lagipula,
kasihan Komang. Dia kesepian. Dia tidak memiliki interaksi sosial yang bagus
bersama teman-temanya. Lebih senang berbaur dengan kertas gambar, pensil, dan
buku cerita.
Komang menatapku sebentar. Matanya
bulat dengan bola mata berwarna coklat jernih. Dulu sekali, aku pernah mengenal
orang bermata seperti itu, dan aku suka.
“Lagi gambar apa?”
“Pesawat.”
Kulirik kertas gambar Komang.
Sebuah pesawat sedang terparkir di hanggarnya. Di pintu yang terbuka ada
sesosok pria mengenakan seragam pilot. Pria itu melambaikan tangannya.
Sementara itu, di anjungan pengantar, ada gambar seorang anak kecil melambai-lambaikan
kertas gambar.
“Ini kamu?” telunjukku terpaku
pada gambar anak kecil dan kertas gambarnya.
Komang mengangguk.
“Lalu ini?” Aku menunjuk pria
berseragam pilot.
“Papa.”
“Ayahmu pilot?”
Komang mengangguk. Tangannya masih
asyik mengarsir bagian badan pesawat.
Aku terpaku. Pilot. Profesi itu
pernah bersinggungan denganku. Ketika usiaku baru menginjak awal dua puluhan
dan masih suka bertualang. Karena keterbatasan dana, aku memutuskan menginap di
bandara Ngurah Rai di hari terakhir kunjunganku ke pulau itu. Danaku terpangkas
habis di Pasar Sukowati sampai-sampai tidak cukup untuk biaya hotel semalam
lagi. Aku yang kedinginan dan hanya berbalut selembar kardigan, bertemu Hari untuk
pertama kalinya. Hari menawariku segelas kopi hangat dan mengajakku bercerita
sampai pagi tiba dan kami berpisah. Aku mengutuk kelalaianku yang tidak meminta
kontak Hari padahal waktu tiga jam yang kami lewati begitu menyenangkan. Aku
ingin mengulangi kebersamaan ini lagi.
Beruntung Dewi Fortuna masih
berpihak kepadaku. Siapa sangka jika Hari adalah pilot yang akan membawaku
kembali ke Jakarta? Kami bertemu kembali di Bandara Soekarno Hatta, beserta
ajakan ngopi sore darinya. Ngopi sore berlanjut ke ajakan makan malam, makan
siang, sarapan, jalan-jalan. Kami pun berbagi pelukan, kecupan, ciuman, hingga
berbagi rasa. Aku jatuh cinta, begitu saja.
Namun perjalanan hati tak
selamanya mulus. Kerikil kecil bermunculan. Semuanya berawal dari aku yang
tidak bisa menerima seringnya Hari meninggalkanku akibat tuntutan profesinya.
Sekali dua kali aku masih sabar. Lama-lama, aku tidak bisa lagi. Hari lebih
sering menghabiskan waktu bersama pramugarinya ketimbang aku, kekasihnya.
Lalu kata putus menjadi jawaban.
Aku patah hati. Hari-hari kulalui dengan suram, selalu terbayang kenangan manis
bersama Hari. Meski sekian tahun berlalu, dan Hari yang sudah tidak terdengar
lagi kabarnya, jauh di sudut hatiku masih ada nama Hari.
Begitu melihat gambar Komang,
hatiku terpanggil. Nama Hari meronta-ronta di sana. Aku merindukannya. Rindu
yang kupendam sendiri. Kukubur dalam-dalam. Padahal, dialah alasan mengapa aku
masih melajang hingga usiaku sudah memasuki kepala tiga.
Pernah aku bertanya, mengapa aku
menyerah secepat ini? Mengapa aku tidak mencoba menjalaninya dan mempertebal
kesabaran yang kupunya? Tentu aku masih berbahagia bersama Hari. Atau mungkin,
aku sudah memiliki anak seusia Komang.
Aku tergugu. Penyesalan memang
selalu hadir di belakang.
Pernah aku mencoba menghadirkan
pria lain. Namun tidak ada yang seperti Hari. Hingga akhirnya aku lelah selalu
membanding-bandingkan setiap pria yang masuk ke kehidupanku dengan Hari. Lalu,
aku memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya. C’est la Vie. Gone with the wind. Let it flow. Apapun itu. I just live my life to the fullest,
meski faktanya aku masih melajang.
“Hari ini papa janji menjemputku
ke sekolah.”
Ucapan Komang menarik kembali
memoriku yang melayang entah kemana.
“Komang kangen papa ya?”
Komang mengangguk. Ini yang
kutakutkan dulu. Menanggung rindu seorang diri sementara orang yang kutitipkan
rindu sedang melayang entah di mana.
“Itu papa datang,” jerit Komang.
Kertas gambarnya diletakkan begitu
saja di atas kursi kayu. Dia berlari kencang. Aku tertawa dan mengumpulkan
peralatan Komang sebelum membawanya ke hadapan ayahnya.
Langkahku tertegun di bawah pohon
mahoni. Beberapa meter dihadapanku, kulihat Komang sedang diangkat
tinggi-tinggi oleh pria yang dipanggilnya papa. Di belakang mereka, ada
perempuan yang kuketahui bernama Sarasvati, ibu Komang. Perempuan asal Bali
yang menjadi tandemku berlatih bahasa Bali setiap kali bertemu dengannya di TK
ini.
Pria berseragam pilot itu berhenti
mengangkat tubuh Komang dan berpaling menatapku. Kulihat riak kaget di
wajahnya. Lama kami bersitatap. Aku serasa terlempar kembali ke waktu bertahun
silam. Saat aku kedinginan dan bersitatap dengan sepasang mata yang menawarkan
secangkir kopi di bandara Ngurah Rai.
Hari… desisku.
“Papa…” panggil Komang.
Hari berjalan menghampiriku. Senyum
manisnya masih sama seperti dulu.
“Raisa? Apa kabar? Aku nggak
nyangka ketemu kamu di sini. Kamu ngajar di sini?” Hari memberondongku dengan
sejuta pertanyaan yang tak satupun bisa kujawab.
“Raisa substitute teacher di TK ini.” Sarasvati menjelaskan.
“Berarti kamu kenal Komang?
Anakku?”
Aku tertunduk. Kutatap kertas
gambar Komang. Ada pria berseragam pilot di sana. Tak kusangka itu Hari.
“Senang ketemu kamu lagi, Raisa.”
Kupaksakan diri untuk tersenyum.
Kuserahkan semua peralatan Komang kepada Sarasvati. “Aku juga, Hari. Tapi maaf,
aku harus pergi. Ada janji jam dua.” Terpaksa aku berbohong.
“Mungkin lain kali kita bisa
ngobrol-ngobrol. Sambil ngopi sore. How?”
Aku mengangguk. “Why not?” Lidahku tercekat. “Bye…”
Aku segera berlalu sambil
tersenyum miris. Teringat dulu aku melepaskan hari untuk terbang kemana saja
dan dia memang terbang kemanapun yang diinginkannya, termasuk menerbangkan
hatinya ke perempuan lain. Salahku berbuat seperti itu. Dan sekarang, aku hanya
bisa tersenyum kecut saat menyadari ajakan ngopi sore itu hanya basa basi,
tidak akan berlanjut ke percintaan seperti yang dulu pernah kami jalani.
sepertinya ini lebih ke cerpen bang hehe
ReplyDelete