Merah Murah Meria
Oleh: Ifnur Hikmah
Aku suka ke pasar. Ikut Mak ke
pasar setiap pagi selalu menjadi hal yang kutunggu-tunggu. Jejeran kain warna
warni, anak ayam dan anak bebek yang cerewet, teriakan pedagang sayuran, ah
semuanya aku suka. Terlebih, sebotol limun yang dibelikan Mak di toko Ci Mar
sepulangnya Mak berbelanja.
Pagi ini aku sudah siap di depan
rumah. Baju biru dan celana biru. Sandal jepit yang juga berwarna biru. Tinggal
menunggu Mak datang dan aku siap berbelanja ke pasar.
“Mak… Mak…” teriakku tidak sabar.
Hari ini adalah hari pasar. Semua barang
dikeluarkan. Aku suka melihat barang-barang yang dijajakan di pasar. Sesekali aku
merengek pada Mak untuk dibelikan sesuatu. Ada kalanya Mak menolak, tapi tak
jarang juga Mak mengabulkan permintaanku.
Pagi ini, Mak berjanji akan
membelikanku baju baru. Untuk kupakai ke pesta ulang tahun Titi minggu depan. Ah,
aku jadi tak sabar ingin segera ke toko baju Ko Asep dan memilih-ilih baju. Aku
mau baju warna merah dan Mak setuju.
Jam sembilan, Mak muncul di pintu. Tak lupa dia
membawa tas kain yang sudah lusuh, tempat Mak meletakkan semua belanjaannya. Mak
menggandeng tanganku. Setelah berteriak menyuruh si Mbok mengunci pintu, Mak
membawaku ke pasar.
Pasar ini terletak tak jauh dari
rumah kami. Cukup berjalan kaki. Dua puluh menit saja. Aku dan Mak tinggal
berjalan sampai ke ujung gang, melintasi jalan raya, berjalan ke arah kanan
sampai ada rel kereta, melintasi rel, lalu ujung pasar sudah terlihat. Pasar letaknya
tak terlalu jauh dari rel kereta.
Toko Pak Joko ada di ujung pasar. Beliau
menjual anak ayam dan anak bebek. Biasanya aku akan berhenti sebentar, melihat
binatang-binatang kecil itu saling berebut makan. Namun kali ini aku hanya
melambaikan tangan. Aku sudah tidak sabar menuju toko Ko Asep. Siap memilih
baju warna merah.
Tapi Mak mengajakku ke kios beras.
Tak apalah. Aku masih menunggu. Mak membeli beras juga lauk pauk dan semua
kebutuhan dapur. Setelah itu, Mak mengajakku ke toko Ci Mar, tempat Mak
berbelanja untuk keperluan warung. Oh ya, Mak punya warung di rumah. Aku sering
menemani Mak menjaga warung siang-siang.
Setelah tas belanjaan Mak penuh,
barulah Mak mengajakku ke toko Ko Asep. Aku melompat-lompat saking senangnya. Aku
bahkan berlari meninggalkan Mak. Mak tidak khawatir. Toh aku sudah mengenal Ko
Asep dan semua isi pasar ini.
Aku sampai di toko Ko Asep lebih
dulu dari Mak. Ko Asep yang tak pernah lepas dari rokok langsung menanyaiku
macam-macam.
“Mana Mak-mu?”
“Di belakang.” Aku menunjuk ke
arah mak yang tampak berjalan ke toko Ko Asep. “Ko, aku mau baju warna merah.”
“Untuk apa?”
“Untuk ulang tahun Titi,” sahutku.
Aku terpana. Mataku terpaku ke
sebuah baju berwarna merah. Baju berupa gaun itu tampak cantik. Ada pita putih
di pinggangnya. Roknya melebar. Di bagian bawah dan ujung lengannya ada renda.
“Aku mau itu, Ko,” ujarku sambil
menunjuk baju merah itu.
Ko Asep tertawa, memperlihatkan
giginya yang menguning karena rokok. Diambilkannya baju itu untukku. Ah, aku
suka.
“Untukmu tak kasih murah. Lima puluh
ribu saja.”
“Benar, Ko?” Aku melompat saking
tak percayanya.
Ko Asep mengangguk dan kembali
merokok.
Aku mengambil baju itu dan
membawanya keluar toko. Kulihat Mak ada di seberang jalan. Aku melompat-lompat
sambil menunjuk baju itu.
“Mak, aku mau baju ini. Kata Ko
Asep murah. Lima puluh ribu,” jeritku.
Mak berhenti di ujung jalan. Celingak
celinguk memeriksa jalanan sebelum menyeberang.
“Mak…” panggilku. Kali ini aku
berlari ke ujung jalan. Mak lama sekali. Aku sudah tidak sabar ingin
memperlihatkan baju ini kepada Mak.
“Jangan menyeberang, Ela…” ujar
Mak, tepat di saat aku sudah berlari menyeberangi jalan.
Mak terlambat. Aku terlambat
mendengar ucapan Mak. Aku terlanjur berlari menyeberang jalan sambil membawa
baju merah yang kata Ko Asep murah itu. Tanpa sadar ada motor tengah melaju
kencang ke arahku.
Aku memekik, sesaat sebelum motor
itu menabrakku.
0 Comments:
Post a Comment