Pelukan November
Oleh: Ifnur Hikmah
Angin malam bulan November terasa
kering. Seharusnya, angin terasa sejuk, mengingat sekarang sudah memasuki musim
penghujan. Namun yang ada hanya gerah, membuat beberapa tetes keringat
bertumpahan dan membuat terusan latex yang kukenakan terasa lengket di kulit. Sungguh
tidak nyaman.
Dudukku pun tidak nyaman meski menempati
pojok favoritku di Madeleine Bistro. Mataku terasa tertarik untuk terus menoleh
ke arah belakang, padahal seharusnya aku tidak boleh menoleh. Jangan sampai
pasangan yang tengah makan malam di belakang sana menyadari kehadiranku. Bisa pecah
perang dunia ketiga yang terpusat di Kemang kalau pasangan itu melihatku.
Namun mataku gatal untuk melihat
apa yang terjadi di belakang sana. Kukeluarkan cermin kecil dari dalam clutch putih milikku. Sambil berpura-pura
membenarkan tatanan rambut, aku mengamati apa yang terjadi di belakang.
Berjarak dua meja di belakangku,
pasangan itu tengah menikmati makan malam mereka. Mereka duduk bersisian,
sesekali saling menatap saat berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas,
perempuan berambut panjang sepunggung itu terlihat antusias. Tangannya bergerak
ke sembarang arah, meningkahi setiap kata yang terlontar dari bibir berlapis lipstick
merah itu. Sementara laki-laki di sebelahnya hanya mendengarkan. Matanya terbagi
antara makanan di hadapannya dengan perempuan di sebelahnya. Sementara itu, di
atas meja ada black forest dengan lelehan coklat yang menggugah selera. Serta lilin
berbentuk angka 30.
Tentu saja, hari ini ulang tahun
pria itu. Hari istimewa yang memaksa si perempuan rela menempuh jarak separuh
lingkar bumi dari Berlin ke Jakarta hanya untuk merayakan ulang tahun si pria. Romantis
ya? Memang, tapi tindakannya hanya membuatku mencibir.
Perempuan berbaju merah itu
terlihat sangat mencintai pria yang ada di sampingnya. Jika tidak, bagaimana
mungkin dia rela mengeluarkan uang sekian ratus ribu euro demi sebuah kursi di
Singapore Airlines? Namun itu belum cukup. Apalah artinya merayakan satu hari
ulang tahun jika hari-hari lainnya dia tidak ada? Meninggalkan prianya seorang
diri sementara dia dengan egoisnya kembali ke negaranya.
Pria itu juga—katanya—mencintai perempuan
itu. Namun melihat gelagatnya yang tidak bersemangat membuatku sangsi. Mungkin dulu
dia mencintai perempuan itu, namun sekian lama terpisah, dia merasa jengah. Lelah
dengan hubungan tanpa kejelasan. Dan dia bukanlah seorang saint yang tahan terhadap godaan. Dia membuktikan dirinya hanyalah
manusia biasa yang bisa takluk terhadap godaan bernama perempuan.
Dan perempuan itu aku. Aku bukan
perempuan penggoda. Aku hanya perempuan yang takluk akan pesonanya,
kehebatannya, dan segala yang dia punya. Sampai-sampai aku hanya mencibir
setiap kali terigat fakta dia sudah memiliki tunangan. Toh tunangannya tidak di
sini, jauh di Jerman sana. Tunangannya hanya hadir melalui perantara teknologi,
sementara aku bisa menghadirkan sosok nyataku di hadapannya, kapanpun dia
menginginkan dan membutuhkanku.
Namun sialnya, perempuan itu malah
datang hari ini. Mengacaukan semua rencanak perayaan ulang tahunnya. Tidak ada
pesta besar-besaran dalam agendaku. Cukup makan malam berdua di rumahnya
dilanjutkan dengan bercinta sepanjang malam. Aku menghadiahkan diriku untuknya.
Ini jauh lebih romantis ketimbang kedatangan tunangannya selama beberapa hari lalu
kembali meninggalkannya dalam ketidakjelasan hubungan mereka.
Kugerakkan cermin itu ke sebelah
kanan. Ruang pandangku jadi lebih leluasa. Kulihat lelakiku meniup lilin di
atas kue ulang tahunnya dan perempuan itu bertepuk tangan. Dengan lancangnya
dia mencium pipi lelakiku. Sial, aku jadi cembruu. Ingin rasanya berbalik dan menarik
lengannya lalu membswanya ke tempatku agar tidak ada yang mengganggu kami. Namun
jelas aku tidak bisa. Dia melarangku, dan seperti yang sudah-sudah, aku selalu
mengiyakan apapun perkataannya.
Aku terlalu mencintainya
sampai-sampai menjadi bodoh seperti ini. But
I don’t care as long as he loves me.
Kuturunkan cermin kecil itu dan
mencoba mengisi jeda dengan melakukan apa saja. Menyantap makanan. Membolak balik
majalah. Mengrcek twitter. Apa saja, yang setiap beberapa menit kuselingi
dengan mengangkat cermin dan mengawasi situasi di belakangku.
Entah sudah berapa lama aku
menunggu, aku tidak tahu. Yang pasti, aku terlonjak kaget saat merasakan sebuah
sentuhan di pundakku. Majalah yang kubaca melorot ke lantai. Perlahan aku
berbalik sambil mereka-reka siapa yang berada di belakangku. Jangan perempuan
itu. Aku sedang tidak mood berantem
dengan siapapun. Lagipula dia perempuan yang cukup tangguh berdebat. Aku pernah
dibuat mati kutu saat dia menyemprotku lewat Skype karena kecerobohanku
mengupload foto aku dan pria itu sedang berciuman di sebuah club. Sejak saat itu, aku semakin
berhati-hati. Raganya memang jauh namun matanya ada di sini. Mengawasi gerak
langkahku.
Jantungku nyaris copot saat
sebaris senyum menyambutku. “Sigit…” desisku.
Senyum Sigit terus mengembang. Syukurlah
dia tidak marah. Sejak awal dia tidak setuju dengan kenekatanku mengunjungi café
ini di saat yang sama dengan kedatangannya dan tunangannya itu. Dia bilang akan
datang ke apartemenku setelah selesai makan malam. Hanya saja, aku tidak sabar
menunggunya sampai-sampai aku nekat datang ke sini.
“Mana dia?” Tanyaku. Sampai kapanpun
aku tidak sudi menyebut nama perempuan itu dan lebih memilih kata ganti dia.
“Sudah pulang.”
“Kamu nggak nganterin dia.”
Sigit mendudukkan tubuhnya di
kursi di hadapanku. Lihat, betapa menariknya dia. Kemeja putih pas badan dipadu
jas hitam semi formal dan jins biru tua. Jambangnya yang beberapa hari belum
dicukur membuatnya semakin seksi. Aku jadi tidak sabar ingin menciumnya.
“Aku beralasan ada kerjaan di
kantor jadi nggak bisa nganter dia.”
“Kerjaan?”
Sigit mengedip. “Kamu. Kamu pikir
aku nggak tahu sejak tadi kamu di sini. Untuk apa? Memata-mataiku?”
“Aku kangen,” akuku.
“Kan aku udah bilang akan ke
tempatmu nanti.”
“Nanti itu lama. Aku mau sekarang.”
“So, nunggu apa lagi? Habisin makananmu dan kita rayain ulang
tahunku di apartemenmu.”
“Lalu dia?” Ah bodoh. Untuk apa mempertanyakan
dia.
Untunglah Sigit hanya angkat bahu
tanda tidak peduli. “Bbesok dia balik ke Berlin. Untuk apa berlama-lama dengan
dia? Toh sebentar lagi aku juga nggak bareng dia lagi. Aku capek terus-terusan
kayak gini. Ada kamu, nyata di hadapanku. Untuk apa terus-terusan terjebak
bersama hubungan tanpa kejelasan ini?”
Aku tertawa. Lepas. Ini yang
kesekian kalinya dalam setahun kebersamaan kami Sigit mengeluhkan hal yang
sama. Meski aku tidak tahu kapan mereka akan putus, yang penting dia sudah ada
niat untuk lepas dari perempuan itu dan seutuhnya bersamaku.
Aku menggamit lengan Sigit dan
melangkahkan kaki keluar dari Madeleine Bistro. Angin kering November memeluk
tubuh kami saat melangkah menuju mobilku. Kami berciuman di sepanjang jalan, sedikitpun
tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Ah, Sigit. Kapan kamu benar-benar
lepas dari perempuan itu?
orang ketiga uniteee! hahaha
ReplyDelete