Pelukan November

5 comments
NB: Hari ketiga dari #15HariMenulisFF oleh @momo_DM. Why oh why meski kebagian November? Jadi ingat si arsitek atau si lawyer yang ulang tahun November. Akhirnya pilihan jatuh ke mas arsitek dan sedikit nakal hahahah.

Pelukan November
Oleh: Ifnur Hikmah



Angin malam bulan November terasa kering. Seharusnya, angin terasa sejuk, mengingat sekarang sudah memasuki musim penghujan. Namun yang ada hanya gerah, membuat beberapa tetes keringat bertumpahan dan membuat terusan latex yang kukenakan terasa lengket di kulit. Sungguh tidak nyaman.
Dudukku pun tidak nyaman meski menempati pojok favoritku di Madeleine Bistro. Mataku terasa tertarik untuk terus menoleh ke arah belakang, padahal seharusnya aku tidak boleh menoleh. Jangan sampai pasangan yang tengah makan malam di belakang sana menyadari kehadiranku. Bisa pecah perang dunia ketiga yang terpusat di Kemang kalau pasangan itu melihatku.
Namun mataku gatal untuk melihat apa yang terjadi di belakang sana. Kukeluarkan cermin kecil dari dalam clutch putih milikku. Sambil berpura-pura membenarkan tatanan rambut, aku mengamati apa yang terjadi di belakang.
Berjarak dua meja di belakangku, pasangan itu tengah menikmati makan malam mereka. Mereka duduk bersisian, sesekali saling menatap saat berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, perempuan berambut panjang sepunggung itu terlihat antusias. Tangannya bergerak ke sembarang arah, meningkahi setiap kata yang terlontar dari bibir berlapis lipstick merah itu. Sementara laki-laki di sebelahnya hanya mendengarkan. Matanya terbagi antara makanan di hadapannya dengan perempuan di sebelahnya. Sementara itu, di atas meja ada black forest dengan lelehan coklat yang menggugah selera. Serta lilin berbentuk angka 30.
Tentu saja, hari ini ulang tahun pria itu. Hari istimewa yang memaksa si perempuan rela menempuh jarak separuh lingkar bumi dari Berlin ke Jakarta hanya untuk merayakan ulang tahun si pria. Romantis ya? Memang, tapi tindakannya hanya membuatku mencibir.
Perempuan berbaju merah itu terlihat sangat mencintai pria yang ada di sampingnya. Jika tidak, bagaimana mungkin dia rela mengeluarkan uang sekian ratus ribu euro demi sebuah kursi di Singapore Airlines? Namun itu belum cukup. Apalah artinya merayakan satu hari ulang tahun jika hari-hari lainnya dia tidak ada? Meninggalkan prianya seorang diri sementara dia dengan egoisnya kembali ke negaranya.
Pria itu juga—katanya—mencintai perempuan itu. Namun melihat gelagatnya yang tidak bersemangat membuatku sangsi. Mungkin dulu dia mencintai perempuan itu, namun sekian lama terpisah, dia merasa jengah. Lelah dengan hubungan tanpa kejelasan. Dan dia bukanlah seorang saint yang tahan terhadap godaan. Dia membuktikan dirinya hanyalah manusia biasa yang bisa takluk terhadap godaan bernama perempuan.
Dan perempuan itu aku. Aku bukan perempuan penggoda. Aku hanya perempuan yang takluk akan pesonanya, kehebatannya, dan segala yang dia punya. Sampai-sampai aku hanya mencibir setiap kali terigat fakta dia sudah memiliki tunangan. Toh tunangannya tidak di sini, jauh di Jerman sana. Tunangannya hanya hadir melalui perantara teknologi, sementara aku bisa menghadirkan sosok nyataku di hadapannya, kapanpun dia menginginkan dan membutuhkanku.
Namun sialnya, perempuan itu malah datang hari ini. Mengacaukan semua rencanak perayaan ulang tahunnya. Tidak ada pesta besar-besaran dalam agendaku. Cukup makan malam berdua di rumahnya dilanjutkan dengan bercinta sepanjang malam. Aku menghadiahkan diriku untuknya. Ini jauh lebih romantis ketimbang kedatangan tunangannya selama beberapa hari lalu kembali meninggalkannya dalam ketidakjelasan hubungan mereka.
Kugerakkan cermin itu ke sebelah kanan. Ruang pandangku jadi lebih leluasa. Kulihat lelakiku meniup lilin di atas kue ulang tahunnya dan perempuan itu bertepuk tangan. Dengan lancangnya dia mencium pipi lelakiku. Sial, aku jadi cembruu. Ingin rasanya berbalik dan menarik lengannya lalu membswanya ke tempatku agar tidak ada yang mengganggu kami. Namun jelas aku tidak bisa. Dia melarangku, dan seperti yang sudah-sudah, aku selalu mengiyakan apapun perkataannya.
Aku terlalu mencintainya sampai-sampai menjadi bodoh seperti ini. But I don’t care as long as he loves me.
Kuturunkan cermin kecil itu dan mencoba mengisi jeda dengan melakukan apa saja. Menyantap makanan. Membolak balik majalah. Mengrcek twitter. Apa saja, yang setiap beberapa menit kuselingi dengan mengangkat cermin dan mengawasi situasi di belakangku.
Entah sudah berapa lama aku menunggu, aku tidak tahu. Yang pasti, aku terlonjak kaget saat merasakan sebuah sentuhan di pundakku. Majalah yang kubaca melorot ke lantai. Perlahan aku berbalik sambil mereka-reka siapa yang berada di belakangku. Jangan perempuan itu. Aku sedang tidak mood berantem dengan siapapun. Lagipula dia perempuan yang cukup tangguh berdebat. Aku pernah dibuat mati kutu saat dia menyemprotku lewat Skype karena kecerobohanku mengupload foto aku dan pria itu sedang berciuman di sebuah club. Sejak saat itu, aku semakin berhati-hati. Raganya memang jauh namun matanya ada di sini. Mengawasi gerak langkahku.
Jantungku nyaris copot saat sebaris senyum menyambutku. “Sigit…” desisku.
Senyum Sigit terus mengembang. Syukurlah dia tidak marah. Sejak awal dia tidak setuju dengan kenekatanku mengunjungi café ini di saat yang sama dengan kedatangannya dan tunangannya itu. Dia bilang akan datang ke apartemenku setelah selesai makan malam. Hanya saja, aku tidak sabar menunggunya sampai-sampai aku nekat datang ke sini.
“Mana dia?” Tanyaku. Sampai kapanpun aku tidak sudi menyebut nama perempuan itu dan lebih memilih kata ganti dia.
“Sudah pulang.”
“Kamu nggak nganterin dia.”
Sigit mendudukkan tubuhnya di kursi di hadapanku. Lihat, betapa menariknya dia. Kemeja putih pas badan dipadu jas hitam semi formal dan jins biru tua. Jambangnya yang beberapa hari belum dicukur membuatnya semakin seksi. Aku jadi tidak sabar ingin menciumnya.
“Aku beralasan ada kerjaan di kantor jadi nggak bisa nganter dia.”
“Kerjaan?”
Sigit mengedip. “Kamu. Kamu pikir aku nggak tahu sejak tadi kamu di sini. Untuk apa? Memata-mataiku?”
“Aku kangen,” akuku.
“Kan aku udah bilang akan ke tempatmu nanti.”
“Nanti itu lama. Aku mau sekarang.”
So, nunggu apa lagi? Habisin makananmu dan kita rayain ulang tahunku di apartemenmu.”
“Lalu dia?” Ah bodoh. Untuk apa mempertanyakan dia.
Untunglah Sigit hanya angkat bahu tanda tidak peduli. “Bbesok dia balik ke Berlin. Untuk apa berlama-lama dengan dia? Toh sebentar lagi aku juga nggak bareng dia lagi. Aku capek terus-terusan kayak gini. Ada kamu, nyata di hadapanku. Untuk apa terus-terusan terjebak bersama hubungan tanpa kejelasan ini?”
Aku tertawa. Lepas. Ini yang kesekian kalinya dalam setahun kebersamaan kami Sigit mengeluhkan hal yang sama. Meski aku tidak tahu kapan mereka akan putus, yang penting dia sudah ada niat untuk lepas dari perempuan itu dan seutuhnya bersamaku.
Aku menggamit lengan Sigit dan melangkahkan kaki keluar dari Madeleine Bistro. Angin kering November memeluk tubuh kami saat melangkah menuju mobilku. Kami berciuman di sepanjang jalan, sedikitpun tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Ah, Sigit. Kapan kamu benar-benar lepas dari perempuan itu?
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

5 comments

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig