PS: Masih bagian dari #15HariNgeblogFFDadakan yang ditulis seadanya dan waktu mepet karena baru pulang setelah seharian keliling Jakarta abis minjem baju buat pemotretan fashion spread esoknya. Judulnya aneh. Mana ada coba sales kosmetik di taman kota? *ngakak*
Sales Kosmetik
Oleh: Ifnur Hikmah
“Permisi mbak. Bisa minta waktunya
sebentar?”
Aku hanya mengangkat tangan. Sedikitpun
tidak ada waktu untuk meladeni siapapun yang mengajakku mengobrol. Drama pertarungan
antara vampir dan manusia srigala karangan Stephenie Meyer ini terlalu
menegangkan. Dan tentu saja, Edward Cullen terlalu ganteng untuk dilewatkan.
“Saya Dina dari Eva Cosmetic…”
Kosmetik? Daun telingaku berdiri. Berbagai
peralatan make up dan jejeran what to do untuk menghasilkan riasan
wajah dramatis selalu berhasil menyita perhatianku. Tapi tidak kali ini. Kisah
cinta vampir dan manusia ini jauh lebih memukau ketimbang blush on atau eye shadow
warna warni.
Lagipula ini taman kota. Dimana-mana,
yang namanya sales kosmetik itu
menumpuk di mall-mall. Menghampiri setiap pengunjung mall. Bukan di tempat terbuka seperti ini. Sore ini aku sedang
menghabiskan waktu di taman Menteng, menunggu abangku, Dani, menjemput. Bagaimana
bisa sales kosmetik sampai menjajakan
dagangannya ke taman kota seperti ini?
Dan juga, Eva Cosmetic? Aku belum
pernah mendengarnya. Nama yang masih asing berbanding lurus dengan
ketidakpercayaan terhadap produk tersebut. Bertambah satu lagi alasan mengapa
aku harus mengabaikan sales tersebut.
“Kita punya produk maskara baru
mbak. Bisa melentikkan bulu mata hingga dua kali lipat. Silakan mbak
dilihat-lihat dulu.”
Sales termasuk golongan manusia berhati baja. Selalu punya alasan
untuk menjerat calon pelanggan. Mereka seakan-akan tidak pernah kehabisan
alasan untuk membujuk si calon potensial. Terutama orang sepertiku. Perempuan yang
tidak pernah keluar rumah tanpa polesan make
up.
“Juga ada blush on terbaru mbak. Lebih tahan lama dan warnanya lengkap.”
Aku mendecakkan lidah. Gara-gara
ocehan si sales kosmetik ini aku jadi
kehilangan konsentrasi. Aku lupa apa alasan pertarungan vampir dan manusia
srigala ini.
Lagipula Bang Dani kemana sih? Dia
janji akan menjemputku pukul empat dan sekarang sudah hampir jam lima. Dia memang
suka lupa waktu. Keasyikan bekerja tak jarang membuatnya sering molor. Abangku satu-satunya
itu bekerja sebagai salah satu staf marketing di perusahaan Cina. Aku tidak
tahu pasti perusahaannya apa dan aku juga tidak mempermasalahkannya. Yang penting
uang saku untukku mengalir lancar dan aku bisa terus kuliah serta melengkapi
peralatan make up dan buku cerita.
“Mbak…”
Sales kosmetik itu mencolek
pundakku. Aku geram dan segera menutup buku—toh konsentrasiku sudah buyar. Dengan
wajah masam aku berpaling ke arah si sales.
Seorang perempuan jadi-jadian berwajah
menor menyambutku. Rambutnya lurus sebahu dan kasar, seperti sapu ijuk. Jelas itu
bukan rambut asli, melainkan wig. Bulu matanya super lentik—kuyakin dia
mengenakan maskara di atas bulu mata palsu itu. Blush on dan lipstik merahnya seolah saling beradu, mana yang lebih
terang.
Aku terbelalak. Bukan karena
dandanan super menor itu. Melainkan karena aku merasa kenal dengan si pemilik
wajah. Maksudku, jika make up itu
dihapus dan pakaian perempuan yang dikenakannya dilepaskan, aku pasti bisa
mengenalnya.
Si sales menatapku takut-takut. Wajahnya menyiratkan kekagetan luar
biasa.
“Maaf…” ucapnya dan segera
berlalu. Dia mempercepat langkahnya, bahkan berlari.
Larinya lucu. Kaki kirinya seperti
diseret karena panjangnya lebih pendek daripada kaki kanan. Gaya lari yang
mengingatkanku kepada…
Ya Tuhan. Ini tidak mungkin. Bagaimana
bisa…
“Bang Dani?” panggilku.
Namun si sales kosmetik sudah
menghilang di balik pohon.
0 Comments:
Post a Comment