Senin Yang Menggoda

1 comment
NB: Hari ke entahlah dari #15HariNgeblogFF dadakan dari mas @momo_DM dengan judul yang membangkitkan keinginan untuk nulis yang nakal-nakal, hehehhe. Hampir aja kelupaan bikin karena keenakan ngebenerin cerita si tante sama abang *lol*

Senin Yang Menggoda
Oleh: Ifnur Hikmah



“Armand…”
Jeritanku membahana di dalam rumah yang baru kumasuki.
Armand, si pemilik nama yang kuteriakkan terlonjak dari tidurnya. Dia menatapku yang terpaku di pintu kamar dengan wajah terkejut. Buru-buru dia menyambar selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Tapi tindakannya malah menyentak sesosok tubuh yang tertidur di sebelahnya. Perempuan itu tersentak dan langsung menjerit begitu melihat siapa yang membangunkannya.
Dengan wajah merah penuh amarah, aku menatap sepasang manusia yang tertangkap basah bermain cinta di belakangku itu. Dengan sekali entakan kaki, aku berpaling.
“Kutunggu kamu di ruang makan.”
*
Aku sengaja memilih pesawat pagi untuk membawaku pulang ke Jakarta setelah dua minggu lebih menetap di Kuala Lumpur demi pekerjaan. Perusahaan multinasional yang kupimpin membuatku terpaksa sering melakukan travelling, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Meeting demi meeting yang kualaniu di kota ini membuatku bosan dan tak sabar rasnaya untuk segera pulang ke Jakarta.
Namun apa yang kudapat sekembalinya aku ke rumah? Suamiku, Armand, tengah bermesraan bersama seorang perempuan murahan yang sialnya berstatus sebagai sahabatku, Aline.
Aku menunggu Armand di ruang makan. Sama sekali tidak menyangka jika Senin pagiku akan berwarna seperti ini. Kelelahan yang sejak tadi menguasai tubuhku mendadak lenyap, berganti emosi.
Kulihat Aline menuruni tangga dengan wajah merah. Dia tidak berani menatapku. Dari penampilannya yang acak-acakan, aku tahu dia tidak sempat mandi. Begitu sampai di hadapanku, Aline langsung berpamitan. Bahkan tanpa minta maaf sedikitpun, padahal dia telah tidur dengan suamiku.
Aku menatapnya geram.
“I had to go,” bisiknya dan berlalu begitu saja.
Ingin rasanya mengejar Aline. Menamparnya atau menjambak rambutnya atau melakukan apa saja untuk melampiaskan emosiku. Namun aku mengurungkan niat karena Armand sudah berdiri di ruangan yang sama denganku. Dia menatapku dalam diam. Pandangannya tertuju ke mataku, seakan dengan begitu, dia bisa meredam amarahku.
Aku menghela nafas panjang. Di luar sana aku boleh terlihat powerful dengan kesuksesanku. Namun di dalam rumah ini? Armand tahu caranya menaklukkanku. Hanya mengandalkan puppy eyes dan senyum manja di wajahnya yang tampan itu.
Tidak, aku tidak boleh kalah secepat ini. My husband slept with my friend. Aku pihak yang tersakiti di sini.
“Mar, aku tahu kamu marah, tapi aku bisa jelasin.”
Alis kiriku naik sekian derajat. Aku berpangku tangan di tempatku, menatap tajam ke arah suamiku.
I feel lonely. Kamu perginya lama banget sih.”
Aku terbelalak. Bisa-bisanya dia menyalahkan kepergianku atas kesalahan yang dilakukannya. Kalau saja dia mau bekerja keras dan bisa memenuhi semua kebutuhanku, tentu aku tidak usah bekerja sekeras ini dan sering-sering meninggalkannya. Sial.
“Sudah berapa lama?”
Armand menggeleng. Self defense yang teramat lemah. Aku tahu ketidakmampuannya dalam mengarang kebohongan. Gelengan kepala itu tidak sanggup membuatku percaya bahwa apa yang dilakukannya bersama Aline hanyalah kegiatan iseng belaka. Aku mencium pengkhianatan di sini. Aku yakin, Armand sudah lama menjalin hubungan dengan Aline di belakangku. Dasar pengkhianat.
“Kuharap kamu masih sadar dengan posisimu, Armand,” ujarku datar, “kalau nggak ada aku, kamu cuma bisa hidup menggembel dengan gajimu yang nggak seberapa itu.”
Armand terpaku di tempatnya. Meski aku mencintainya, jangan harap aku bisa diperlakukan semena-mena seperti ini.
“Aku tidak akan bertoleransi lagi jika melihatmu membawa perempuan murahan manapun ke rumah ini. Titik.”
*
“Mas, yakin rumahmu aman?”
Mas Bona hanya tersenyum, memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihat jauh lebih manis. Dia mengangguk untuk meyakinkanku.
“Aline baru pulang Rabu dan sekarang baru hari Senin. Jadi, kita aman.”
Aku menarik nafas lega dan mengikuti mas Bona melintasi halaman rumahnya yang sangat luas. Aku berdecak iri. Tentu saja iri itu kuajukan kepada Aline. Bagaimana mungkin perempuan seperti dia bisa mendapatkan suami setampan dan sekaya mas Bona sementara aku yang jauh di atas Aline hanya bersuamikan looser seperti Armand.
Mas Bona membukakan pintu berlapis kayu mahoni dan mempersilakanku masuk ke dalam rumah dengan sikap gentleman. Foto pernikahan dia dan Aline menyambutku. Aku tidak peduli, seperti yang selama ini kulakukan. Bercinta di hadapan foto pernikahan mereka bukan hal baru lagi bagiku.
Nafasku tercekat saat merasakan sapuan lembut bibir mas Bona di leherku. Mataku bergerak ke foto Aline sebelum memutuskan membalas cumbuan mas Bona.
Maaf Aline, maaf Armand. Kalian pikir mengapa aku bisa begitu saja melepaskan kalian minggu lalu? Itu hanya kamuflaseku saja karena nyatanya, aku takluk di tangan mas Bona, suamimu Aline, dan juga kakakmu, Armand.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig