Senin Yang Menggoda
Oleh: Ifnur Hikmah
“Armand…”
Jeritanku membahana di dalam rumah
yang baru kumasuki.
Armand, si pemilik nama yang
kuteriakkan terlonjak dari tidurnya. Dia menatapku yang terpaku di pintu kamar
dengan wajah terkejut. Buru-buru dia menyambar selimut untuk menutupi tubuh
telanjangnya. Tapi tindakannya malah menyentak sesosok tubuh yang tertidur di
sebelahnya. Perempuan itu tersentak dan langsung menjerit begitu melihat siapa
yang membangunkannya.
Dengan wajah merah penuh amarah,
aku menatap sepasang manusia yang tertangkap basah bermain cinta di belakangku
itu. Dengan sekali entakan kaki, aku berpaling.
“Kutunggu kamu di ruang makan.”
*
Aku sengaja memilih pesawat pagi
untuk membawaku pulang ke Jakarta setelah dua minggu lebih menetap di Kuala
Lumpur demi pekerjaan. Perusahaan multinasional yang kupimpin membuatku
terpaksa sering melakukan travelling,
bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Meeting demi meeting yang
kualaniu di kota ini membuatku bosan dan tak sabar rasnaya untuk segera pulang
ke Jakarta.
Namun apa yang kudapat
sekembalinya aku ke rumah? Suamiku, Armand, tengah bermesraan bersama seorang
perempuan murahan yang sialnya berstatus sebagai sahabatku, Aline.
Aku menunggu Armand di ruang
makan. Sama sekali tidak menyangka jika Senin pagiku akan berwarna seperti ini.
Kelelahan yang sejak tadi menguasai tubuhku mendadak lenyap, berganti emosi.
Kulihat Aline menuruni tangga
dengan wajah merah. Dia tidak berani menatapku. Dari penampilannya yang
acak-acakan, aku tahu dia tidak sempat mandi. Begitu sampai di hadapanku, Aline
langsung berpamitan. Bahkan tanpa minta maaf sedikitpun, padahal dia telah
tidur dengan suamiku.
Aku menatapnya geram.
“I had to go,” bisiknya dan berlalu begitu saja.
Ingin rasanya mengejar Aline.
Menamparnya atau menjambak rambutnya atau melakukan apa saja untuk melampiaskan
emosiku. Namun aku mengurungkan niat karena Armand sudah berdiri di ruangan
yang sama denganku. Dia menatapku dalam diam. Pandangannya tertuju ke mataku,
seakan dengan begitu, dia bisa meredam amarahku.
Aku menghela nafas panjang. Di luar
sana aku boleh terlihat powerful
dengan kesuksesanku. Namun di dalam rumah ini? Armand tahu caranya
menaklukkanku. Hanya mengandalkan puppy
eyes dan senyum manja di wajahnya yang tampan itu.
Tidak, aku tidak boleh kalah
secepat ini. My husband slept with my
friend. Aku pihak yang tersakiti di sini.
“Mar, aku tahu kamu marah, tapi
aku bisa jelasin.”
Alis kiriku naik sekian derajat. Aku
berpangku tangan di tempatku, menatap tajam ke arah suamiku.
“I feel lonely. Kamu perginya lama banget sih.”
Aku terbelalak. Bisa-bisanya dia
menyalahkan kepergianku atas kesalahan yang dilakukannya. Kalau saja dia mau
bekerja keras dan bisa memenuhi semua kebutuhanku, tentu aku tidak usah bekerja
sekeras ini dan sering-sering meninggalkannya. Sial.
“Sudah berapa lama?”
Armand menggeleng. Self defense yang teramat lemah. Aku tahu
ketidakmampuannya dalam mengarang kebohongan. Gelengan kepala itu tidak sanggup
membuatku percaya bahwa apa yang dilakukannya bersama Aline hanyalah kegiatan
iseng belaka. Aku mencium pengkhianatan di sini. Aku yakin, Armand sudah lama
menjalin hubungan dengan Aline di belakangku. Dasar pengkhianat.
“Kuharap kamu masih sadar dengan
posisimu, Armand,” ujarku datar, “kalau nggak ada aku, kamu cuma bisa hidup
menggembel dengan gajimu yang nggak seberapa itu.”
Armand terpaku di tempatnya. Meski
aku mencintainya, jangan harap aku bisa diperlakukan semena-mena seperti ini.
“Aku tidak akan bertoleransi lagi
jika melihatmu membawa perempuan murahan manapun ke rumah ini. Titik.”
*
“Mas, yakin rumahmu aman?”
Mas Bona hanya tersenyum,
memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihat jauh lebih manis. Dia mengangguk
untuk meyakinkanku.
“Aline baru pulang Rabu dan
sekarang baru hari Senin. Jadi, kita aman.”
Aku menarik nafas lega dan
mengikuti mas Bona melintasi halaman rumahnya yang sangat luas. Aku berdecak
iri. Tentu saja iri itu kuajukan kepada Aline. Bagaimana mungkin perempuan
seperti dia bisa mendapatkan suami setampan dan sekaya mas Bona sementara aku
yang jauh di atas Aline hanya bersuamikan looser
seperti Armand.
Mas Bona membukakan pintu berlapis
kayu mahoni dan mempersilakanku masuk ke dalam rumah dengan sikap gentleman. Foto pernikahan dia dan Aline
menyambutku. Aku tidak peduli, seperti yang selama ini kulakukan. Bercinta di
hadapan foto pernikahan mereka bukan hal baru lagi bagiku.
Nafasku tercekat saat merasakan
sapuan lembut bibir mas Bona di leherku. Mataku bergerak ke foto Aline sebelum
memutuskan membalas cumbuan mas Bona.
Maaf Aline, maaf Armand. Kalian pikir
mengapa aku bisa begitu saja melepaskan kalian minggu lalu? Itu hanya
kamuflaseku saja karena nyatanya, aku takluk di tangan mas Bona, suamimu Aline,
dan juga kakakmu, Armand.
waduh, tuker guling ceritanya
ReplyDelete