Bales Kangenku, Dong
(Hari Keenam #13HAriNgeblogFF dan masih tentang Lendra-Tiz-Ale)
Cerita sebelumnya di sini
Ribut banget sih lo nanyain kapan gue balik. Kenapa? Kangen? Awalnya gue cuma dua hari di sini tapi bos gue nyusul jadi extend deh. Belum tahu sampai kapan. Paling seminggu soalnya minggu depan ada regional meeting di Jakarta.Soal Lendra, emangnya nggak bisa ya lo menilai dia sendiri? Udah segede ini masa masih minta bantuan gue sih?Salam kece,Ale cakep.
Aku mendengus membaca email itu. Hari
ini kuharapkan sebagai hari kepulangan Ale tetapi dia malah memperpanjang masa
kunjungannya di Hong Kong. Baru kali ini aku merasa keberatan mesti berjauhan
dengan Ale. Biasanya aku tidak pernah ambil pusing dia ada di mana, tidak
pernah selinglung ini. Terlebih ketika aku menangkap kesan dingin di penutup
email Ale.
Semula Ale sama antusiasnya
denganku perihal Lendra. Namun dari emailnya aku menangkap kesan dingin itu.
aku ingin bertanya, tapi mengkonfrontasi Ale via email bukan hal yang baik.
*
“Laeticia.”
Sebuah panggilan menyusup masuk ke
pendengaranku. Aku berbalik dan melihat Lendra membawa dua kantong kertas
berisi Bagel.
Lendra menghampiriku yang duduk
sendirian di pembatas taman di kawasan SCBD. Siang ini, pria itu menyanggupi
permintaan refleksku untuk menemaniku ke SCBD, bertemu narasumber. Permintaan itu
kulontarkan begitu saja, ketika Lendra mengantarku pulang sehabis jalan-jalan
kemaren—jalan-jalan yang kumaksudkan untuk memperkenalkan Lendra dengan Ale. Lendra
langsung menyanggupi dan berjanji menjamputku ke kantor.
Dia menepati janjinya. Membuat anganku
melambung kian tinggi.
Namun, sebelum angan itu semakin
tak terkendali, aku butuh Ale. Sialnya, Ale tidak ada di sini.
“Rasa coklat untukmu.”
Aku menerima kantong kertas itu
dari tangan Lendra. “Thanks.”
“So, kamu mau kuantar kembali ke kantor?”
Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul
empat sore. “Nggak ah. Mau pulang aja. Nanggung kalau ke kantor lagi.”
“Kamu harus segera pulang? Bagaimana
kalau ke tempatku? Ada yang ingin kuperlihatkan.”
Mendengar pertanyaan itu, otomatis
tanganku yang memgeang bagel terhendi di depan mulut. Aku menatap Lendra dengan
mulut menganga. Dia mengajakku ke tempatnya?
Seharusnya, aku memperingatkan
diriku, tapi nyatanya, aku malah mengangguk antusias.
*
Lendra tinggal di apartemen tipe
studio di kawasan Cikini. Menurut ceritanya, beberapa waktu belakangan ini dia
memang sering bolak balik Bogor-Jakarta karena mengurus kepindahan adiknya yang
kuliah di Bogor. Selama ini dia tinggal di Yogya, baru setelah bekerja pindah
ke Jakarta.
Ketika kutanyakan tentang
pekerjaannya, Lendra menjawab dia bekerja apa saja. jawaban yang menimbulkan
kerutan di dahiku. Melihatku yang kebingungan, Lendra hanya tertawa. Dia
bercerita apa saja yang dikerjakannya dan itu membuatku mengerti bahwa memang,
dia tidak memiliki pekerjaan yang jelas.
Dia freelancer sejati. Kadang dia menjadi fotografer, lalu berubah
menjadi sutradara film pendek bersama teman-temannya. Lain waktu dia jadi ilustrator
lepas untuk media massa—aku baru sadar jika dia juga jadi ilustrator di majalahku.
Free, itulah prinsip hidup Lendra. Sebuah
prinsip yang membuat dia menolak segala bentuk kemapanan yang ditawarkan
pekerjaan tetap.
Apartemen itu tidak terlalu besar.
Bendera Inggris dan poster Oasis menyambutku ketika membuka pintu. Ada satu
tempat tidur ukuran single di sisi belakang, lemari berukuran sedang dan meja
berisi buku-buku. Seperangkat stereo set
dan iMac tampak bertolak belakang dibanding kesederhanaan apartemen itu.
“Anggap saja seperti tempatmu
sendiri,” ujar Lendra seraya melempar kunci mobilnya ke atas meja kopi kecil.
Aku mendudukkan diriku di atas
karpet abu-abu tua yang ada di tengah ruangan. Tidak ada sofa atau kursi tamu
di sana. Hanya ada karpet dan bantal besar di depan televisi—kelihatannya sangat
nyaman berbaring di sana.
“Minum apa?” tanya Lendra dari
depan pintu di sudut kiri ruangan—sepertinya pintu itu menuju dapur dan kamar
mandi.
“Apa aja,” sahutku.
Lendra menghilang di balik pintu
itu. Sepeninggal Lendra, aku menatap berkeliling. Boleh saja Lendra mengaku
berjiwa bebas dan penampilannya yang cuek, tapi apartemennya begitu rapi. Semua
terletak di tempatnya. Tidak seperti tempatku yang acak adut.
“Laeticia.”
Aku mendengar panggilan Lendra,
tapi sosok Lendra tidak terlihat. Sepertinya dia masih di dapur.
“Ya,” sahutku.
“Boleh minta tolong nyalain mesin
penjawab telepon? Tadi ada klienku janji mau menelepon, mungkin dia menelepon
ke sini,” pinta Lendra.
Aku menatap berkeliling dan
melihat telepon di sebelah iMAc. Segera aku menuju telepon itu dan
menyalakannya.
Pesan pertama datang dari perempuan
bernama Lintang dan bercerita tentang kehidupan barunya di Bogor sehingga aku
menyimpulkan Lintang adalah adik Lendra. Pesan kedua berasal dari Pak Sapto
yang membicarakan proposal pembuatan film dokumenter. Sepertinya, ini pesan
yang ditunggu Lendra. Baru ketika aku mendudukkan diri di karpet, pesan ketiga berbunyi.
Dari perempuan bernama Renata.
“I miss you, Lendra. Kuharap kamu juga merasakan hal yang sama. Aku ingin
bertemu…”
Darahku mendidih mendengar pesan
itu. Renata, mantan pacar yang menginginkan Lendra kembali ke pelukannya. Pesan
itu tiba-tiba terhenti, dan kusadari Lendra sudah mematikannya. Dia menghampiriku
dengan dua cangkir kopi.
“Jadi, apa yang ingin kamu
perlihatkan?” tanyaku dengan dada masih bergemuruh.
Lendra tersenyum dan mengambil sketch book yang ada di atas meja. Sketch book itu kukenali sebagai yang
dia bawa ke Starbucks. Lendra menyerahkan buku itu dan menyuruhku membukanya.
Aku terkesima. Sebuah ilustrasi
yang menggambarkan seorang perempuan kesulitan berdiri di kereta. Halaman berikutnya
juga bergambar sama—perempuan di kereta. Sampai halaman ke sekian baru kusadari
jika perempuan itu adalah aku.
“Ini aku?”
Lendra mengangguk. “Nggak tahu
kenapa, sejak pertama melihatmu, aku ingin menggambarmu. Kelihatan banget waktu
itu kamu baru pertama naik kereta.”
Aku memukul dada Lendra sambil
pura-pura merajuk padahal kuyakin pipiku sudah memerah. Namun, Lendra menangkap
tanganku dan menarikku mendekat padanya. Kini, jarakku dan Lendra sangatlah
tipis, sampai-sampai aku bisa menghirup aroma rokok di tubuhnya. Dia menatapku
lekat-lekat dan sedetik kemudian, yang kutahu hanyalah darahku membeku ketika
bibirnya menyentuh bibirku.
Lengkingan ponselku membuat ciuman
Lendra terlepas seketika. Aku buru-buru menggeser dudukku dengan salah tingkah.
Aku pun meraih ponsel untuk meredakan kegugupanku.
Email dari Ale.
Tiz, gue jadinya balik lusa. Lo masih tahan kan nunggu gue dua hari lagi? Jangan sampai mati kangen sama gue ya, Tiz. Hehehe. Nggak usah gengsi, lo pasti kangen sama gue. Iya kan? Soalnya, gue kangen sama lo.Ale.
Ketika membaca pesan itu, kusadari
jika aku memang merindukan Ale. Namun setiap bersama Lendra, kerinduan itu
teralihkan.
Namun kali ini, aku tidak sabar
menunggu Ale pulang.
aaaaakkkkk Lendra ngapain tuh cium-ciuman sama Tiz, aaaakkkkkk nggak relaaaaaa! Belom-belom kok udah cium-ciuman aja. Ihhhh... Lendraaaaaa!
ReplyDelete*komentar lebay* :)))))