Buat Kamu Apa Sih Yang Nggak

3 comments
Buat Kamu Apa Sih Yang Nggak
(Hari kedelapan #13HariNgeblogFF)

Baca cerita sebelumnya di sini
NB: Cerita ini terinspirasi dari sebuah foto dan ketika judul dilemparkan, cerita pun disesuaikan dengan judul dan foto, hehhee. Thanks to @adit-adit yang ngeracunin gue sama foto itu.


Aku paling suka memanjat pohon. Berkali-kali jatuh dari pohon membuat Papa akhirnya menebang satu-satunya pohon jambu yang ada di belakang rumah. Tidak mau mengalah, setiap sore, aku memanjat pohon jambu di belakang rumah Ale dengan membawa satu buku. Lalu aku akan membaca buku di rantingnya sampai matahari terbenam. Ketika Papa pulang kerja dan tidak menemukanku, beliau akan mencari ke rumah Ale. Di sanalah Ale berfungsi, melindungiku.
Ale bukan hanya melindungiku dari amarah Papa, tapi menjadi partner in crime-ku di segala hal. Maksudku, jika ada yang mengenal seluk beluk diirku luar dalam, Ale-lah orangnya. Dia juga yang melindungi semua kenakalanku dan menyimpan semua rahasiaku.
Kedekatan itu terus berlanjut. Bahkan sempat menimbulkan gosip aku pacaran dengan Ale saat kelas dua SMA. Aku hanya tertawa sedangkan Ale cengengesan. Minggu beriukutnya, aku berpacaran dengan anak kuliahan yang ngekos dekat rumah sementara Ale sibuk ngecengin anak cheers.
Ketika kuliah dan bekerja, Ale selalu ada di hidupku. Ketika mobilku mogok, alih-alih menelepon bengkel, aku malah menelepon Ale. Ketika kencanku berlangsung bencana, aku menelepon Ale yang berpura-pura menjadi kekasihku. Ketika pembalutku habis tengah malam dan tidak bisa keluar apartemen, Ale akan bela-belain datang dari Depok sana dengan seplastik besar pembalut.
Begitulah arti Ale di hidupku. Sahabat baikku.
Setidaknya sampai kemaren, sampai Ale menghancurkan dua puluh tahun persahabatan ini.
Suasana yang tadinya akrab berganti canggung begitu kalimat yang tidak pernah kuduga itu meluncur dari bibir Ale. Ale hanya diam, sedikitpun tidak terlihat menyesal. Perlahan-lahan, aku menarik tubuhku beringsut turun dari tempat tidur Ale dan dengan salah tingkah berjalan menuju pintu.
Aku pergi begitu saja—tanpa pamit.
Dan Ale tidak menahanku.
Dia juga tidak menghubungiku, sekalipun.
Sepulang dari rumah Ale, aku langsung melarikan mobilku ke apartemen. Menjauh dari rumah. Menjauh dari Ale agar aku bisa menenangkan diri. Dan malamnya, aku menerima tawaran Lendra untuk menemaninya ke pameran lukisan.
Aku terjaga tengah malam dan serasa ada perih yang menggayuti hatiku. Ketika melihat layar ponselku kosong tanpa ada pesan satupun, aku menyesal mengapa hal ini harus terjadi. Aku tidak bermaksud menhindari Ale. Aku hanya shock dan butuh waktu untuk menenangkan diri. Mungkin, Ale juga membutuhkan hal yang sama.
Subuh ini, ketika aku tidak bisa tertidur lagi dan memaksa otakku untuk berpikir, semua bayangan kebersamaanku dengan Ale muncul saling tumpah tindih. Aku menyadari satu hal: Ale selalu ada untukku. Dia akan melakukan apa saja untukku.
Dan aku memang tergantung padanya.
Aku melayangkan pandangan ke luar jendela. Langit Jakarta perlahan-lahan mulai berwarna keemasan, ketika pagi mulai menyongsong. Aku merindukan Ale.
“Laeticia?”
Panggilan itu membuyarkan lamunanku. Aku memalingkan wajah dan melihat Lendra menggeliat di tempat tidur.
“Morning,” sapaku.
Lendra tersenyum. Rambut ikal sebahunya tampak acak-acakan di pagi ini. Wajahnya masih terlihat tampan meski cambang memenuhi garis rahangnya serta sebaris kumis di atas bibir. Aku teringat semalam, ketika dia mencumbuku dan aku memekik geli karena rambut di wajahnya itu.
Setidaknya, bersama Lendra, kesedihanku sedikit terobati. Memang, karena Lendra-lah hubunganku dengan Ale jadi merenggang. Namun, ini semua salahku. Aku yang membuat Ale tidak bisa mempertahankan hubungan kami sebatas persahabatn saja.
Selimut yang dipakai Lendra tersingkap hingga ke pinggang, memperlihatkan dada bidangnya yang dipenuhi rambut-rambut—tempat aku bermanja-manja semalam.
“Kamu bangun pagi banget.”
Aku tersenyum. “Nggak bisa tidur.”
“Kenapa?”
Aku menggeleng. Merasa belum sepantasnya aku memberi tahu Lendra tentang permasalahanku.
Sepertinya Lendra mengerti sehingga dia tidak mempermasalahkannya lagi. “What do you want for breakfast? Coffee? Tea? Milk? Chocolate?”
“Apa yang kamu punya?”
“Semuanya. Kamu tinggal sebut dan aku akan membuatkannya.”
Aku tergelak. Pria ini memang manis—setidaknya itulah kesan yang selalu kutangkap setelah semakin sering berinteraksi dengannya.
“Hot chocolate, please.”
Lendra mengangguk dan bangkit berdiri. Dia menarik serta selimut putih yang semalam digunakannya dan melilitkannya ke sekeliling pinggang.
Sepeninggal Lendra, aku bangkit dari tempat dudukku di bingkai jendela dan beranjak menaiki tempat tidur. Tempat tidur ini normalnya hanya bisa ditiduri oleh satu orang namun semalam kami memaksa menempatinya berdua.
Aroma coklat panas memenuhi penciumanku ketika Lendra memasuki kamar dengan dua cangkir di tangannya. Aku menggeser tubuhku hingga terdesak ke dinding, memberikan ruang yang cukup untuk ditempati Lendra.
“Thanks.”
“Anything for you,” sahutnya seraya merebahkan tubuhnya di sisiku. Kami sama-sama bersandar ke headboard tenpat tidur dan menyesap coklat panas.
Ucapan Lendra memunculkan kembali kesedihanku. Anything for you. Ale selalu berkata seperti itu setiap kali aku meminta suatu hal padanya.
Aku menata Lendra yang asyik dengan cangkirnya. Apakah sosok Lendra bisa menggantikan kehadiran Ale?
Buru-buru aku menggelengkan kepala. Tidak. Ale spesial. Tidak akan ada yang bisa menggantikannya.
“Are you okay?”
“Hah?”
Lendra meletakkan cangkirnya di atas nakas. Disibakkannya rambutku ke belakang telinga sehingga tidak ada yang bisa menghalangi pandanganku.
“Sejak semalam kamu seperti orang bingung. Kalau kamu mau, kamu bisa cerita.”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Sama sekali tidak menyangka jika Lendra cukup aware dengan keadaanku. Lendra tidak akan bisa menggantikan sosok Ale, karena kehadirannya memberikan arti lain.
Ale is my best friend. Sementara Lendra, I think I’m falling for him. For real.
Aku akan meminta maaf kepada Ale—nanti, jika suasana hatinya sudah membaik.
“Ada sedikit masalah tapi nanti juga selesai. Aku cuma ingin bersenang-senang buat ngelupainnya. Kamu mau membantuku?”
Lendra tersenyum dan mengecup bibirku. “Sure. Apapun yang kamu mau, Laeticia.”
“Tiz.”
“Sorry?”
“Panggil aku, Tiz.”
Tidak sembarang orang yang kuizinkan memanggilku dengan nama kecilku itu. Sebagian karena memang dekat denganku, sebagian karena merasa sok akrab. Namun yang benar-benar kuizinkan hanyalah segelintir.
Dan aku mengizinkan Lendra memanggilku Tiz.
Alright, Lendra, welcome to my life.
“Anything you want, Tiz,” ujar Lendra dan kembali menciumku.
Aku tersenyum dan membalas ciuman Lendra.

Bonus: Ini foto Lendra begitu bangun tidur
Aidan Turner

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

3 comments

  1. You know what? Berawal dari iseng, sekarang gw selalu ngecekin blog lo buat baca kelanjutan cerita mereka bertiga..ahahaha..
    Can't wait for the next story :p

    ReplyDelete
  2. Eh, fotonya dikasih sumbernya atuh kak... dari blog yang tempo hari gue kasih hahaha...

    adegannya kok adem ayem gitu... *bakar kurcaci, biar panas*

    ReplyDelete
  3. wah, ada adegan ranjangnya... x)))

    ReplyDelete

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig