Buat Kamu Apa Sih Yang Nggak
(Hari kedelapan #13HariNgeblogFF)
Baca cerita sebelumnya di sini
NB: Cerita ini terinspirasi dari sebuah foto dan ketika judul dilemparkan, cerita pun disesuaikan dengan judul dan foto, hehhee. Thanks to @adit-adit yang ngeracunin gue sama foto itu.
Aku paling suka memanjat pohon. Berkali-kali
jatuh dari pohon membuat Papa akhirnya menebang satu-satunya pohon jambu yang
ada di belakang rumah. Tidak mau mengalah, setiap sore, aku memanjat pohon
jambu di belakang rumah Ale dengan membawa satu buku. Lalu aku akan membaca
buku di rantingnya sampai matahari terbenam. Ketika Papa pulang kerja dan tidak
menemukanku, beliau akan mencari ke rumah Ale. Di sanalah Ale berfungsi,
melindungiku.
Ale bukan hanya melindungiku dari
amarah Papa, tapi menjadi partner in
crime-ku di segala hal. Maksudku, jika ada yang mengenal seluk beluk diirku
luar dalam, Ale-lah orangnya. Dia juga yang melindungi semua kenakalanku dan
menyimpan semua rahasiaku.
Kedekatan itu terus berlanjut. Bahkan
sempat menimbulkan gosip aku pacaran dengan Ale saat kelas dua SMA. Aku hanya
tertawa sedangkan Ale cengengesan. Minggu beriukutnya, aku berpacaran dengan
anak kuliahan yang ngekos dekat rumah sementara Ale sibuk ngecengin anak cheers.
Ketika kuliah dan bekerja, Ale
selalu ada di hidupku. Ketika mobilku mogok, alih-alih menelepon bengkel, aku
malah menelepon Ale. Ketika kencanku berlangsung bencana, aku menelepon Ale
yang berpura-pura menjadi kekasihku. Ketika pembalutku habis tengah malam dan
tidak bisa keluar apartemen, Ale akan bela-belain datang dari Depok sana dengan
seplastik besar pembalut.
Begitulah arti Ale di hidupku. Sahabat
baikku.
Setidaknya sampai kemaren, sampai
Ale menghancurkan dua puluh tahun persahabatan ini.
Suasana yang tadinya akrab
berganti canggung begitu kalimat yang tidak pernah kuduga itu meluncur dari
bibir Ale. Ale hanya diam, sedikitpun tidak terlihat menyesal. Perlahan-lahan,
aku menarik tubuhku beringsut turun dari tempat tidur Ale dan dengan salah tingkah
berjalan menuju pintu.
Aku pergi begitu saja—tanpa pamit.
Dan Ale tidak menahanku.
Dia juga tidak menghubungiku,
sekalipun.
Sepulang dari rumah Ale, aku
langsung melarikan mobilku ke apartemen. Menjauh dari rumah. Menjauh dari Ale
agar aku bisa menenangkan diri. Dan malamnya, aku menerima tawaran Lendra untuk
menemaninya ke pameran lukisan.
Aku terjaga tengah malam dan
serasa ada perih yang menggayuti hatiku. Ketika melihat layar ponselku kosong
tanpa ada pesan satupun, aku menyesal mengapa hal ini harus terjadi. Aku tidak
bermaksud menhindari Ale. Aku hanya shock
dan butuh waktu untuk menenangkan diri. Mungkin, Ale juga membutuhkan hal yang
sama.
Subuh ini, ketika aku tidak bisa
tertidur lagi dan memaksa otakku untuk berpikir, semua bayangan kebersamaanku
dengan Ale muncul saling tumpah tindih. Aku menyadari satu hal: Ale selalu ada
untukku. Dia akan melakukan apa saja untukku.
Dan aku memang tergantung padanya.
Aku melayangkan pandangan ke luar
jendela. Langit Jakarta perlahan-lahan mulai berwarna keemasan, ketika pagi
mulai menyongsong. Aku merindukan Ale.
“Laeticia?”
Panggilan itu membuyarkan
lamunanku. Aku memalingkan wajah dan melihat Lendra menggeliat di tempat tidur.
“Morning,” sapaku.
Lendra tersenyum. Rambut ikal
sebahunya tampak acak-acakan di pagi ini. Wajahnya masih terlihat tampan meski
cambang memenuhi garis rahangnya serta sebaris kumis di atas bibir. Aku teringat
semalam, ketika dia mencumbuku dan aku memekik geli karena rambut di wajahnya
itu.
Setidaknya, bersama Lendra,
kesedihanku sedikit terobati. Memang, karena Lendra-lah hubunganku dengan Ale
jadi merenggang. Namun, ini semua salahku. Aku yang membuat Ale tidak bisa
mempertahankan hubungan kami sebatas persahabatn saja.
Selimut yang dipakai Lendra
tersingkap hingga ke pinggang, memperlihatkan dada bidangnya yang dipenuhi
rambut-rambut—tempat aku bermanja-manja semalam.
“Kamu bangun pagi banget.”
Aku tersenyum. “Nggak bisa tidur.”
“Kenapa?”
Aku menggeleng. Merasa belum
sepantasnya aku memberi tahu Lendra tentang permasalahanku.
Sepertinya Lendra mengerti
sehingga dia tidak mempermasalahkannya lagi. “What do you want for breakfast? Coffee? Tea? Milk? Chocolate?”
“Apa yang kamu punya?”
“Semuanya. Kamu tinggal sebut dan
aku akan membuatkannya.”
Aku tergelak. Pria ini memang
manis—setidaknya itulah kesan yang selalu kutangkap setelah semakin sering
berinteraksi dengannya.
“Hot chocolate, please.”
Lendra mengangguk dan bangkit
berdiri. Dia menarik serta selimut putih yang semalam digunakannya dan
melilitkannya ke sekeliling pinggang.
Sepeninggal Lendra, aku bangkit
dari tempat dudukku di bingkai jendela dan beranjak menaiki tempat tidur. Tempat
tidur ini normalnya hanya bisa ditiduri oleh satu orang namun semalam kami
memaksa menempatinya berdua.
Aroma coklat panas memenuhi
penciumanku ketika Lendra memasuki kamar dengan dua cangkir di tangannya. Aku menggeser
tubuhku hingga terdesak ke dinding, memberikan ruang yang cukup untuk ditempati
Lendra.
“Thanks.”
“Anything for you,” sahutnya seraya merebahkan tubuhnya di sisiku. Kami
sama-sama bersandar ke headboard
tenpat tidur dan menyesap coklat panas.
Ucapan Lendra memunculkan kembali
kesedihanku. Anything for you. Ale selalu
berkata seperti itu setiap kali aku meminta suatu hal padanya.
Aku menata Lendra yang asyik
dengan cangkirnya. Apakah sosok Lendra bisa menggantikan kehadiran Ale?
Buru-buru aku menggelengkan
kepala. Tidak. Ale spesial. Tidak akan ada yang bisa menggantikannya.
“Are you okay?”
“Hah?”
Lendra meletakkan cangkirnya di
atas nakas. Disibakkannya rambutku ke belakang telinga sehingga tidak ada yang
bisa menghalangi pandanganku.
“Sejak semalam kamu seperti orang
bingung. Kalau kamu mau, kamu bisa cerita.”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum.
Sama sekali tidak menyangka jika Lendra cukup aware dengan keadaanku. Lendra tidak akan bisa menggantikan sosok
Ale, karena kehadirannya memberikan arti lain.
Ale is my best friend. Sementara Lendra, I think I’m falling for him. For real.
Aku akan meminta maaf kepada Ale—nanti,
jika suasana hatinya sudah membaik.
“Ada sedikit masalah tapi nanti
juga selesai. Aku cuma ingin bersenang-senang buat ngelupainnya. Kamu mau
membantuku?”
Lendra tersenyum dan mengecup
bibirku. “Sure. Apapun yang kamu mau,
Laeticia.”
“Tiz.”
“Sorry?”
“Panggil aku, Tiz.”
Tidak sembarang orang yang
kuizinkan memanggilku dengan nama kecilku itu. Sebagian karena memang dekat
denganku, sebagian karena merasa sok akrab. Namun yang benar-benar kuizinkan
hanyalah segelintir.
Dan aku mengizinkan Lendra
memanggilku Tiz.
Alright, Lendra, welcome to my life.
“Anything you want, Tiz,” ujar Lendra dan kembali menciumku.
Aku tersenyum dan membalas ciuman
Lendra.
Bonus: Ini foto Lendra begitu bangun tidur
Aidan Turner
You know what? Berawal dari iseng, sekarang gw selalu ngecekin blog lo buat baca kelanjutan cerita mereka bertiga..ahahaha..
ReplyDeleteCan't wait for the next story :p
Eh, fotonya dikasih sumbernya atuh kak... dari blog yang tempo hari gue kasih hahaha...
ReplyDeleteadegannya kok adem ayem gitu... *bakar kurcaci, biar panas*
wah, ada adegan ranjangnya... x)))
ReplyDelete