Cintaku Mentok Di Kamu
(Hari Ketujuh #13HariNgeblogFF dan masih tentang Ale-Tiz-Lendra)
Baca Cerita sebelumnya di sini
Jarum jam belum menunjukkan pukul
tujuh pagi ketika aku berlari keluar rumah. Malam tadi aku menginap di rumah
Mama karena menurut email Ale, dia mendarat semalam.
Rumahku dan rumah Ale tidak
terlalu jauh. Kami teman dekat sejak kecil, tepatnya sejak Ale jadi tetanggaku
di kelas 3 SD. Kami sekolah di tempat yang sama—sampai kuliah bahkan. Bedanya,
aku di Fisip, Ale di Ekonomi UI. Berbeda denganku yang memutuskan tinggal
sendiri ketika bekerja—dengan alasan efisiensi waktu, Ale tetap tinggal di
Depok. Selain karena dia anak satu-satunya, Ale tidak mungkin meninggalkan
ibunya sendiri—orang tua Ale bercerai sejak dia kecil dan Ale ikut ibunya pindah
ke Depok.
Aku melihat Tante Neyna tengah
merawat bunga di kebun kecil di depan rumah. Kedekatanku dengan Ale membuatku
sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Tante Neyna. Ketika kecil, setiap kali
aku berantem dan ngambek gara-gara Mas Leo, aku pasti kabur ke sini. Beranjak remaja,
saat aku backstreet karena dilarang Papa
pacaran, rumah ini menjadi tempat aku dijemput pacar-pacarku.
“Pagi, Tante,” panggilku seraya
membuka pagar.
Tante Neyna mendongak dari rerimbunan
mawar. “Hai, Tiz. Lama nggak ke sini.”
“Sibuk, Tan,” sahutku, “Ale udah
balik kan?”
“Masih tidur dia. Kamu bangunin
aja.”
Setelah berbasa basi dengan Tante
Neyna, aku melesat ke kamar Ale di lantai dua. Kamar itu tidak berubah. Ketika memasukinya,
aku serasa masuk ke mesin waktu yang melemparkanku ke era 90-an dengan koleksi
Tamiya Ale yang tersebar di mana-mana.
“Ale…” jeritku. Namun, jeritan itu
tidak berhasil membangunkan Ale. Dia masih terlelap, dengan satu tangan di
belakang kepala dan mulut yang sedikit terbuka. Dulu aku pernah iseng
memasukkan kecoak karet ke dalam mulut Ale.
“Ale…” jeritku lagi, kali ini
disertai aksi melompat ke tempat tidur dan menendang pantatnya—aksi serupa yang
sering kulakukan dulu. Biasanya, aksi ini berhasil.
Yess, aku bersorak ketika melihat Ale mulai menggeliat.
“Apaan sih, Tiz. Gue masih jetlag,” erangnya dengan mata tertutup.
“Bangun.” Aku memukul pantat Ale
dengan bantal. “Gue udah capek-capek ke sini.”
Aku bangkit dan membuka tirai
jendela, membiarkan sinar matahari menerobos masuk. Ale menggeliat lagi, kali
ini mulai membuka matanya.
“Ganggu lo.”
“Gue bikinin lo kopi. Begitu gue
sampai di sini lagi, lo udah harus bangun. Ngerti?”
Tanpa menunggu jawaban Ale, aku
melesat ke dapur di lantai bawah. Dari jendela, kulihat Tante Neyna masih
berkutat di kebunnya. Aku mengambil mug bertuliskan nama Ale—mug hadiah prom dariku. Dia juga memberikan mug
bertuliskan Tiz kepadaku—dan menuang kopi sachet ke dalamnya. Kopi hitam pekat
tanpa gula favorit Ale. Setelah urusan kopi selesai, aku kembali ke kamar Ale
di lantai dua.
Begitu aku kembali, kulihat Ale
sudah bangun tetapi masih mengucek-ucek mata. Wajahnya ditekuk cemberut. Rambutnya
yang biasanya disisir rapi, sekarang terlihat awut-awutan dan mencuat ke sana
kemari. Ale bertelanjang dada—kebiasaannya ketika tidur dan aku menelan ludah. Setelah
sekian lama berteman, mengapa baru sekarang aku menyadari Ale memiliki body bagus kayak gini?
“Mau ngeliatin gue sampai kapan?”
Pipiku bersemu merah karena
ketahuan memelototi Ale. Jangan bilang aku terlihat mupeng. Amit-amit.
Kusodorkan mug berisi kopi itu. Ale
menerimanya tanpa mengucap terima kasih. Setelah kopi itu habis, dia meletakkan
mug di nakas di sebelah tempat tidur dan menatapku dengan wajah memberengut. “Ada
apa?”
“Lendra.”
Ale mendengus.
“Kenapa nggak suka gitu sih?”
“Demi Tuhan ya, Tiz. Gue baru
sampai jam 12 malam, masih capek, masih ngantuk, trus harus dengerin lo
menceracau soal Lendra? Nggak ada hal lain yang lebih penting?”
Kali ini, giliran aku yang
cemberut. Bukan ini tanggapan yang kuinginkan. Biasanya, Ale tidak pernah complain dengan lelaki manapun yang
dekat denganku.
“Don’t say that.” Ale menatapku curiga. “Do you sleep with him?”
“Belum,” semburku refleks.
“Belum? Oh girl, itu berarti akan.”
“Ale…” jeritku dan menerjangnya
hingga terjerembab di tempat tidur. Aku menghajar Ale dengan bantal karena
kesal dengan tuduhannya. Anehnya, kali ini Ale tidak membalas. Dia hanya pasrah
menerima pukulanku.
“Lo beneran capek ya, Le?” Akhirnya
aku berhenti memukul Ale dan duduk bersila di sampingnya.
Ale mengangguk.
“Padahal gue mau cerita soal
Lendra.”
“Ya udah. Cerita aja.” Ale melunak.
Sedetik kemudian, apa yang selama
beberapa hari ini kupendam meluncur begitu saja. Ale mendengarkan dalam diam,
sesekali menguap dan mengucek mata. Aku mengabaikan tanggapannya yang
malas-malasan itu. Yang penting, Ale mendengarkanku.
“Jadi?” Aku mengakhiri ceritaku.
Ale melirikku sekilas. “Kayaknya
lo beneran suka sama dia.”
“Gue mau nanya pendapat lo dulu.”
“Pendapat gue?” Ale mengerutkan
dahi, pura-pura berpikir. “Gue nggak suka sama dia.”
“Hah?”
Ale mengangkat tangannya,
menyuruhku berhenti protes. “Seenggak sukanya gue sama Mario, gue lebih nggak suka
sama Lendra. Dari cerita lo, he’s not a
good guy. Kerjaannya aja nggak jelas. Ganteng sih, tapi lebih gantengan
gue.”
“Ale…”
“Gue serius,” potong Ale. “Umur lo
udah berapa sih? 27 kan? Sama kayak gue? Masa iya lo masih mau main-main? Nggak
kapok apa pacaran sama cowok yang nggak bener terus?”
“Jadi, menurut lo Lendra nggak
bener? Kan kalian belum kenal.”
“Dari cerita lo udah cukup buat
gue menilai dia.”
Aku cemberut. Ketika sama Mario,
Ale memang sempat menyuarakan ketidaksukaannya. Tapi, tidak setegas ini.
“Tapi gue suka sama dia.”
“Lo cuma penasaran.”
Sekali lagi, aku cemberut. “Tapi,
Le, lo kan nggak kenal dia. Gimana kalau lo kenal dulu jadi lo bisa benar-benar
menilai dia, nggak cuma dari cerita gue?”
“Males ah.”
Ale merebahkan tubuhnya ke tempat
tidur. Tangannya bergerak hendak mengambil selimut, tapi aku cepat-cepat
mencegahnya.
“Coba dulu.”
“Nope.”
“Kenapa sih?”
Ale tidak menjawab. Hanya dengkur
halusnya yang mulai terdengar. Aku tahu, dia belum benar-benar tertidur. Aku menarik
Ale tapi tubuhnya terlalu berat. Sebagai langkah terakhir, aku menggelitiknya. Kelemahan
Ale. Dan dia benar-benar terbangun dan menatapku tajam.
“Apa lagi?”
“Kenapa lo nggak suka sama Lendra?”
Ale menjambak rambutnya. Frustasi.
“Dengerin ya, Tiz. Gue bukan hanya nggak suka sama Lendra. Gue juga nggak suka
sama Mario, Alvin, Dewa, semua mantan-mantan lo sejak dulu. Dan gue nggak mau
kenal sama Lendra. Lo tahu kenapa? Karena gue juga suka sama lo. Gue sayang
sama lo. Gue cinta lo, Tiz. Sejak dulu. Itu alasan gue. Puas lo sekarang?
Ale kembali merebahkan tubuhnya
dan menyelubungi kepalanya dengan selimut.
Dan aku hanya bisa melongo
mendengar ucapannya.
hore.. hidup ale!! :D
ReplyDelete