Pink Project by Retni SB
“Makasih,Puti, untuk segalanya.”
“Makasih, Pring, untuk misterimu.”
I like Retni SB and I love her writing. Gue pertama kenal Retni
bukan dari novel pertamanya, melainkan di novel keempatnya, Dimi Is Married. Meski
endingnya lebay, gue suka dengan cara penceritaannya. Begitu juga dengan My
Partner. Namun, setelah mencari tahu tentang Retni, gue ketemu satu judul, Pink
Project. Dari review yang gue baca, lebih banyak yang menyukai novel ini
ketimbang dua novel yang pernah gue baca. Jadi, novel ini masuk wishlist gue. Secara novel lama,
dapetinnya susah. Untung aja ada bazaar buku di mall deket kantor jadi bisa
beli dengan diskon 40% hehehe *nyengir kuda*.
Pink Project diceritakan dari
sudut pandang Puti Ranin. Pemilik toko buku yang awam soal lukisan mengirimkan
review personal dia tentang pameran lukisan yang baru saja dia datangi ke
sebuah koran. Nama pelukisnya Pring. Ternyata, review itu mengundang balasan
dari kritikus ternama, Sangga Lazuardy *namanya macho*. Balasan bernada sinis
dan mendiskreditkan kredibilitas Puti membuat Puti meradang. Dia nggak terima
dan cari cara buat ketemu. Ternyata, Sangga itu memang pintar dan ganteng *me
likey*. Setelahnya, Puti jadi sering bertemu Sangga tiba-tiba dan hasilnya
selalu menyebalkan sampai-sampai Puti selalu memaki Sangga dengan sebutan Kampret.
Kehadiran Sangga bukan hanya berakibat pada Puti, juga pada sahabatnya, Ina. Ketika
Sangga dan Ina membuatnya semakin pusing, Puti pun berkesempatan berkenalan
dengan Pring, pelukis itu. Merasa memiliki kesamaan nasib karena dihina Sangga,
Puti pun melampiaskan kekesalannya dengan curhat sama Pring. Tapi ternyata….
Ah, sampai di sana aja ya, hehehe.
Sejak pertama baca Dimi Is
Married, gue suka dengan penceritaan Retni yang lugas dan mengalir. Membalik tiap
halaman itu candu. Gue jadi gemes sendiri karena kepikiran, ini Retni maunya
apa sih? Banyak pertanyaan bermunculan sehingga jadi nggak sabar buat membalik
halamannya.
Dilihat dari nama-nama tokohnya—Puti
Ranin, Sangga Lazuardy, Pring—kesan sastranya kental banget ya. Gaya
penceritaannya juga sedikit nyastra—beda banget sama Dimi. Tapi enak dinikmati.
Apalagi kesan seninya kental banget. Diiringi semilir angin malam dan
musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono yang dibawakan oleh Ari Malibu dan Reda
Gaudiamo, novel ini jadi sangat menarik. *tsaahhh*
Membaca novel dengan tokoh yang
terkait seni selalu membangkitkan kesenangan gue. Novel ini juga begitu. Lebih tepatnya,
menyoroti seni lukis. Gue bisa merasakan kesamaan nasib dengan Puti yang cengo
mendatangi pameran lukisan dan cuma bisa mengangguk-angguk pura-pura mengerti
dengerin omongan pelaku seni yang njilimet. Gue nggak ngerti lukisan, nggak
ngerti teknik, nggak ngerti aliran-alirannya, nggak bisa ngelukis juga, tapi
ketika melihat lukisan, gue cuma bisa memberi komentar personal yang lebih
terbawa ke perasaan. Seperti Puti.
I love Sangga. Kenapa sih cowok ganteng bermulut pedas yang stok
kata-kata pembangkit emosinya banyak ini selalu bikin klepek-klepek? Retni pernah
menghadirkan sosok Garda (di Dimi Is Married) yang bikin gue terpesona. Simon
Marganda dan Samuel Hardi (dua-duanya rekaannya Windry Ramadhina) juga bikin
gue tertarik. Kali ini, Sangga juga. Ditambah dengan rambut ikal sebahu dan
senyumnya yang manis. Juga dia yang serba bisa. Mengambil kuliah arsitektur dan
seni rupa sekaligus, melukis, pemilik galeri, kritikus lukisan, dan petani
tembakau? Nggak nyambung memang dan terlalu too
good to be true. Tapi gue suka. Oh, sikap sinisnya itu yang bikin gue
sangat sangat sangat menyukai Sangga.
Di awal, gue menyebut nama Pring. Siapakah
Pring? Bisa dibilang, Pring ini ‘biang kerok’ semua masalah. Nggak ada lukisan
Pring, nggak bakal deh Puti ketemu Sangga. Pring ini juga nggak kalah
ngegemesinnya dibanding Sangga meski kebanyakan sosoknya hadir lewat dunia maya
dan telepon. Awalnya gue sempat menebak Pring ini tokoh fiktif. Macam-macam
tebakan seperti Pring ini sebenarnya Sangga, Pring saudara Sangga, Pring
sahabat Sangga, macam-macam. Tebakan gue selalu salah sampai gue capek dan
berhenti menebak-nebak. Just let it flow.
Dan part Pring ini sukses bikin gue
banjir air mata.
Selain mereka bertiga yang
ngegemesin, ada juga sosok Ina, sahabat sekaligus partner bisnis Puti. Gue nggak suka sama Ina. Cewek paling bego
yang pernah gue kenal. Nggak mau nulis panjang-panjang soal dia juga. Sebel soalnya.
Baca aja dan lo bakal ngerti sebego apa si Ina ini. She is a lucky bastard.
Membaca novel ini ibarat naik rollercoaster. Awalnya geli karena
kemarahan Puti, trus gemes sama sikap Puti-Sangga, lalu rasanya pengen nonjok
Ina, eh tiba-tiba penasaran sama Pring, diikuti penasaran siapa Sangga
sebenarnya. Lalu Retni dengan teganya membuat gue menangis bersimbah air mata
*lebay*. Untunglah, diakhiri dengan manis. Sedikit lebay tapi untunglah nggak
selebay Dimi Is Married.
Membaca novel ini, ada tiga hal
yang ingin gue lakukan. Satu: mengunjungi galeri seni. Udah lama nggak ngebego
mengunjungi spot-spot seni ini. Terakhir saat kuliah, ketika iseng suka
terdampar di Salihara. Jadi kangen lagi. Kedua, mengunjungi Yogya. Part Puti liburan ke Yogya sukses bikin
gue garuk-garuk dinding karena kepengin pergi ke Yogya. Benar kata Kla Project,
kota itu susah dilupakan. Sekali ke sana, akan selalu merasa terpanggil untuk
ke Yogya. Seperti kata Imo, adik Puti, Yogya itu deket sama Jakarta, tinggal
naik kereta, tapi buat ngunjunginnya susah banget. Kalah sama turis bule yang
rela bayar mahal-mahal buat lihat Malioboro. Di mata gue, Yogya adalah kota
seni. I love that city so much *siap
nenteng ransel ke yogya. Siapa tahu dapat guide kayak Sangga, hihihi*. Ketiga,
gue pengin kayak Ina dan Puti yang punya bisnis sendiri. Udah gitu bisnisnya
toko buku. Aaaakkkk, itu kan salah satu impian gue.
Seperti halnya Puti, ada satu
pertanyaan yang mengganjal bagi gue. Ceritanya Sangga ini pelukis, kritikus
juga, pemilik galeri juga. Ketiga hal itu kan kontradiktif banget. Pelukis memegang
idealisme. Pemilik galeri mikirnya materi terus. Sedang kritikus tukang kritik
yang harus objektif. Gimana dia bisa objektif menilai lukisannya atau lukisan
yang ada di galerinya? Gue memang awam soal beginian, tapi bisa nggak sih
seseorang berperan seperti ini? *serius nanya*
Intinya, gue puas baca buku ini.
Tiga jam langsung ludes tapi ketika membaca halaman terakhir jadi nggak rela
buku ini tamat. Mood gue juga kayak rollercoaster. Awalnya semangat karena
terus penasaran sama Pring dan Sangga. Ketika masalah Pring kelar, mood gue sedikit menciut, terutama
ketika menjelang akhir. Sudah ketebak seperti apa endingnya. Mungkin karena gue
merasa inti buku ini adalah Pring-Sangga-Puti, jadi ketika salah satu aspek
tiada, gregetnya sedikit berkurang. Overall,
gue suka. Nggak salah memang menjadikan Mbak retni sebagai salah satu penulis idola
gue.
Oh ya, ngomong-ngomong soal
kesalahan, ada satu kesalahan fatal di novel ini. Kalau dibaca sekilas nggak
bakal ngeh tapi karena otak gue saat baca lagi mau diajak mikir, maka detail
kecil ini nggak terlewat. Di awal, Galeri Wolu dibilang bertempat di Kelapa
Gading. Selang satu halaman, lokasinya pindah ke Cipete. Lha? Piye iki? Memang kecil sih tapi menurut gue ini fatal banget. Kok
ya editornya juga kelewat? Tapi, tetep aja ini nggak mengurangi keasyikan baca
buku ini.
Two thumbs up for Retni.
This is one of my wishlists too.
ReplyDeleteMoga2 bisa nemu bukumya, kl ga minjem lagi boleh ya? *minta dikepruk*