Montase by Windry Ramadhina
Windry Ramadhina merupakan salah
satu penulis favorit gue, sehingga, ketika dia mengabarkan akan mengeluarkan
buku baru, gue seneng banget. Apalagi jarak dari Montase dan Memori nggak jauh.
Ketika GagasMedia mengeluarkan foto covernya, komentar pertama gue, “gila,
bagus banget.” Makin nggak sabar nunggu buku Windry. Namun, setelah PO dan
bukunya sampai, gue nggak langsung baca.
Gue dihinggapi ketakutan sebelum
baca buku ini.
Memori adalah masterpiece-nya Windry, menurut gue. Buku itu sukses bikin gue
mangap sampai sekarang saking bagusnya. Dan Simon Marganda itu nggak ada
tandingannya. Ketika melihat Montase, gue takut, buku itu nggak sebagus Memori.
Akhirnya, setelah menunda-nunda,
gue baca juga.
Montase beda banget dari Memori. Selain
umur tokoh-tokohnya yang masih remaja—anak kuliahan—ceritanya pun bertahap,
dari awal banget. Nggak kayak Memori yang langsung disuguhi permasalahan. Di Montase,
pembaca diminta untuk ikut menjadi saksi sejarah perkembangan kehidupan Rayyi
selama bertahun-tahun. Dari awal dia mengenal Haru, terlibat hubungan dengan
Haru, dan berakhir dengan… ah begitulah pokoknya akhirnya.
Ceritanya tentang seorang Rayyi—di
sini, Windry menjadi cowok dengan cerita dari PoV 1—yang suka banget sama film dokumenter
tetapi malah terdampar di peminatan Produksi di IKJ. Dia pewaris utama rumah
produksi Karya Karnaya punya bokapnya yang udah terkenal banget. Hanya saja,
Rayyi nggak suka sama film-film mainstream
bikinan bokapnya. Intinya, Rayyi yang idealis bertentangan dengan bokapnya yang
realistis—permasalahan klasik.
Diam-diam, Rayyi sit in di kelas Dokumenter IV. Di sana
dia berkenalan dengan Haru Enomoto, mahasiswa exchange dari Jepang yang dia sebut kurcaci Nipon. Haru ini clumsy dan periang. Dengan rambut pendek,
perawakan mungil dan pertama ketemu, dia miringin kepala ke kanan pas ngobrol
sama Rayyi—sumpah, gue kebayang boneka yang ada di setiap pintu masuk Hokben. Di
kelas ini dia juga kenalan sama Samuel Hardi, sutradara dokumenter paling top
di Indonesia. Jelas aja, Rayyi nggak mau ketinggalan *jadi ingat waktu kuliah
juga suka sit in di kelas yang
dosennya oke sekalipun kreditnya nggak ada. Kapan lagi kan dapat ilmu gretongan?*
Selain mengajak pembaca mengikuti
kisah cinta Rayyi, Windry juga mengajak untuk ikut terlibat dalam permasalahan
Rayyi dan bokapnya. Di awal gue bilang masalah ini klasik karena biasanya,
anak-anak yang punya passion tidak
lazim, terlebih jika dia diharapkan jadi penerus, pastinya sih akan nimbulin
konflik. Dalam kepasrahannya menerima takdir sebagai pewaris rumah produksi
yang melahirkan film-film mainstream,
Rayyi bersinggungan dengan Samuel Hardi.
Sama sepertti di Memori, di Montase
pun Widry menghadirkan konflik berlapis.
Keseluruhan, ceritanya bagus. Gue menyukai
tulisan Windry karena Windry bercerita dengan halus dan enak dibaca. Gue pernah
bilang kalau gue selalu menunggu karya-karya penulis cerdas, yaitu penulis yang
bukan hanya bisa menghadirkan cerita yang menarik tapi juga memberikan banyak
informasi. Di Orange, Windry mengajak pembaca mengenal seluk beluk fotografi. Di
Memori, dia menghadirkan arsitektur, lengkap dengan segala macam aliran di
sana, jenis-jenis rumah, nama-nama arsitek ternama, dan bangunan yang oke
punya. Di Montase pun demikian. Kali ini dunia film, khususnya film dokumenter.
Jika setelah membaca Memori gue kepengin punya rumah folkloric, abis baca Montase gue pengin nonton The Man With A Movie
Camera bikinannya Dziga Vertov.
Melihat Windry yang begitu ahli di
Memori dan arsitekturnya, no wonder,
karena dia memang arsitek dan anak UI. Tapi, melihat Windry begitu ahli di
bidang film dokumenter dan hapal seluk beluk IKJ, maka gue standing applause untuk risetnya Windry. Inilah yang sejak awal
bikin gue terkagum-kagum sama Windry, selain deskripsi dia yang detail, amnis,
dan mengalir.
Hal lain yang memukau dari Windry
adalah karakteristik yang diciptakannya. Sayangnya, di Montase gue nggak dapet feel Rayyi, juga interaksinya dengan
Haru. Gue malah naksir Samuel Hardi yang sinis, sombong, dan galak. Tipe-tipe
Simon. Sayang gue kecele. Kirain awalnya Samuel 30an gitu, jadi makin naksir,
tahunya masih 28. Yahh, kemudaan. Tapi, nggak apa-apalah. Tetep seksi. Kayaknya
Windry diberkati keahlian menghadirkan pria-pria sinis secara menarik.
Jika gue kurang
dapet feel Rayyi, karakter pendukung
yang lain malah menarik buat gue. Sahabat-sahabat Rayyi, yaitu Sube, Andre, dan
Bev. Kehadiran mereka bikin gue bertahan baca buku ini dan gue bertanya-tanya,
bagaimana nasib mereka akhirnya? Semoga Windry mau bikin part khusus Sube dan
Bev, hihihi. Tapi kalau Windry mau bikin cerita khusus tentang Samuel Hardi,
gue lebih senang lagi.
Oh ya, meski
nggak sampai nangis kejer, ada part yang bikin mat ague berkaca-kaca. Part yang
sangat krusial bagi hubungan Rayyi dan Haru. Apa itu? Rahasia, hahhaa.
Oh ya juga,
ketika baca Montase, ada bagian yang ngingetin gue sama Memori. Bedanya, jika
di Memori ada ciuman rasa Godiva, di Montase ada ciuman rasa peppermint. Unyunya
sama. Ciuman monyet, kalau boleh gue kasih istilah *disadur dari istilah cinta
monyet alias ciuman unyu ala-ala remaja*. Tapi, juga ada ciuman lain. Ciuman rasa
latte. Sayang, Windry nggak bikin banyak ciuman rasa latte ini, hihihi.
Gue selalu suka
cerita berlatar belakang seni dan art.
Membaca kisah tokoh-tokoh yang mendalami hal ini bikin gue selalu semangat. Mungkin
karena gue sadar, kemampuan seni gue terbatas dan sekuat apa pun keinginan gue
untuk hidup di dalamnya, gue tahu itu nggak akan mungkin. Jadi, dilampiasin ke
bacaan aja. Makanya, jika ada cerita menyangkut seni, entah itu tokohnya
fotografer, pelukis, musisi, penulis, apapun itu, gue selalu suka. Apalagi jika
ceritanya menyangkut tentang living with
passion, gue pasti akan baca. Montase menghadirkan hal itu, film dan passion mengejar mimpi. Me likey.
However, meski secara keseluruhan buku
ini dan seksinya Samuel Hardi bisa gue nikmati, tetap saja gue nggak bisa move on dari Memori dan Simon Marganda.
So, Windry, ditunggu buku yang bisa
bikin gue move on dari Simon. Mungkin, jika ada cerita khusus tentang Samuel
Hardi, itu bisa bikin gue move on,
hehhe. Ditunggu ciuman rasa latte-nya, hihihi.
Last but not least, gue punya list penulis yang setiap menghasilkan
karya baru, gue pasti akan beli karena selalu dibuat terpukau oleh
karya-karyanya. And Windry is one of
them.
Yes, yes, ini juga masuk wishlist banget.
ReplyDelete