Pukul Dua Dini Hari
(Hari Kedua #13HariNgeblogFF)
“Kurang mengenaskan apa coba. Mesti
lembur di Jumat malam sampai jam dua begini di saat cewek-cewek lain pada get laid.” Aku menelungkupkan kepala di
atas meja kayu bulat yang banyak terdapat di Starbucks.
Ya, orang mengenaskan itu adalah
aku. Jarang-jarang lembur, sekalinya lembur malah di Jumat malam, di saat
sebagian besar orang Jakarta berpesta atau at
least bersenang-senang. Bukannya terdampar bersama pekerjaan sampai malam. Bahkan,
ketika aku harus menyeret langkah dari kantorku satu jam yang lalu, bukannya
pulang, aku malah beralih ke Starbucks Sarinah. Percuma saja pulang. Sesampainya
di apartemen, aku pasti akan langsung tidur sementara revisi artikel ini harus
selesai besok pagi. Lebih baik mengganjal mata dengan segelas kopi sambil terus
memutar otak menyelesaikan artikel ini.
“Ada. Orang yang harusnya bisa
tidur di rumah tapi atas nama persahabatan, malah ikut terdampar di Starbucks
Sarinah nemenin yang lagi lembur.”
Aku tersenyum lebar menanggapi
gerutuan Ale. Memang, akulah yang mengajaknya menemaniku. Pukul sepuluh tadi,
dia meneleponku sehabis bermain futsal bersama teman-teman kantornya. Bertanya apakah
aku akan pulang ke Depok atau ke apartemen. Namun, aku masih di kantor. Karena
malas sendirian, aku meminta Ale menemaniku. Dia menungguku di Starbucks dan
aku janji akan menemuinya jam sebelas. Tapi, janji tinggal janji. Bosku tercinta,
yang memaksaku lembur, baru pergi selepas tengah malam sehingga aku baru bisa
bertemu Ale satu jam yang lalu. Seperti yang sudah kuduga, dia menungguku
dengan cemberut.
“Makasih ya, Le. You’re my best friend.”
“Makasih ya, Le. You’re my best friend.” Ale mengulang
ucapanku sambil mencibir. “Makanya, cari pacar sana. Biar gue bisa pensiun dari
keharusan nemenin lo.”
Gerutuan Ale membuatku tertawa. Tanpa
bisa dicegah, ingatanku mengelana ke kejadian tadi pagi.
Lendra. Akhirnya aku berhasil
mengetahui namanya. Sebuah tahap awal.
“Oh ya, gue belum bilang makasih. Namanya
Lendra.” Aku yakin, pipiku pasti bersemu merah ketika menyebut nama Lendra.
Ale hanya tersenyum tipis. “Cuma
makasih aja?”
Aku menunjuk espresso di
hadapannya. “Ditambah Espreso itu.”
“Jasa gue harganya murah banget
ya,” gerutunya.
Refleks, aku menyemburkan tawa. Namun,
tawaku mendadak terhenti ketika pintu Starbucks terbuka dan sesosok pria dengan
jaket kulit hitam melangkah masuk. Dia menggendong ransel dan membawa sketchbook besar, lalu berjalan pelan
menuju meja kosong di dekat pintu masuk.
“He’s here,” bisikku seraya menunduk. Aku belum sanggup bertemu
Lendra dan memungkinkan terbongkarnya permainanku tadi pagi, tapi tak urung aku
senang bertemu dengannya.
“Siapa?”
Dengan isyarat dagu, aku menunjuk
Lendra. Ale berbalik dan langsung tertawa begitu melihat siapa yang kumaksud.
“Samperin gih.”
Aku mencibir. “Lo punya alasan apa
lagi?”
Ale hanya mengangkat bahu. “Memangnya
harus ada alasan ya?”
“Iyalah. Kalau dia lihat lo di
sini, dia pasti heran kenapa gue nyamperin dia padahal gue harusnya sama lo,”
kilahku.
“Lo tuh emang kebanyakan mikir. Be spontaneous.”
Aku memang bukan Ale yang bisa
bertindak impulsif kapan saja. Aku cenderung lebih banyak berpikir. Terkadang,
aku terlalu lama berpikir sampai-sampai kehilangan kesempatan. Kalau saja bukan
karena tindakan impulsif Ale tadi pagi, pasti aku belum bisa berkenalan dengan
Lendra.
Nyatanya, terbiasa berpirkir
membuatku tidak bisa—atau mungkin tidak mau—bertindak impulsif.
“Gue pergi deh, jadi lo ada alasan
untuk ngobrol sama dia.”
“Jangan. Ntar gue pulang sama
siapa?”
Ale menoyor kepalaku. Sekali lagi
dia melirik Lendra yang kali ini sedang memesan minuman.
“Jangan bilang lo mau nitipin gue
ke dia lagi ya, Le. Nggak lucu nitipin teman dua kali,” cegahku seakan bisa
membaca jalan pikiran Ale.
“Geer.”
Aku melirik jam tangan. Sudah lewat
pukul dua dan aku bertanya-tanya, apa yang dilakukannya di sini? Terjebak lembur
seperti aku? Jika dilihat dari bawaannya, sepertinya begitu.
“Kalau gue jadi lo ya, Tiz, gue
bakal nyamperin tanpa mikir macam-macam.”
“Itu kan lo. Playboy kelas teri yang sok kegantengan dan kepedean nyamperin cewek
manapun.”
“Nggak usah ngehina bisa kan?” Ale
cemberut.
Aku tertawa geli. Setidaknya,
dengan membuat Ale kesal bisa sedikit meredakan perasaanku yang tak karuan.
“Tapi, gue serius loh. Memangya lo
tahu kapan akan ketemu dia lagi? Memangnya, dengan naik kereta setiap hari
menjamin lo akan keteu dia terus?”
Aku menggeleng. Ale benar. Aku hanya
berspekulasi tanpa ada kepastian karena terus-terusan takut melangkah maju.
“Kalau ada kesempatan, harus
dimanfaatkan. Daripada nyesal?”
Aku menghela napas berat. “Jadi,
menurut lo, gue harus nyamperin dia?”
Ale mengangguk mantap.
“Apa yang harus gue ucapin?”
“Kata pertama yang lo ingat.”
“Tapi…”
“Udah, jangan kebanyakan mikir. Anggap
ini kesempatan terakhir yang lo punya,” potong Ale dan menarik tanganku hingga mau
tak mau, aku berdiri.
Lendra sudah kembali ke tempat
duduknya dengan segelas kopi hangat dengan asap mengepul di atas meja. Dia membuka
sketchbook yang dibawanya dan sesaat
kemudian, dia pun terlarut dalam keasyikannya menggambar.
Sejak kecil, aku selalu suka
melihat orang saat menggambar. Selama ini, saat-saat menyenangkan yang kumiliki
bersama Ale adalah saat dia menggambar. Satu-satunya saat ketika dia tidak
cerewet. Sekarang, Lendra juga tampak semakin menarik.
Kupaksakan kakiku melangkah
mendekati mejanya. Kesempatan besar ini tidak seharusnya kusia-siakan. Aku menghela
napas berat, tepat ketika aku sampai di depan pintu dan jarak yang tersisa
tinggal sedikit.
Pintu Starbucks terbuka. Aku menoleh
sekadar untuk memperlama waktu dan aku bisa meredakan debar di dadaku. Seorang perempuan
berambut panjang melangkah masuk. Saking buru-burunya, dia hampuir menabrakku.
“Lendra,” panggilnya.
Lendra mendongak dan otomatis aku
berbalik, sebelum dia sempat melihatku.
Sekarang sudah lewat pukul dua
dini hari. Seorang perempuan tidak akan berkeliaran malam-malam begini dan
bertemu seorang pria jika tidak ada sesuatu yang penting di antara mereka. Dan aku
yakin, perempuan itu sangat penting bagi Lendra.
Dengan langkah gontai, aku kembali
ke Ale.
ini pasti gue kan if yang dateng... gue sama Lendra. hahaha...
ReplyDeleteBebas soalnya ujungnya Lendra sama gue kok, eh sama Tiz
ReplyDeletewuaaaah...
ReplyDeletekayak real ya.
hehehe..
suka.suka suka... XD
mungkin lendra jg nungguin sahabatnya yg abis lembur :D
ReplyDeleteudah sama ale aja..
ReplyDeletelebih lucuan ale sepertinya
:D