Tunggu Di Situ, Aku Sedang Menujumu
(Hari Kedua Belas #13HariNgeblogFF. One more day to go :) )
Baca cerita sebelumnya di sini.
“Kita lihat saja nanti. Apakah kamu
sanggup menahanku untuk nggak kemana-mana lagi?”
Ucapan itu diucapkan dengan
santai, sesantai ketika dia menyalakan rokok lalu memainkan lighter di tangannya. Lendra menatap
keluar jendela seraya menghembuskan asap rokok. Sementara aku masih terpaku di
tempatku. Menatapnya tanpa berkedip sekalipun.
Kuanggap ucapan itu sebagai
tantangan, meski sedikit banyak aku berharap kalimat itu sebagai sebuah
persetujuan.
Persetujuan untuk apa? Bahwa dia
juga menginginkanku? Aku tertawa sinis. Dilihat dari gelagatnya, aku tidak
yakin Lendra memiliki keinginan yang sama denganku.
Seperti rollercoaster yang kadang mendaki tajam lalu menukik tiba-tiba
dalam sekedipan mata. Kurasa itulah yang tepat menggambarkan hubunganku dengan
Lendra. Semuanya terjadi serba cepat. Serba kebetulan. Hingga tiba-tiba saja
aku terlarut dalam pesonanya. Aku pasrah.
Namun ketika melihatnya hari ini,
tiba-tiba saja rollercoaster
kehidupanku menukik tajam. Memaparkan realita di hadapanku.
Nyatanya, realita seringkali tidak
seindah mimpi.
Kembali aku memakukan tatapan di
motif polkadot berwarna pastel yang memenuhi dinding Alba Fattoria.
“Can I ask you something?”
Lendra tidak menjawab. Dia hanya
menaikkan alisnya seraya menatapku.
“Ketika Ale menitipkan aku di
kereta, kenapa kamu mau?” Meski pertanyaan ini memungkinkan terbukanya
rahasiaku, I don’t care. Aku hanya
ingin mengenal Lendra. Lebih mengenalnya. Itu saja.
“Why not?”
“Gambar di buku sketsamu?”
Sebenarnya, kesadaran ini sudah
menyentakku sejak lama—mungkin semenjak pertama kali aku melihat ilustrasi
diriku di sketchbook milik Lendra. Hanya
saja, aku pura-pura tidak mempedulikannya. Kuabaikan jeritan hatiku demi
memenuhi dahagaku akan Lendra. Aku terlena selama beberapa saat. Berdiri di bayang-bayang
semu yang kuciptakan sendiri selama bersama dengan Lendra. Namun, kurasa itu
cukup.
Sudah cukup waktu yang kuhabiskan
untuk bermimpi. Sekarang saatnya menatap realita.
Kualihkan pandangan dari motif
polkadot itu ke wajah yang duduk di hadaanku. Kami hanya dibatasi sebuah meja
kecil. Dari jarak sejauh ini, aku bisa menangkap aroma pinus bercampur tembakau
yang menguar dari tubuhnya. Aku menyukainya.
“Ada banyak gambarku di buku
sketsamu. Nggak mungkin kamu menggambar semuanya setelah kita bertemu.” Aku menyuarakan
hal yang diam-diam mengganggu pikiranku.
Lendra mematikan rokok di dalam asbak
di atas meja. “Memang bukan.”
“Who are you?” desisku tajam.
Sebaris senyum tersungging di
bibirnya. Lendra memerangkapku dalam tatapannya—sesuatu yang sangat sulit untuk
ditolak. Dia berpangku tangan dan mencondongkan tubuhnya di atas meja. Cukup menggerakkan
kepalaku sedikit saja, maka aku bisa merasakan bibirnya di atas bibirku.
“Mungkin kamu bisa menyampaikan
ucapan terima kasihku kepada Ale. Sama sepertimu, aku sudah lama memerhatikanmu
dan mencari cara untuk mengenalmu. Tapi ternyata, Ale mendahuluiku.”
Pengakuan itu menyentakku. Tubuhku
menegang. Rahasia yang kujaga dalam-dalam ternyata malah diketahuinya. Aku tidak
tahu sejak kapan Lendra mengetahui akal bulus Ale. Tapi itu tidak penting lagi
sekarang.
“Awalnya aku cuma tertarik. Aku suka
sikap takut-takut dan kelewat waspadamu itu. Bagaimana kamu mendekap tasmu
erat-erat dan berdiri goyah di sepatu hak tinggimu itu membuatku merasa geli. Aku
memperhatikanmu, maksudku, menjagamu. Siapa tahu kamu kehilangan keseimbangan.”
Aku tersenyum tipis, tapi tetap
mencurahkan perhatianku padanya.
“Besoknya, ketika melihatmu lagi,
aku berkata ‘syukurlah dia nggak memakai sepatu tinggi lagi’, tapi
kewaspadaanmu yang berlebihan itu selalu menarik perhatianku.”
Lendra mengambil kotak rokoknya. Dia
mendesah kecewa ketika melihat kotak itu sudah kosong. Kurasa, dia hanya butuh
pengalihan dari apa yang sedang dihadapinya sekarang. Sesuatu yang bisa
dipegangnya agar tangannya tidak bergerak-gerak gelisah. Sebagai gantinya, dia
memutar-mutar lighter di atas meja.
“Dari hari ke hari, kamu selalu
ada. Dan aku masih nggak bisa mengalihkan perhatian darimu, meski kewaspadaanmu
mulai berangsung menghilang.”
“Kenapa kamu melakukannya?”
Lendra mengangkat bahu. “I don’t know. I just wanna do that.”
“And now, what do you want?”
Sekali lagi, Lendra mengangkat
bahu. Kali ini diiringi dengan ekspresi yang mendukung ketidaktahuannya.
“What do you want from me?” tantangku.
“What do you want from me?” Alih-alih menjawab, Lendra malah
mengulang pertanyaan yang kuajukan untuknya.
“I want you and you know that. I love you, I mean, I think I love you,”
sahutku. Sedikit keraguan terdengar di balik suaraku. Kepercayaan diri yang
tadi melingkupiku perlahan mulai menghilang.
Kuamati reaksi Lendra. Aku ingin
tahu bagaimana tanggapannya ketika aku mengatakan hal itu. Aku ingin tahu,
bagaimana pria yang tidak ingin diikat seperti dia menghadapi perempuan yang
selama beberapa waktu terakhir menghabiskan waktu dengannya dan saat ini
menawarkan diri untuk mengikatnya.
Aku hanya ingin tahu.
Namun Lendra hanya sedikit kaget. Ekspresinya
masih sama, sedikitpun tidak menunjukkan gelagat terganggu ataupun
memperlihatkan dia menyukainya.
“Dan aku mau kamu jadi milikku,”
lanjutku, menuntaskan semua isi hatiku.
Tubuh Lendra yang sempat menegang
kembali rileks seperti semula. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaram kursi
sementara tangannya masih asyik memutar lighter.
Lendra menatapku tajam dengan sebaris senyum menghiasi wajahnya.
Entahlah, aku tidak bisa membaca
arti senyum itu.
“Sejujurnya, Tiz, aku nggak pernah
bisa menjanjikan apa-apa kepada siapapun. Begitupun dirimu.”
*
“Le?”
Akhirnya, aku berhasil menyuarakan
nama itu di sela isak tangisku. Setelah sekian lama teleponku tersambung dan
Ale berteriak sampai nyaris putus asa di seberang sana, hanya isak tangis yang bisa
kukeluarkan.
Ucapan Lendra kuanggap sebagai
sebuah penolakan. Aku menyempatkan diri menatapnya sesaat, mencoba membaca
gejolak di balik matanya. Ketika tidak menemukan apa-apa, aku mengambil tasku
dan pergi. Hingga sosokku menghilang di balik pintu, dia tetap bergeming di
tempatnya. tidak bergerak atau sekadar memanggilku.
And now, here I am. Menangis sendiri dan menelepon Ale. Menyedihkan.
“Lo kenapa, Tiz?”
Aku tidak bisa menjawab. Hanya isakanku
yang terdengar. Rasa sakit di hatiku begitu menjadi-jadi. Semua mimpiku tercerabut
begitu saja, tanpa meninggalkan sedikitpun harapan.
Ah, aku sudah tidak berani
mengharapkan apapun dari Lendra.
“Lo dimana?” Kembali Ale bertanya.
Susah payah aku menahan isak
tangis. “Star… bucks… Sa… ri… nah…,” jawabku terbata-bata.
“Got it. Lo tetap di sana, jangan kemana-mana, oke?”
Aku mengangguk. Tidak peduli meski
Ale tidak melihatku.
“Janji, lo nggak akan kemana-mana.
Gue langsung ke sana. Lo tunggu gue di sana.”
Tanpa menunggu jawabanku, Ale
mematikan telepon. Meninggalkanku yang kembali tergugu sendirian.
Pria yang kucintai mendepakku dan
satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah menghubungi sahabatku yang tanpa
sadar telah kusakiti. Menyedihkan.
Ternyata mbak suka nulis fiksi ya, yuk ikutan Giveaway Flash Fiction BeraniCerita.com! DL 21 Feb ya! Jangan ketinggalan!
ReplyDelete