Petisi
Oleh: Ifnur Hikmah
PS: A side story from my fresh from the oven draft. Berhubung belum bisa move on dari tokoh-tokoh ini, jadilah dibuat side story kisah mereka.
Mata Laura terbelalak saat melihat
angka di layar MacBook. “Wow, petisi ini sudah menyentuh angka 900 di hari
ketiganya. Aku nggak heran jika besok jumlahnya sudah ribuan,” ujar Laura
seraya melirik Aidan yang sibuk membaca koran di sofa di atasnya.
Aidan tidak menjawab. Dia hanya
melirik Laura dari balik koran yang dibacanya dan tersenyum tipis sebelum
kembali menenggelamkan diri dalam koran. Indeks Harga Saham Gabungan lebih
menyita perhatiannya ketimbang petisi yang dilancarkan di dunia maya oleh kemunitas
Aidanesia tersebut.
Melihat Aidan yang sama sekali
acuh dengan hal tersebut membuat Laura cemberut. Dia membaca petisi tersebut
keras-keras. Tindakannya semata hanya untuk mengganggu Aidan.
“Kami, Aidanesia, dengan ini
menuntut Aidan Gio untuk kembali menulis dan membatalkan keinginannya untuk
berhenti. Petisi ini kami tanda tangani dengan senang hati sebagai bukti cinta
dan peduli kami kepada Aidan dan hasil karyanya. Sincerely, Aidanesia.”
Laura melirik Aidan yang duduk di
atasnya. Pria itu hanya menyengir lebar di balik korannya.
“Gimana kalau aku ikutan petisi
ini?”
“What?” Aidan menurunkan korannya dan menatap Laura lekat-lekat.
“Kita sudah membicarakan masalah ini sebelumnya.”
Laura tidak mengindahkan
pertanyaan Aidan. Dengan cuek dia mengisi data diri dalam kolom yang disediakan
di dalam petisi tersebut.
“Laura, don’t do that.”
Terlambat. Laura sudah mengklik
tombol OK. Detik itu juga, angka di layar berubah menjadi 901. Data dirinya
sudah terekam oleh si pemilik website. Laura bisa membayangkan keikutsertaan
dirinya dalam petisi ini akan membuat mereka semakin yakin dengan usaha mereka
karena didukung oleh Laura sendiri, orang terdekat Aidan.
“How dare you,” ujar Aidan. Meski ucapannya menyiratkan kemarahan,
Aidan sama sekali tidak marah. Dia berkata sambil tertawa dan merangkul Laura
dari arah belakang. Hanya sekali sentakan, dengan mudahnya Aidan mengangkat
sosok Laura dan mendudukkannya di pangkuannya. “Kalau mereka, aku masih bisa
mengatasinya. Kalau kamu?” Aidan menggeleng pasrah.
Laura tertawa lebar sambil
melingkarkan lengannya di leher Aidan. Mereka duduk berhadapan sehingga Laura
bisa dengan leluasa meneliti wajah di hadapannya. Mereka baru menjalin hubungan
selama beberapa bulan tapi Laura merasa seluruh hati dan keyakinannya sudah tertumpu
ke sosok di hadapannya ini. Untuk itulah Laura ingin melakukan apa saja untuk
Aidan.
Mungkin hanya Laura yang mengerti
betapa berartinya menulis bagi Aidan. Jauh lebih berarti ketimbang grafik
untung rugi perusahaan miliknya, atau rencana pengembangan kompleks perumahan
terbaru yang sekarang sedang digarapnya.
“Come on, jangan nelangsa kayak gitu.”
“Kamu memaksaku melakukan apa yang
ingin kulakukan tapi aku tahu aku nggak bisa,”
Laura mengecup lembut pipi Aidan.
“Kamu harus melakukan apa yang membuatmu senang. Sesempit apa pun, kamu pasti
punya waktu.”
Tangan Aidan terjulur ke belakang
Laura. dia mengambil beberapa map dari atas meja dan menunjukkannya di hadapan
Laura. “Ini nggak bisa berbagi, laura.”
Laura hanya mendecakkan lidah
sambil menggeser tangan Aidan yang memegang map tersebut sejauh mungkin dari
hadapannya. “Richard suka olahraga dan dia selalu punya waktu untuk itu. Allan
suka fotografi dan dia selalu punya waktu sekali sebulan untuk hunting foto.” Laura menyelipkan
jari-jarinya ke rambut Aidan yang sudah mulai memanjang. Ikal-ikal rambut itu
selalu membuatnya gemas. “Mereka melakukannya karena mereka mau. Jadi nggak ada
alasan lagi untuk kamu.”
Aidan terdiam. Dalam hati dia
membenarkan ucapan Laura. Hanya saja Aidan tidak yakin dia bisa membagi waktu
sebaik yang dilakukan Paman dan Kakaknya itu. Namun Aidan juga tidak bisa
memungkiri bahwa desakan Laura begitu menggiurkan karena dirinya memang sangat
mencintai saat-saat yang dihabiskannya dengan menulis.
“Nggak ada salahnya mencoba.”
Aidan mengangguk.
“Kamu setuju karena benar-benar
setuju atau hanya agar aku diam?”
Pertanyaan itu membuat tawa Aidan
tersembur. Tubuhnya terguncang saking kerasnya dia tertawa. Sementara di
hadapannya Laura hanya cemberut dan menatap Aidan dengan tatapan tajam—tatapan
yang menyuruh Aidan berhenti tertawa.
Namun lama-lama bibir Laura
tertarik membentuk sebaris senyuman. Tatapannya pun melunak. Entah magnet apa
yang dimiliki Aidan sehingga setiap kali dia tertawa maka orang yang ada di
dekatnya akan ikut tertawa. Seperti saat ini.
“Terserah kamu, tapi aku hanya
mengusulkan yang terbaik.”
Aidan mengangguk dan mengeratkan
pelukannya di tubuh Laura.
“Apa arti anggukanmu itu?”
“Come on, Laura. Bisa kan sekali aja kamu nggak menganalisa apa yang
kamu lihat? Kamu bukan Poirot.”
“Memang, but I love Poirot,” sahutnya singkat seraya turun dari pangkuan
Aidan.
“But you love me more.”
Ucapan Aidan masih tertangkap oleh
telinganya ketika Laura perlahan berjalan menuju lemari es demi mengambil
minum. Dia tidak menjawab tapi dalam hati membenarkan ucapan itu.
0 Comments:
Post a Comment