Blind Date
Ifnur Hikmah
Prolog: terinspirasi dari dua kalimat yang ditwit oleh @RAquotes, sebuah akun yang ngetwit quote Richard Armitage. Membaca satu kalimatnya di tengah malam dalam keadaan jomblo adalah perpaduan yang sangat tidak menyehatkan bagi jiwa, raga, hati, dan pikiran. Kalimatnya adalah. “I look around and my fellow friends are having babies and I'm envious. One day, one day.” dan “I was quite solitary. I would be up in my room reading books so I developed a vivid imagination.” Kalimat ini gue pake di dalam cerita ini.
“I look around and my fellow friends are having babies and
I'm envious. One day, one day.”
Dia berbicara dengan pandangan
menerawang. Malam ini cukup sunyi. Bahkan di tempat ramai seperti ini pun
kesunyian itu begitu nyata. Kulihat dia tersenyum—senyum berupa garis tipis di
bibirnya yang berkilauan di bawah temaram lampu. Gelas wine di tangannya memantulkan sinar lampu di atas kami, membuat
wajahnya terlihat bercahaya.
“Do
you feel the same? Maksudku, ketika akhirnya kamu tiba di satu masa di mana
kamu berkata I wish I did it?”
Dia tergelak sembari menenggak
minumannya. Matanya yang memancarkan sinar ramah dan bersahabat memakuku,
membuatku merasa enggan mengalihkan mata kea rah manapun.
“I did,” sahutku ringan.
Gelak tawanya menjadi satu-satunya
pemecah keheningan ketika mendengar kejujuranku.
“So, what do you think about me?”
Apa yang aku pikirkan tentangnya? Entahlah.
Ini masih terlalu cepat untuk mencerna apa yang kurasa tentang dia. Satu jam
yang lalu kami masih dua orang asing yang dipertemukan karena temannya adalah
temanku. Si teman yang merancang kencan buta ini karena bosan melihatku
terpuruk dalam patah hati padahal satu tahun sudah berlalu setelah
pengkhianatan tunanganku. Kencan buta yang diyakini temanku menjadi
satu-satunya cara agar aku bisa move on. She
thinks I need to move on.
Richard. Aku hanya diizinkan mengetahui
data singkat itu saja. Hanya sebatas nama. Semua pertanyaanku dimentahkan
begitu saja. Dan seperti orang bodoh, aku menurut. Aku membiarkan dia
mendandaniku sedemikian rupa hingga aku pun tidak percaya jika bayangan yang
ada di kaca adalah diriku sendiri. Gaun merah semata kaki dengan pundak terbuka
itu terlalu berani untukku. Namun semua protesku berlalu begitu saja. Dengan langkah
tertatih-tatih aku melangkah di atas sepatu paling tinggi yang kukenakan hingga
duduk di restoran mewah ini,
Menunggu. Ya, menunggu pasangan kencan
butaku. Kata temanku si Richard ini akan datang sebentar lagi. Si teman yang
akhirnya keceplosan menyebut jika pasangan kencan butaku adalah salah seorang
eksekutif di oil and gas company. Ikan
kakap, katanya, tapi bagiku tidak ada pengaruh. I did it just for fun.
Mungkin pendpat awalku sedikit berubah
setelah pasangan kencan butaku ini duduk di hadapanku. Kemeja putih bersih
dilapis vest dan jas hitam serta
celana hitam dengan potongan yang mempertontonkan kaki panjangnya yang
sempurna. Wajah yang terlalu fresh
untuk ukuran seorang pekerja keras yang tenggelam dalam urusan minyak dan gas
selama sepuluh jam sehari. Rambut yang tersisir rapi serta bayangan bercak biru
di sepanjang garis rahang. Dia sangat dewasa. Oh, mungkin temanku lupa
memperingatkan jika pasangan kencan butaku ini bukanlah pria seumuranku yang
tujuannya hanya ingin having fun, just
like me. Melainkan pria dewasa yang sudah matang dan sepertinya siap
membawa seorang perempuan berjalan di altar.
Pria yang sejak pandangan pertama sudah
mampu memakuku untuk tetap diam di tempat. Keinginan untuk angkat kaki sama
sekali tidak terpikirkan olehku. Pembicaraan basa basi pun terlupakan. Berganti
ke pembicaraan tentang diri kita masing-masing.
Life is an unexpected journey, right?
Setidaknya penilaian pertamaku sangat
positif.
“So, what do you think about me?” ulangnya.
Aku tertawa canggung mengatasi kegugupan
yang tiba-tiba melandaku. “You first. What
do you think about me?”
Dia menuang wine ke dalam gelasnya yang sudah kosong. “You’re nice. Mungkin aku bisa mempertimbangkan ulang kebiasaanku
menyendiri setelah ini.”
“Makdusmu?”
“I
was quite solitary. I would be up in my room reading books so I developed a
vivid imagination.” Dia tersenyum. “But now I have you. Untuk apa mengunci diri di kamar seorang diri
jika aku bisa melakukannya denganmu?”
Tawaku semakin menjadi-jadi. Sebuah upaya
flirting yang mengesankan. Oh, mungkin
mengesankan karena datang dari bibir tipis yang sejak tadi sudah mengundangku
untuk menciumnya itu.
“Jangan terlalu yakin.”
“Aku selalu yakin dengan apa yang aku
inginkan.”
“And it’s mean, do you want me?”
Dia meletakkan gelasnya di atas meja dan mencondongkan
tubuhnya ke arahku. Aroma pinus bercampur cologne
yang sangat maskulin memenuhi penciumanku. Membuatku limbung.
“Yess, I want you.”
Dan kusadari jika terkadang kencan buta
bukanlah sebuah ide buruk.
0 Comments:
Post a Comment