[cerpen] Miracle

Leave a Comment
Miracle
(Ifnur Hikmah)



2009
“Kamu yakin mau ngeprofilin saya? I mean, you know who I am, right? Saya bukan siapa-siapa untuk bisa masuk ke Music Daily.”
Aku tertawa pelan seraya menenggak Jack Daniel’s di gelasku. Ini hari ketiga aku datang ke Brooke. Berarti, hari ketiga juga aku melihat penampilannya.
Dia, Calvin, menatapku dengan pandangan serius. Bagi musisi kebanyakan, mereka akan melakukan segala macam cara pendekatan agar aku berbaik hati berbagi halaman Music Daily untuk mereka. Satu halaman, setengah halaman, atau mungkin seperempat, itu tidak pernah jadi masalah. Yang penting, mereka muncul di halaman majalah musik paling bergengsi ini.
Tapi, Calvin tidak perlu berbuat apa-apa. Dia cukup memetik gitar di tengah pub bobrok ini, enggak peduli apakah pengunjung Brooke memerhatikannya menyanyi atau sibuk main billiard di sudut ruangan atau pacaran di sofa merah butut, dan menyanyi. Lagu British rock favoritnya. Sekejap, dia menjelma menjadi the next Noel Gallagher.
Aku ada di sini untuk memperhatikannya. Temanku, Marco, menyuruhku datang setelah dia berbusa-busa mempromosikan Calvin. Marco berani bertaruh aku akan terkesima dengan penampilan Calvin.
Pertama melihatnya, jujur saja, aku skeptis. Dia seperti cowok kebanyakan. Pubstar yang sebenarnya memiliki kualitas untuk jadi rockstar, hanya saja nasib baik belum berpihak kepadanya. Dan Brooke bukanalah jenis pub yang biasa didatangi pencari bakat. Brooke hanyalah pub murahan yang menyediakan bir murahan. Tapi, begitu aku mendengar Calvin menyanyi, semua keraguanku sirna. Dan, aku yakin dengan instingku. He is the next big thing. Akan sangat menyayangkan jika dia berakhir di pub bobrok ini. Tempatnya panggung besar, bukan panggung ala kadarnya di Brooke.
Jadi, aku menawarkan kesempatan itu. Dua halaman profil di rubrik The Next Big Thing. Jika musisi lain menyambut dengan antusias, maka Calvin kebalikannya.
Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya.
Padahal, aku hanya wartawan yang bekerja di majalah musik. Bukan Simon Cowell atau Simon Fuller.
“Kamu serius?”
Aku mengangguk mantap. “You are the next big thing. Kelasmu bukan di sini.” Aku menuding Brooke yang dipenuhi asap rokok dan bau keringat. “Kamu punya bakat untuk bersinar.”
Calvin tertawa. Akhirnya dia bisa terlihat rileks setelah setengah jam lebih terlihat tegang setelah aku mengajukan penawaran ini.
“Saya hanya enggak ingin kamu mendapat masalah dengan atasanmu karena membawa penyanyi yang enggak jelas ini ke majalahmu.”
Aku melambaikan tangan di depan wajahnya, menyuruhnya untuk tidak usah memusingkan komentar bosku. Meski bosku itu cerewetnya minta ampun, aku yakin dia akan setuju dengan pendapatku. Urusan insting menemukan rising star berkualitas, dia sama denganku.
Kurogoh laci kecil messenger bag milikku dan mengeluarkan dompet kecil dari bahan kulit berwarna hitam. Aku mengeluarkan selembar kartu namaku dan mengasurkannya di atas meja, tepat ke hadapan Calvin.
“Aku tunggu kamu besok di kantorku untuk pemotretan dan interview.”
*
“Buat orang yang baru saja menandatangani kontrak rekaman senilai jutaan rupiah, makan di warung tenda pinggir jalan seperti ini termasuk murah.” Aku menggelengkan kepala dengan raut wajah dibuat semenyedihkan mungkin.
Di sebelahku, Calvin tertawa rikuh sembari menggaruk kepalanya yang ditutupi knit cap abu-abu lusuh. Rambut keriting sebahunya mengintip di balik knit cap. Aku menurunkan pandanganku dan menemukan kaus putih lusuh bergambar OASIS dan celana jins yang robek di bagian lutut. Sederhana memang. Untuk ukuran penyanyi baru yang diperkirakan menjadi the new rockstar, tampilannya terlalu sederhana. Aku tertawa kecil membayangkan kesulitan yang dialami Global Record dalam menyiapkan imej baru Calvin.
Sesuai perkiraanku, tidak butuh waktu lama bagi Calvin untuk menjadi spotlight. Setelah tampil di majalahku, aku mengundangnya ke private gig yang diadakan Music Daily. Private gig ini dihadiri produser musik karena acara ini kami peruntukkan bagi musisi baru. Hitung-hitung mempermudah jalan mereka menuju dapur rekaman. Aku sempat bertengkar dengan Don, bosku, karena dia belum mendengar demo Calvin. Tapi, aku berhasil meyakinkannya.
Calvin bukan hanya berhasil membuatku mempertahankan muka di depan Don, tetapi dia juga berhasil menaklukkan Jake, eksekutif produser dari Global Record.
Perlahan, Calvin mulai diperhitungkan. Single pertamanya laku di pasaran. Dia sudah berhenti jadi pubstar di Brooke. Dia mulai jadi penyanyi pembuka di konser musisi ternama, tampil di acara televisi, dan lagunya juga diputar di radio-radio. Dia juga sering menjalani interview dengan majalah lain. Tapi, Calvin selalu memprioritaskanku dan Music Daily.
Dia bilang, dia enggak ingin jadi kacang lupa kulitnya.
Sore ini Calvin menjemputku di kantor. Katanya, dia ingin mentraktirku. Proses rekaman album pertamanya sudah selesai. Tinggal menunggu waktu sampai album itu berhasil merajai chart.
“Sebenarnya saya mau mengajakmu ke restoran yang mahalan dikit, tapi saya lapar.” Calvin meringis, memperlihatkan giginya yang berbaris rapi.
Aku hanya tersenyum. Sebenarnya tidak masalah makan di mana. Sebenarnya, aku cukup senang dengan perlakuan istimewa ini. He is a rising star. Makan malam bersama riising star, meski hanya di pinggir jalan, jelas suatu keberuntungan untukku.
“Lagipula, pasta di sini jauh lebih enak ketimbang di Brooke.”
“Nikmatilah saat ini,” ujarku pelan dan menatapnya tajam, “setelah ini, kamu enggak akan bisa pergi ke manapun tanpa dikenali.”
“Ah, kamu selalu lebih optimis dibanding saya.”
Aku menyeruput es teh manis milikku. “Karena saya tahu kamu akan jadi bintang besar. Sekarang, sudah terbukti, kan?”
“Saya enggak akan bisa seperti ini tanpa kamu.” Calvin tersenyum. Di bawah temaram cahaya lampu seadanya warung tenda ini, aku bisa meyakinkan siapa saja bahwa dia memiliki senyum yang manis. “Saya enggak akan melupakan kamu.”
“Ya, kamu sudah bilang kalau kamu enggak akan seperti kacang lupa kulit.”
Calvin tersenyum hangat, sehangat tangannya yang tiba-tiba menggenggamku. “Saya berutang banyak padamu. Pada Music Daily. Tapi, di atas semuanya, saya enggak akan mungkin melupakanmu, karena kamu adalah keajaiban di hidup saya.”
*
2010
Thank you for coming. Saya deg-degan nungguin kamu dari tadi enggak muncul-muncul.”
Aku tergelak sembari mengalungkan ID Pers-ku. “Maaf, tadi macet. Aku tahu, macet cuma jadi alasan klasik di Jakarta.”
Calvin menggiringku ke backstage, menyisakan tatapan iri di wajah jurnalis lain atas priviledge yang kuterima ini. Andai saja mereka tahu kalau Calvin sendirilah yang meminta kedatanganku ke konser tunggal pertamanya ini. Setelah menjalani tur ke berbagai kota, akhirnya Calvin mengakhiri konsernya di Jakarta. Aku bisa saja menyuruh reporter lain untuk meliput acara ini—seperti biasanya. Tapi, aku memilih datang sendiri. Karena ini konser Calvin.
Calvin Ryan. Solois paling digemari sekarang ini. Album pertamanya, Brooke—Calvin sendiri yang memberi nama ini karena alasan sentimentil bahwa karirnya berawal di pub bobrok bernama Brooke—sukses di pasaran. Selama berminggu-minggu menempati posisi nomor satu di berbagai chart. Sesuai dugaanku, dia tidak bisa lagi pergi ke manapun tanpa dikenali.
Aku meneliti penampilan Calvin yang sibuk mengecek gitarnya di belakang panggung. Knit cap itu masih ada, meski dari warnanya, sepertinya knit cap itu baru. Dia masih memakai pakaian kebesarannya—kaus putih dan celana jins—yang sudah menjadi ciri khasnya. Hanya saja, sekarang dia terlihat lebih rapi. Dan, itu semakin mempertegas ketampanannya. Sepertinya Calvin juga mulai berlatih di gym. Di salah satu sesi WhatsApp singkat kami, dia pernah memberitahuku. Padatnya jadwal tur dan interview membuat dia harus menjaga kebugaran tubuhnya. Salah satunya berlatih di gym. Sekarang hasilnya mulai terlihat. Dadanya menjadi sedikit lebih bidang. Otot lengannya mulai terlihat. Dia bukan lagi musisi pub kurus dan terlihat kumal seperti pertama kali aku menemukannya.
Bisa kurasakan pipiku memerah ketika memerhatikan Calvin seintens ini.
Merasa diperhatikan, Calvin menoleh kepadaku. “Kamu enggak membutuhkan ID itu.” Dia menunjuk ID pers di leherku. “Malam ini kamu duduk di bangku VVIP. Saya sudah menyiapkan tempat khusus untukmu. Boy akan menemanimu ke sana.”
“Jangan terlalu baik hati sama wartawan.” Aku mencoba bergurau.
Tapi, Calvin malah tidak terpengaruh gurauanku. Dia mendekatiku. Sebelah tangannya terulur menyentuh pipiku, lalu menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
“Kamu bukan wartawan biasa. Kamu keajaiban dalam hidup saya.”
Ketika Boy, manajer Calvin, menggiringku menuju kursi VVIP, aku melepaskan ID Pers dari leherku dengan pipi menghangat.
*
2011
“You know what? I miss you.”
Calvin menyodorkan segelas wine ke padaku. Senyum hangat terukir di wajah bersihnya—dia jadi rajin bercukur sekarang. Ketika aku memerhatikannya lebih intens lagi, hasil olah tubuh di gym sudah terlihat jelas. Siapa pun yang melihatnya sekarang pasti tidak ada yang menyangka jika dia dulunya sangat kurus.
Gayanya masih sama, kasual seperti biasa. Tapi jangan harap menemukan kaus lusuh hasil berburu di Melawai di lemarinya. Setidaknya, Calvin sudah terbiasa bolak balik Topman atau Pull&Bear dan berbelanja sesuka hati di sana. Dia tidak perlu lagi adu urat leher dengan Joe, pemilik Brooke, yang suka mangkir membayarnya karena sekarang, dengan semua kesuksesannya, rekeningnya tidak akan pernah berhenti bertambah.
“Maaf, saya agak sibuk sekarang.”
“Agak?” Aku menaikkan sebelah alis. “Kamu sangat sibuk sekarang.”
“Tapi setidaknya saya masih punya waktu untukmu.”
Aku bangkit berdiri dari sofa merah yang kududuki dan pindah ke sofabed hitam tempat Calvin berbaring. Satu lagi perubahan yang dialaminya, dia tidak perlu lagi tinggal di indekos ala kadarnya dan menyewa apartemen mewah di Kuningan ini. Calvin juga memintaku untuk menemaninya mencari apartemen dan mendekorasinya.
Setelah dua tahun berlalu, perlahan tapi pasti, kami berhasil menanggalkan hubungan wartawan-musisi yang selama ini kami jalani. Tidak jarang, di sela kesibukannya, Calvin menghubungiku—even a simple text message. Atau aku yang menghampirinya di studio. Atau kami akan berakhir di sini, di apartemennya, di sofabed yang menghadap ke dinding kaca yang menghamparkan pemandangan malam di Kuningan, dengan gitar cokelat yang sesekali dipetik Calvin.
“Bagaimana album keduamu?” Aku merebahkan tubuh di sisi Calvin. Lengannya yang sekarang berotot itu dilingkarkan di leherku, membuatku menempel erat di sisi tubuhnya.
“Masih sibuk diskusi dengan Jake. Saya beruntung Jake dan yang lainnya membebaskan saya berkreasi semampu saya.”
“Aku yakin album keduamu akan sesukses album pertamamu. Mau diberi judul apa?”
“Belum tahu.” Calvin meremas pundakku pelan. Aku menengadah, menatapnya, dan mendapati dia sedang menyengir lebar. “Sepertinya Ella bagus juga.”
Aku meninju perutnya, refleks. Sedetik aku sempat terpana merasakan gerakan otot di perut itu. Aku tidak menyangka jika efek gym bisa sedahsyat ini. “Jangan membuatku besar kepala.”
Calvin mengecup puncak kepalaku. “Sudah saya bilang, kan, kalau kamu itu keajaiban? Dan, keajaiban harus diabadikan. Ella, nama itu cocok untuk judul album kedua.”
Aku tergelak. Mungkin Calvin tidak tahu, bahwa aku juga menganggap kebersamaan ini, kedekatan yang terjalin tanpa pernah kami rencanakan sebelumnya, juga berupa keajaiban untukku. Kuangkat kepalaku hingga sejajar dengannya. Tanpa bersuara, aku menciumnya.
Dia benar. Keajaiban ini memang harus diabadikan.
*
2012
“Saya tidak pernah menyangka, dalam waktu sesingkat ini, saya berkesempatan tampil di hadapan penggemar saya di luar Indonesia. Ini benar-benar keajaiban.”
Aku tersenyum kecut saat membaca kata keajaiban di artikel yang sedang kuedit itu. Bahkan, keajaiban pun tidak bisa bertahan lama.
Tidak ada nama Ella di album kedua, berganti nama Calvin Ryan. Aku tidak mempermasalahkannya. Toh, obrolan malam itu tidaklah serius. Yang aku permasalahkan hanyalah aku tidak lagi mengenal Calvin.
Album keduanya sukses. Tawaran tur kian menjadi-jadi, bahkan tur Asia sudah dijalaninya. Dia juga mendapat kesempatan berduet dengan penyanyi asal Filipina. Sebuah pencapaian yang mengagumkan.
Namun, aku harus membayarnya dengan hatiku. Calvin tidak ada lagi untukku. Pesan singkatku tidak pernah berbalas. Teleponku seringkali menemui mailbox. Ketika aku menghampirinya, entah di apartemen atau studio, Calvin menanggapiku dengan dingin. Alasannya selalu sama: sibuk.
Entah kapan perasaan ini dimulai, tapi perlahan-lahan, aku mulai merasa kehilangan Calvin. Perlahan tapi pasti, hubungan kami kembali menjadi wartawan-musisi. Hubungan profesional. Aku lebih sering berhubungan dengan Boy untuk mengetahui kabar terbarunya. Aku terpaksa kembali mengalungkan ID Pers di leherku untuk bisa melihatnya, itu pun dari jarak jauh, karena aku terpaksa berbaur dengan wartawan lain. Tidak ada lagi priviledge ke backstage atau kursi VVIP. Entah bagaimana mulanya, kerenggangan ini mulai membuatku sedih.
Seperti malam ini, aku merindukannya. Tapi, aku tidak bisa datang begitu saja ke apartemannya hanya untuk mengatakan betapa aku merindukannya.
Aku memutar kursiku dan berhadapan dengan dinding luas yang ditempeli poster musisi yang mengawali karirnya dari private gig Music Daily. Di salah satu poster itu ada Calvin. Calvin yang kurus dan cenderung kumal. Namun, dia tersenyum hangat. Senyum yang dulu membuatku jatuh cinta. Namun sekarang tidak ada lagi senyum itu.
Perlahan tapi pasti, aku kehilangan Calvin.
*
2013
Pada awalnya, sebuah hubungan dimulai dengan bertemuanya dua orang asing. Dan pada akhirnya, akan kembali menjadi orang asing.
Aku melangkahkan kaki memasuki JCC. Tidak lupa, ID Pers di leherku. Malam ini adalah malam Anugrah Musik Indonesia. Tentu saja, Calvin masuk di beberapa nominasi, solois terbaik, lagu terbaik untuk lagu Trouble City, dan album terbaik untuk album ketiganya, Trouble City. Sebenarnya, aku tidak harus turun tangan langsung meliput acara ini. Namun, aku sedang berjudi dengan keberuntungan. Juga keajaiban.
Aku ingin bertemu Calvin.
Setelah semua pesanku tidak terbalas, dan teleponku yang tidak diangkat, dan aku yang sudah bosan hanya bisa menghubungi Boy dan tahu bahwa Calvin baik-baik saja, aku memutuskan untuk berbuat nekad. Mencari celah untuk bisa bertemu dengannya.
Aku tidak perlu tahu apakah Calvin baik-baik saja. Kemunculannya di media massa sudah cukup memberitahuku bahwa dia baik-baik saja.
Yang aku ingin tahu, apakah dia masih menganggapku keajaiban dalam hidupnya?
Masihkah dia mencintaiku?
Aku melambai ke beberapa artis yang kebetulan kukenal. Sesekali aku bertegur sapa dengan musisi yang kukenal. Meski begitu, mataku terus berkelana mencari sosok yang memakai knit cap.
“Calvin…”
Teriakan itu mengagetkanku. Aku berbalik dan melihat Calvin sedang melintas di red carpet. Dia sendirian. Dia masih sama. Knit cap abu-abu, kaus putih, jaket kulit, dan jins robek. Rambut keritingnya masih mengintip di bawah knit cap. Dia melambaikan tangan, menyapa penggemarnya yang memadati red carpet. Dia tak henti-hentinya tersenyum.
Tapi, senyum itu tidak sama seperti yang kulihat dulu. Ketika kami bertukar sapa di Brooke.
Ketika Calvin melangkah mendekati pintu masuk, aku berbalik dan berjalan menghampirinya. Kami berpapasan di dekat pintu. Tidak kusia-siakan kesempatan itu. Aku tersenyum semanis mungkin. Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukan Calvin.
“Cal…” sapaku.
Calvin tersenyum. “Hai, Ella.”
Aku terpaku. Hanya itu? Tidak ada sapaan antusias, ciuman di pipi, atau sekadar pelukan ringan? Hatiku mencelos menyadari bahwa tidak ada lagi binar bahagia di mata Calvin ketika bertemu denganku.
“Ella, saya buru-buru. See you again, later.” Dia memaksakan diri untuk tersenyum. “Bye, Ella.”
Lama aku terpaku di tempatku. Aku menatap punggungnya yang menjauh, berbaur dengan temannya sesama public figure, dan menghilang dari hadapanku diiringi teriakan para penggemarnya.
Detik itu aku menyadari satu hal. aku telah kehilangan Calvin. Begitu saja.
Sambil menahan geram bercampur kesedihan, aku membuka ID pers milikku, membantingnya ke lantai, dan berlari keluar dari gedung ini.

Sekarang, keajaiban itu benar-benar sudah hilang.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig