[cerpen] Side Effect

1 comment
Side Effect

(sumber gambar: weheartit.com)

“Kenapa lagi?”
Lana menyodorkan sekotak tisu ke hadapanku. Sambil menahan sesenggukan yang membuatku susah bicara, aku menyambar tisu itu. Lalu mendekatkannya ke pipi dan menghapus air mata yang mengalir di sana.
“Gus…”
Sebelum sempat melanjutkan ceritaku, Lana membuatku terdiam hanya dengan satu kali rolling eyes. Dia tidak usah bicara, aku sudah tahu kalau dia keberatan mendengar ceritaku.
“Lo enggak mau dengerin cerita gue, ya?” Rasanya sakit saat mengetahui sahabatmu satu-satunya, orang yang dulu pernah mendeklarasikan sumpah bahwa dia akan selalu ada untukmu, for better or worse, rela menampung semua curhatanmu, tapi pada akhirnya terang-terangan menunjukkan keengganannya mendengar ceritamu. Lagi. Lana melakukannya lagi, tepat di hadapanku.
Aku kembali menangis. For Old God and New God, aku masih sedih karena semalam mengetahui Augustus Waters yang sangat charming dan punya seribu satu cara yang unpredictable untuk menghibur Hazel Grace, akhirnya terpaksa mengalah dari osteosarcoma yang sudah lebih dulu mengambil sebelah kakinya. Memang bukan aku yang ditinggalkan, dan aku pun baru mengenalnya tiga hari ini, tapi aku sudah seperti mengenal Augustus seumur hidupku. Dan aku hanya bisa menangis sesenggukan mengetahui bahwa dia akhirnya menyerah.
Tapi Lana malah menunjukkan wajah bosan ketika aku ingin berbagi.
Kemarin-kemarin, dia hanya menunjukkan wajah setengah bosan ketika aku mencerocos panjang lebar tentang betapa manis dan charming-nya Gus.
“Gue pikir ada something important terjadi sama lo.”
“Ini penting, Na…”
“Enggak penting…..” Lana menjerit tepat di kupingku, membuatku refleks menjauhkan tubuhku darinya. “Wake up, Tiasssss…. Mau sampai kapan, sih, lo hidup di imajinasi lo terus? Lo enggak capek apa tiap hari merasa senang atau sedih cuma gara-gara tokoh fiktif? Hah? Hah? Hah?” Dan sebagai penutup, Lana menoyor kepalaku.
Aku memberengut. Masalahnya, Lana tidak mengerti bahwa di hidupku, mereka yang dianggap Lana fiktif dan tidak penting itu nyatanya sangatlah penting.
For me, it just side effect of reading.
Bukan salahku jika aku terlalu larut dalam sebuah bacaan sampai-sampai menganggap mereka itu nyata dan benar-benar ada. Dan aku merasa berkewajiban untuk ikut bahagia atau sedih untuk mereka.
Dan aku merasa sah-sah aja kenapa sekarang aku menangisi Gus. Dia sangat baik, manis, perhatian. Dan demi Eru Iluvatar, he just seventeen years old. Kenapa dia harus meninggal di usia semuda itu?
Tapi Lana tidak mengerti. Tidak ada yang bisa mengerti.
“For twenty something girl like you, you have to have a real life.”
Real life? Bagiku, hidupku ini sah-sah aja. Aku hanya tidak menemukan orang lain yang punya pemikiran sama denganku.
Oh, mungkin belum.
**
Terakhir kali aku pacaran itu tahun lalu. Namanya Tito. Hubungan kami awalnya berjalan lancar, tapi hanya bertahan enam bulan. Kami putus karena ketidaksamaan pandangan.
Tepatnya, aku diputuskan.
Alasannya? Tito menganggapku gila.
Masalahnya, waktu itu aku menelepon Tito tengah malam hanya untuk mencari teman bicara yang mampu meredakan kesedihanku setelah episode Red Wedding di Game of Throne season tiga yang sangat menyesakkan itu. Aku hanya butuh teman untuk mendengarkan kesedihanku akibat kematian Robb Stark. Aku hanya butuh orang yang setuju bahwa Robb tidak seharusnya meninggal dengan cara mengenaskan seperti itu. Aku hanya butuh orang untuk berdiskusi tolol tentang bagaimana kemungkinan reuni keluarga Stark nanti.
Namun yang kudengar hanyalah dengkuran Tito setelah aku berbusa-busa bercerita.
Besoknya, aku menemui Tito dengan mata bengkak.
Jangankan mendapat penghiburan, Tito malah memutuskanku.
“Aku enggak tahan sama kamu. I mean, you’re living in fantasy world and I’m living in a real world. For God sake, I don’t know who is Robb Stark, Lord Bolton, Hobbit, Sherlock, Etienne St. Clair and whoever they are. Demi Tuhan, Tias, aku enggak bisa punya pacar yang enggak siang enggak malam selalu bercerita tentang tokoh fiktif seolah-olah mereka itu nyata. Aku enggak bisa punya pacar yang childish seperti kamu, enggak bisa berpikir rasional. Aku mau kita putus.”
Rasa-rasanya, pagi itu Lord Bolton ikut menikamkan pisau ke dadaku diiringi lagu Rain of Castamere.
Begitulah, tanpa mendengarkan penjelasanku, Tito pergi. Begitu saja. seperti mantan-mantan pacarku yang lain. Yang juga meninggalkanku dengan alasan yang sama.
**
Aku benci Kugy. For Lord of Light, bagaimana bisa dia menemukan Keenan, cowok sempurna yang bisa menerima semua kegilaannya? Nyatanya, dalam kehidupan nyata Keenan itu tidak akan pernah ada. Never.
Yang ada hanya cowok seperti Ojos. Seperti Tito. Seperti mantan pacarku lainnya.
Aku mengomel panjang lebar meski aku membaca buku itu bertahun-tahun lalu. Patah hati karena Tito kembali memunculkan rasa iri itu.
I hate Kugy. I really really really hate her.
“Gue cuma mau cowok kayak Keenan, Na. Atau setengahnya aja boleh, deh. Gue cuma mau cowok yang enggak menganggap gue gila karena side effect of reading ini.”
Lana menatapku dengan wajah serius. Bukan sekali ini aku mengungkapkan keinginanku itu. Nyatanya, sampai sekarang aku selalu bertemu cowok tipikal seperti Ojos atau Tito. Tidak ada yang seperti Keenan.
“Gue enggak muluk-muluk, kok. Gue cuma mau cowok kayak Keenan yang enggak menganggap Kugy aneh, atau cowok kayak Etienne St. Clair yang mau nemenin gue baca seperti dia nemenin Anna nonton padahal selama dua jam dia dicuekin sama Anna karena Anna fokus nonton untuk membuat reviewnya nanti. Atau Cricket Bell yang enggak pernah menganggap Lola aneh meski gaya fashion dia sangat absurd dan dia enggak bisa keluar rumah tanpa wig. Atau kayak Gus, yang mau dengerin Hazel cerita di telepon tentang buku AIA favoritnya, juga obsesi dia sama Peter van Hoten. Gue cuma mau cowok yang nerima gue apa adanya gue meski mungkin gue emang gila.” Aku menghela napas panjang setelah mengeluarkan semua uneg-unegku. Aku enggak berharap yang terlalu muluk, kan? Intinya, aku hanya mau pendampingku nanti menerima yang seperti ini.
“Mungkin lo harus introspeksi diri.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Maksud gue, coba deh, lo sedikit aja mengurangi kebiasaan lo itu. Jujur nih ya, gue rasa lo udah kelewatan. Tito’s right. We live in a real world, Tias.”
Dan Lana pun mulai menganggapku gila.
“Coba, deh, dikurangi.”
**
Aku mengikuti saran Lana.
Malam ini, aku ada janji makan malam dengan Robyn. Aku sengaja meninggalkan buku Perfect Chemistry yang kubaca di meja kantor. Padahal sebenarnya aku tidak mau meninggalkan buku itu. Aku penasaran dengan akhir kisah Alex dan Brittany. Aku sudah tidak sabar menunggu apakah akhirnya Alex rela keluar dari Latino Blood demi memperjuangkan cintanya pada Brittany?
Fuck you, Brittany. Aku cemburu padanya karena dicintai Alex. Sedangkan aku mencintai Alex.
Oh lupakan. Aku buru-buru menepikan pikiran itu di benakku ketika melihat sosok Robyn muncul di pintu Sushi Tei. Sudah tiga bulan ini aku dekat dengan Robyn, berawal dari pertemuan yang tidak disengaja ketika aku datang meliput acara yang digagas kantornya. Sejak saat itu, Robyn sering datang ke kantorku, sekadar mengajak makan siang bareng atau mengantarku pulang.
Robyn sangat pengertian, dengan caranya sendiri, mengingatkanku kepada perhatian yang diberikan Gus kepada Hazel. Atau Etienne kepada Anna. Atau Cricket kepada Lola.
“Hai.”
Aku membalas sapaan Robyn dengan sebaris senyuman. He’s soooo handsome. Dia melipat lengan kemejanya hingga siku dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Dia tidak serapi ketika mengajakku makan siang atau mampir ke kantorku pagi-pagi. Mungkin karena dia merasa letih setelah bekerja seharian. Tapi aku suka penampilannya yang berantakan ini. Berantakan tapi seksi. Mengingatkanku kepada tokoh-tokoh rekaan Julia James dan Rachel Gibson.
“Aku pesenin tamago maki kesukaan kamu,” seruku sambil menyodorkan piring itu ke hadapannya.
“Thank you.”
Sepertinya hubunganku dengan Robyn berjalan lancar.
Tapi, ada yang mengganjal pikiranku. Aku tidak sepenuhnya menjadi diriku sendiri ketika bersama Robyn. Aku memang mencoba saran Lana, untuk meminggirkan tokoh-tokoh fiktif yang membuatku selama ini ditinggalkan pacarku. Sejauh ini semua berjalan lancar. Kami bercerita tentang apa saja, dan aku hanya menyentuh hal-hal umum,
Di situlah letak kesalahan yang kurasakan. Aku tidak memperlihatkan diriku yang sebenarnya. Bisa saja Robyn menyukaiku karena apa yang kucitrakan sekarang, tapi tidak dengan diriku sebenarnya.
Dan aku tidak tahu apakah Robyn tipikal Ojos atau Keenan.
Meski aku berharap dia adalah jelmaan Keenan di kehidupan nyata.
“Aku mau mampir ke Kinokuniya dulu. Enggak apa-apa, kan?”
Mataku membola mendengar ajakan itu ketika kami melangkah keluar dari Sushi Tei. I love Kinokuniya. Juga Aksara. Periplus. Gramedia. Bookdepository.com, dan semua hal berlabel toko buku. Aku seperti orang sakau setiap kali mengunjungi mereka, dan mereka seperti geng Latino Blood yang punya banyak jenis drugs untuk mengobati sakauku.
Aku membiarkan Robyn berlalu ke deretan majalah sementara aku terpaku di depan rak New Release.
“The Longest Ride,” seruku saat melihat buku terbaru Nicholas Sparks. I love him. Aku sudah tidak sabar mencari tahu kisah romantis apa lagi yang dihadirkannya. Oh, malam ini aku harus membeli tisu karena Mr. Sparks yang terhormat ini tidak pernah membiarkanku lepas dari ceritanya tanpa air mata.
Aku berbelok ke rak lain dan memekik kegirangan.
“Tias, are you okay?” Tiba-tiba saja Robyn sudah berdiri di sampingku.
Aku masih melompat kegirangan seperti anak kecil kebanyakan makan gula. Dengan senyum terkembang lebar, aku menyambar sebuah buku tebal dengan kover perempuan mengenakan topeng. Days of Blood and Starlight.
“Akiva. I found him.”
“Akiva?” Robyn menatapku aneh.
Aku memperlihatkan buku itu di hadapan Robyn. “Hampir satu tahun aku menunggu Akiva. Aku udah enggak sabar menunggu apa yang terjadi di Eretz. Dan, oh…” aku terpana saat mataku menatap ke buku lain. “Fangirl. Oh my God, I can’t breathe.” Aku menyambar buku lain dan mendekapnya di dada bersamaan Days of Blood and Starlight.
“Tias, kamu kenapa, sih?”
“Levi dan Akiva. Aku sudah pernah mengenal Akiva tahun lalu, tapi aku baru kenal Levi dari cerita orang-orang. Katanya, dia jauh lebih charming dibanding Etienne. Oh my Etienne. Aku penasaran, benar enggak Levi ini lebih charming dari Etienne.”
Robyn menatap ke sekeliling. “Siapa yang lagi kamu omongin, sih?”
“Akiva, seraphim di buku ini.” aku menunjuk Days of Blood and Starlight. “Levi itu cowok di buku ini,” aku menunjuk Fangirl. “Etienne itu cowok di buku Anna and the French Kiss.
Robyn menatapku seolah-olah aku ini alien yang nyasar ke bumi. “Jadi, dari tadi kamu kegirangan seperti ini karena tokoh fiktif?”
Aku mengangguk.
Upss… sepertinya sandiwaraku sudah terbongkar. Bukan salahku. Aku memang tidak sabar bertemu Akiva dan Levi.
“Kamu aneh.”
Begitu saja. setelah melemparkan tatapan tidak percaya, Robyn berlalu meninggalkanku.
And I realize one thing. He is the next Ojos.

Dan aku terdiam di tempatku. Memegang tiga buku favoritku. Still dreaming of my Keenan.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

  1. hihihi. ceritanya lucuuu :D
    Iya bener banget tuh. Aku juga sering dianggap aneh sama teman-teman gara-gara cekikikan atau mewek pas lagi baca buku. Pas diceritain alasannya, eh langsung pasang tampang bete. Padahal kan kita pengin juga cerita tentang betapa serunya cerita yg kita baca orang lain. Tp yg ada mereka malah anggap kita aneh. Sedih sih ya.

    ReplyDelete

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig