The Ocean At The End Of The Lane
(Samudra di Ujung Jalan Setapak)
Neil Gaiman
Samudra di Ujung Jalan Setapak
adalah fabel yang membentuk ulang kisah fantasi modern; menggugah, menakutkan,
dan puitis—semurni mimpi, segetas saya kupu-kupu, dari pencerita genius, Neil
Gaiman.
Kisahnya dimulai empat puluh
tahun silam, ketika pemondok di rumah keluarga sang pencerita mencuri mobil
mereka dan bunuh diri di dalamnya. Peristiwa ini membangkitkan
kekuatan-kekuatan purba yang seharusnya dibiarkan tak terusik. Makhluk-makhluk
gelap dari dunia kini lepas, dan sang Pencerita harus mengerahkan segala daya
upayanya agar bisa bertahan hidup: ada kengerian yang nyata di sini dan kuasa
jahat yang terlepas—di dalam keluarganya dan dari kekuatan-kekuatan yang
bersatu untuk menghancurkannya.
Yang bisa melindunginya hanyalah
tiga perempuan yang tinggal di pertanian di ujung jalan. Perempuan yang paling
muda menyatakan kolam bebeknya adalah samudra. Perempuan yang paling tua
mengaku pernah menyaksikan peristiwa Ledakan Besar.
Jadi, ceritanya sendiri dimulai dari kedatangan seorang pemuda
yang kabur dari pemakaman dan tiba-tiba menyetir ke rumah lamanya. Dia ingat di
ujung jalan itu ada sebuah rumah pertanian dan kolam bebek. Ketika merenung di
sana, potongan demi potongan masa kecilnya muncul memenuhi benaknya.
Si Aku anak yang enggak punya teman kecuali buku-bukunya. Dia udah
cukup senang bisa berteman dengan banyak buku dan membiarkan imajinasinya
tumbuh seiring buku apa yang dibacanya. Lalu suatu hari mobilnya dicuri oleh si
Penambang Opal yang bunuh diri di dalamnya. Lalu si Aku berkenalan dengan
Lettie Hempstock yang punya rumah pertanian. Kata Lettie, kolam bebeknya itu
samudra. Lalu, dimulailah petualangan si Aku di tanah pertanian keluarga
Hemsptock. Petualangan yang membawanya harus berhadapan dengan monster jahat
berupa kain kumal yang mengambil sosok wanita cantik bernama Ursula Monkton dan
para pembersih yang ingin memakannya. Beruntung ada Lettie, ibunya, dan
neneknya yang menolong si Aku. Hingga Lettie akhirnya terpaksa mengorbankan
dirinya dan kembali ke samudranya.
Oke, ini pengalaman pertama gue baca buku Neil Gaiman meski
namanya udah enggak asing buat gue. Waktu kuliah, gue pernah coba-coba baca
Anansi Boys karena sesuatu dan lain hal tapi enggak selesai karena gue keburu
ngernyitin kening enggak ngerti sama cerita beliau. Setelah itu, gue enggak mau
coba-coba lagi. Toh, alasan yang membuat gue coba-coba baca Anansi Boys dulu
udah enggak berpengaruh lagi buat gue sekarang, hehehe.
Akhirnya gue baca buku ini sebagai suatu keharusan. Buku kedua
yang dibaca oleh Reight Book Club. Pilihannya Adit. Seneng, sih, gue karena
kalau bukan karena event ini mungkin
gue enggak bakal baca buku Neil Gaiman dan enggak pernah tahu seperti apa gaya
menulis beliau.
Soal cerita sendiri, well,
ini bukan jenis fantasi kesukaan gue. Fabel memang bukan my cup of tea sejak dulu, apalagi fantasi yang menurut kata gue,
absurd—gue enggak tahu istilah yang tepat apa. Tapi gue bertahan baca karena
cara nulisnya enak banget. Memang, sih, terjemahan, tapi itu udah cukup bikin
gue menikmati buku ini. Gaya penceritaannya detail dan engaging, sampai-sampai gue benar-benar bisa ngerasain lagi ada di
tanah pertanian di West Sussex, hehehe.
Meski buku ini ditujukan buat anak-anak, menurut gue banyak adegan
disturbing yang enggak pantes buat
anak-anak. Terlalu gloomy.
Tapi, gue setuju banget sama isi ceritanya. Tentang seorang dewasa
yang mengingat masa kecilnya dan imajinasi-imajinasi yang dimilikinya dulu. Tentang
enggak masalah, kok, orang dewasa punya imajinasi dan fearless seperti anak-anak. Hal yang sempat menampar gue karena
setelah membaca buku ini gue jadi inget masa kecil gue dan keingintahuan gue
dulu yang seringkali menjerumuskan gue ke hal yang enggak enak tapi malah
enggak bikin gue kapok. Gue mungkin memang enggak se-fearless si Aku, tapi sempat terseret air sungai cuma gara-gara gue
pengin tahu selicin apa batu yang gue injek gue rasa cukup untuk bilang kalau
dulu gue ternyata gue berani. And when I look
at myself now, I have a question, ke mana larinya anak kecil yang berani
dulu? Jujur diakui gue enggak lagi fearless
kayak dulu. Cuma imajinasi gue aja yang makin berkembang.
Si Aku berpendapat kalau dia bercerita, orang dewasa enggak akan
percaya. Gue ngerasa yang sama. Kalau gue bercerita tentang imajinasi gue,
tentang gue ang percaya bahwa somewhere
in this world adaportal menuju Middle Earth atau Westeros atau Narnia atau
makhluk-makhluk aneh atau mungkin sebatas peron 13 di stasiun King’s Cross
London, enggak akan ada yang percaya. Sisi kanak-kanak yang ternyata masih
mendominasi gue dan ketika berhadapan dengan orang dewasa hanya bikin gue
dicibir aneh.
Back to this book. Gue suka cara menulisnya. Itu poin
utama yang gue suka banget dari buku ini. kedua pesannya. Ceritanya sendiri
menggugah, but not my type. Yang penting
gue udah mencoba mengenal Neil Gaiman.
Tokoh si Aku yang penyuka buku juga gue suka. Inget waktu kecil
sampai sekarang gue lebih banyak berteman sama buku, hehe. Gue jadi inget buku
fantasi pertama yang gue baca, The Secret
of Platform 13 dari Eva Ibbotson. Gue jadi kangen baca buku Eva Ibbotson,
hehe.
General Discussion Questions
1.
First
Impression
Gue suka kovernya tapi gue enggak
suka tulisan judulnya. Bikin bingung bacanya gimana, hehehe.
2.
How did you
experience the book?
Udah gue jelasin di atas. Gue enggak
suka-suka banget sama ceritanya tapi gue suka gaya nulisnya. Dan, ya, selama
baca, potongan fragmen masa kecil gue sesekali muncul di ingatan gue.
3.
Characters
Cerita diambil dari tokoh Aku
yang sepanjang cerita cuma sekali disebut namanya, George. Dia anak yang polos
dan apa adanya. Seharusnya, seorang anak tujuh tahun seperti George ini.Gue
suka Lettie. Gue suka keluarga Hemsptock. Kickass
lady, haha. Keluarga misterius yang bikin penasaran. Gue benci Ursula dan
gue benci ayah Geroge yang dipengaruhi Ursula. Gue sebel sama adik George yang
tipikal spoiled little brat. Gedenya
pasti gengges.
4.
Plot
Mengambil alur maju mundur tapi
enggak ngebingungin. Gue suka dan menikmatinya.
5.
POV
Menggunakan PoV orang pertama
yaitu George. Sukses bikin pembaca merasa dekat dengan isi cerita ini.
6.
Main idea/theme
Tentang masa kanak-kanak,
imajinasi, dan kenangan. Keluarga juga nyerempet dikit.
7.
Quotes
Gue enggak terlalu nandain, sih, quote mana aja yang bagus tapi seinget
gue banyak. Yang paling gue suka paragraf ini:
“Orang-orang dewasa mengikuti jalan yang sudah
ada. Anak-anak menjelajah. Orang dewasa puas menempuh jalur yang itu-itu saja,
ratusan kali, atau ribuan; barangkali orang dewasa tidak pernah terpikir untuk
menyimpang dari jalan yang telah ada, menyelusup ke bawah semak-semak
rhododendron, mencari celah-celah di sela pagar.” hal. 85
Nyindir
banget enggak, sih?
8.
Ending
Cukup memuaskan. I love it.
9.
Questions
Kalau ada makna tersirat dalam
cerita ini, maka gue enggak bisa menangkapnya sedikitpun hehe.
10.
Benefits
Bikin gue sadar kalau bukan cuma
Cosmo yang punya slogan fearless. Sesungguhnya
fearless sejati adalah anak-anak, haha. Dan sebagai orang dewasa, enggak ada
salahnya untuk mempertahankan sisi kanak-kanak ini.
0 Comments:
Post a Comment