All You Can Eat
Christian Simamora
Sarah patah hati karena kejujuran pacarnya Rifat yang enggak
sengaja selingkuh sama instruktur yoga mereka. Sarah yang butuh suasana baru
untuk meredakan patah hati sekaligus nyelesaiin skenario film yang tengah
digarapnya memutuskan liburan ke Ubud. Dan menginap di villa Vimana kepunyaan
sahabatnya, Anye.
Tanpa disengaja, Sarah bertemu Jandro di sana. Dalam keadaan yang
enggak mengenakkan. Jandro ini adiknya Anye, yang mengambil cuti karena ingin
meredakan patah hati setelah memutuskan pacarnya, Nuna, yang lebih memilih
tunangan yang dijodohkan orangtuanya.
Dua orang patah hati bertemu di Ubud. Masalahnya, Sarah ini cinta
pertama Jandro waktu SMP.
Dan kata orang cinta pertama enggak pernah mati.
Bisa dibilang tema utamanya adalah cinta lama bersemi kembali. Bedanya,
kali ini ditambah bumbu si cewek lebih tua.
Buat penyuka novel, nama besar Christian Simamora sudah jadi
jaminanlah ya. Penulis sekaligus editor kece yang bukunya selalu
ditunggu-tunggu. Ketika teaser AYCE
muncul, gue udah penasaran karena embel-embel si cewek lebih tua. I think, finally there is a story about a
cougar from Indonesia. Ternyata, bedanya cuma tujuh tahun. Dan cowoknya
udah berusia 20an awal. Meh, buyar sudah bayangan nemuin cerita cougar slash panas ala bang Chris ini.
Forget it, kita fokus ke cerita aja,
hehehe.
Gue udah suka sama tulisan bang Chris sejak Pillow Talk. Heck, I love it so much. Saking sukanya
cerita Emi dan Jo masih nempel di otak gue. Sayangnya, cerita Jethro dan
si-cewek-yang-gue-lupa-namanya-tapi-gengges-abis di Good Fight enggak senendang
Pillow Talk buat gue. I love Emi and Jo.
Dan, ketika tahu ada AYCE, gue berharap ceritanya bakal senendang Pillow Talk.
Meski better than Good Fight, I prefer Pillow Talk. Bahasanya,
sih, masih sama. Lugas dan lucu. Tapi, ceritanya terlalu bertele-tele menurut
gue. Dan karakternya, alias Sarah, enggak se-lovable Emi, dan Jandro masih kurang seksi dibanding Jo meski si
Jandro ini pengusaha sukses dan Jo masih sebatas cungpret.
Yang bikin gue penasaran banget tentu saja soal umur. Dan ketika
gue menemukan cuma tujuh tahun, gue jadi enggak semangat lagi. I want a couple like Demi and Ashton or
Mariah and Nick or Jennifer and Casper or simply like Rafi and Yuni. Tapi,
cuma tujuh tahun. Menurut gue tujuh tahun, di masa sekarang, bukanlah perbedaan
yang bisa bikin cewek yang katanya modern banget kayak Sarah jadi kelimpungan
banget begitu. Coba lebih jauh lagi, dijamin akan lebih seru dan konfliknya
lebih mantap.
Lagipula, gue enggak nemuin karakter Sarah ini kayak cewek 30an. Lebih
terasa kayak middle twenties. Kekanak-kanakan banget menurut gue.
Dan Jandro. Oke, ini, sih, simply
subjektif. Buat gue cowok yang sukses dengan usahanya sendiri jauh lebih keren
ketimbang kaya karena warisan. Dan Jandro kaya, simply because, dia anak orang kaya. Memang, sih, dibilang dia punya
ide bagus dan berusaha keras untuk sampai di posisi itu, tapi tetap aja enggak
bisa mengubah pola pandang gue terhadap sukses-karena-warisan. My bad, hehehe. Oh, Jandro juga TGTBT which is, sebagai cewek yang baru aja
menasbihkan diri sebagai pengikut Niki Lauda yang realistis banget itu, gue
enggak suka lagi sama a-so-called-fairytale,
dan cowok TGTBT adanya di fairy tale. I need
someone real. Like Jo.
Nuna. Justru karakter ini yang menarik perhatian gue. Cewek manja slash bitchy yang punya kekuatan
tersendiri untuk terlihat keren. Meski porsinya enggak banyak, tapi
kehadirannya nempel banget di otak gue. Kalau boleh request, sih, gue mau porsi
Nuna diperbanyak hehehe.
Satu pertanyaan penting gue: sesuatu yang tiba-tiba. Tiba-tiba
eyangnya Jandro meninggal dan mereka pulang ke Jakarta dan ketemu eyang yang
lain dan ternyata si eyang punya laki brondong. Dang!!! Membuka mata Sarah
kalau hubungannya enggak akan berhasil. Memang, sih, cerita si eyang jadi titik
balik sikap Sarah dan membuat dia mikirin lagi hubungannya dengan Jandro. Tapi kehadirannya
yang tiba-tiba dan enggak ada tanda-tanda sebelumnya bikin gue ngerasa ada yang
ngeganjel aja.
Overall, buku ini cukup menghibur—minus adegan
panas yang enggak sepanas Good Fight—tapi hanya sebatas menghibur aja. Bagi gue
pribadi, this is not Christian Simamora’s
masterpiece. Simply because I love Pillow Talk most. But, I can’t wait for
another J boyfriend, Bang.
0 Comments:
Post a Comment