Perjalanan Tiga Tahun
Tahun 2013
bisa dibilang sebagai tahun-paling-produktif seorang iif. Selain pindah kerja
ke tempat yang lebih bagus, tahun itu aku berhasil menyelesaikan tiga naskah
novel. TIGA. Jelas, itu sebuah pencapaian yang luar biasa.
Ketiga
naskah itu aku ikutkan lomba. Satu dari penerbit Qanita dan hanya berhasil
masuk 20 besar. Satu lagi di Bukune dan Alhamdulillah berhasil jadi juara satu
(meski masih terus menunggu hingga sekarang untuk diterbitkan). Ketiga, Bentang
Pustaka, dan enggak berhasil menang.
Awalnya aku
kira, begitu gagal, ya sudah. Berhenti di situ, tanpa ada kelanjutan apa-apa.
Februari
2014. Ingat banget waktu itu aku lagi ada kerjaan di Abu Dhabi ketika membuka
email dan dapat pemberitahuan kalau naskah yang aku ikut sertakan untuk lomba
akan ditindaklanjuti. Email itu juga menanyakan kesediaanku, apakah aku ingin
menerbitkan novel itu?
Tentu saja
jawabannya mau. Siapa coba yang menolak tawaran dan kesempatan sebagus ini?
Namun
ternyata perjalanannya enggak segampang itu. Setelah aku membalas email itu,
minggu selanjutnya aku dikirimin revisi. Berhubung naskahnya kelarnya sudah
lama sebelum itu, aku jadi lupa ini ceritanya kayak apa. Revisi awal tergolong
lama, karena aku harus baca ulang, memahami lagi isi ceritanya kayak apa, dan
mengembalikan mood agar bisa
melakukan revisi.
Which is, that’s not easy man.
Mengembalikan
mood dan mencerna lagi tulisan itu
terasa sulit. Terlebih, aku ngerasa kalau gaya menulisku udah berubah. Ditambah
lagi naskah ini berangkat dari sudut pandang orang ketiga dan ketika revisi
(bahkan sampai sekarang) aku enjoy
menulis dari sudut pandang orang pertama—my
bad.
Perjalanan enggak
berhenti sampai di sana. Berbulan-bulan aku menunggu kabar yang enggak kunjung
datang (oh ya, sebelumnya aku sudah tanda tangan surat kontrak penerbitan) sampai
akhirnya lupa sama sekali. Lalu, tiba-tiba, suatu hari, aku menerima email
kalau editor yang memegang naskahku dipindahkan ke bagian lain, dan naskah yang
sebelumnya dia pegang, dialihkan ke editor lain. Okelah, aku siap untuk bekerja
dengan editor baru.
Butuh waktu
berbulan-bulan lagi hingga akhirnya editor baru ini—sebut saja mbak D—menghubungiku
dan kita balik lagi ke awal. Ini pengalaman pertamaku bekerja dengan penerbit
ini, jadi aku masih harus mengira-ngira seperti apa sistem yang berlaku di
sini. Begitu juga dengan bekerja bersama Mbak D ini, istilahnya masih PDKT lah.
Kita mengobrol lagi dari awal, membahas ceritanya kayak apa, which is… aku udah lupa lagi, he-he-he.
Untung mbak D orangnya sabar dan menghadapiku yang lupaan.
Akhirnya,
aku kembali membaca naskah ini dan mengeditnya. Semua terasa kembali ke awal.
Lagi-lagi, menyamakan gaya menulis dan tone
cerita dengan naskah yang sudah ada susah banget karena sekarang gaya menulisku
sama sekali berbeda dengan ketika aku menulis naskah ini. Sekali lagi, untung
Mbak D editor yang kece sehingga masukannya ngebantu banget.
Awal 2016,
aku seperti mendapatkan titik terang ketika Mbak D dan aku membahas soal beberapa
kemungkinan judul. Juga ketika mbak D memberikan revisi terakhir—katanya sih terakhir,
moga-moga benar, ya. Aku jadi makin optimis ketika mbak D dan editor satunya
lagi memberikan kesan positif tentang naskah ini.
Aku jadi
enggak sabar melihat naskah ini berubah wujud jadi buku.
Aku belum
mendapat tanggal terbit, tapi perjalanan super panjang ini membuatku optimis kalau
hasilnya—Insya Allah—bisa memuaskan. Aku percaya, enggak ada yang namanya
sia-sia jika dalam perjalanannya kita serius dan benar-benar menuangkan
perhatian di dalamnya. Meski aku lupaan, ketika menyelami kembali ceritanya,
berkenalan lagi dengan tokoh-tokohnya, aku jatuh cinta lagi dengan cerita ini.
Saat ini,
aku belum bisa memberitahu ceritanya tentang apa dan diterbitkan di mana. Namun,
aku cuma ingin sharing tentang proses
di belakang layar yang—menurutku—penuh liku. Tsaaahhh…
Namun, ini
juga seperti tamparan buatku. Setelah bertahun-tahun, kapan aku bisa
seproduktif tahun 2013 ini lagi?
Artikel Bagus !
ReplyDeleteFurniture Rotan Sintetis