Hong
Kong & Once In A Lifetime Experience
Pt4: The Real Benedict Cumberbatch,
Muncrat & Hello Smaug
(Baca part 1 di sini, 2 di sini, dan 3 di sini)
Gue
lupa kapan terakhir kali gue bangun dengan senyum super lebar. Pagi itu, Kamis,
13 Oktber 2016, gue bangun dengan senyum super lebar. Ketika membuka gorden
jendela dan menatap gedung-gedung tinggi di luar sana, gue tersenyum dan
ngomong sama bayangan gue di jendela. “This
is the day. Now or never.”
When I put on my shoes, I know
that I will rock this day. Gue punya filosofi soal sepatu. Sepatu bagus dan nyaman akan
bikin lo yakin bisa mengatasi apapun hari ini. Gue percaya sama sepatu gue,
makanya gue bisa merasa sedikit tenang. Ditambah dengan coat kesayangan, gue makin yakin aja, deh.
Dari
hotel tempat gue menginap ke ballroom Ritz Carlton itu hanya jalan kaki
melewati Element, salah satu shopping
mall di Hong Kong. Ada banyak media yang ikut, berasal dari Asia Pasifik.
Ketika registrasi di lokasi acara press
conference, lebih banyak lagi yang datang karena media Hong Kong juga pada
berdatangan. Karena itu, begitu selesai registrasi, gue langsung stand by depan pintu, nomor dua dari
depan. Sehingga begitu pintu dibuka, bisa langsung melesat masuk ke dalam.
Awalnya
gue pikir cuma gue aja yang tergesa-gesa masuk lokasi press conference. Secara untuk acara gede kayak gini, udah kebiasa
di Indonesia kayak gini. Tahunya media lain juga kayak gitu. Naluri pantang
kalah gue tertantang sehingga refleks lari ngikutin yang lain. Lucunya lagi,
media luar sana juga main take tempat
pakai tas buat temannya. Jadilah, gue dan beberapa teman dari media Indonesia
juga ikutan main take tempat.
Gue
duduk di row ketiga (row pertama reserved) dan nomor dua dari tengah. Posisi gue tepat satu garis
lurus dari Ben nantinya. Jaraknya sekitar lima meter. Gila, enggak pernah
kebayang sama gue bisa berada sedekat ini sama Ben.
Bukan
cuma gue yang heboh. Adit dan Nyit juga ikutan heboh. Thanks guys udah mau berbagi beban gue. Kakak Lescha juga. Menyemangati
dari nun jauh di sana.
Sekitar
jam 10-an, salah satu orang media yang duduk depan gue baru aja dari toilet dan
bilang ke temennya kalau Ben udah ada di luar. Waktu itu gue lagi tes foto dan
hasilnya… blur semua saking enggak bisa fokusnya. Denger Ben udah di luar aja
gue segini gugupnya, gimana kalau dia udah dateng?
Dan
benar aja, begitu host membuka acara,
dan memanggil satu-satu narasumber (selain Bang Ben juga ada Tilda Swinton—my White
Witch—Scott Derrickson si sutradara dan Kevin Feige si produser). Nama Ben
dipanggil terakhir, secara doi kan man of
the match. Ketika dia muncul, gue menjerit dalam hati. Rasanya tuh kayak
melihat malaikat jatuh ke bumi (lebay). Dia biasa aja padahal—celana jins
gelap, kaos putih, jaket biru tua dan sneakers
hitam. Tapi dia kelihatan luar biasa. Mata gue sampai enggak bisa lepas dari
dia, dan enggak mau juga, sih. Satu hal yang gue sesali sebenernya potongan
rambutnya, terlalu rapi. Aku kan sukanya kalau dia agak berantakan. Kalau rapi
kayak John Harrison pun tak papa. Atau dengan highlight uban kayak rambut Steven Strange, lebih oke lagi. Namun,
hal ini enggak menghalangi gue buat fangirling
(tapi tertahan).
Sepanjang
preskon, gue susah konsentrasi. Antara sibuk foto, ngevideoin, dan puas-puasin mata
buat ngelihat dia (plus Tante Tilda). Rasanya waktu berjalan cepat banget.
Tahu-tahu udahan aja dan sesi foto. Emang dasar wartawan ya, geraknya cepat
banget. Belum juga mereka keluar dari stage,
eh udah pada pasang tempat aja di depan. Untung gue bisa nyelip di antara dua cameramen
berbadan gede, and thanks to my shoes
jadi gue enggak terhalangi oleh kepala mereka (gue tahu gue pendek, makanya
selalu mengandalkan high heels buat
hal-hal kayak gini).
Begitu
selesai foto, kita keluar. Waktu lagi nunggu temen ke toilet sebelum makan
siang, gue ngegaje di luar pintu toilet dan deket sama ruangan tadi. Tiba-tiba,
ada angin berdesir dari arah belakang. Saat menoleh, tadaaa… ada Benedict
Cumberbatch di belakang gue. Karena kaget, gue cuma bisa cengo. Ternyata dia
mau ke toilet. Enggak sampai lima menit, dia keluar dari toilet dan gue masih
ngegaje. Kali ini bisa bertatap mata. Gue senyum dan melambaikan tangan,
dibalas dengan senyumannya. Lalu gue nge-Snapchat dia dari belakang karena
kebetulan gue dan tim lain juga mau ke eskalator. Gila, gue jalan pas banget di
belakang dia. Paling enggak sampai sepuluh langkah. Sayang, sebelum videonya
di-upload ada Line masuk dari Adit
dan videonya hilang (toyor Adit) tapi at
least bahagia bisa di belakang Ben saat di eskalator. Uwuwuwuw….
Abis
makan siang, kembali disuruh stand by
di Media Room. Untuk persiapan round
table. Untuk round table ini,
kita dibagi jadi empat kelompok, masing-masing kelompok tujuh orang. Gue
kebagian kelompok tiga. Deg-degan parah nunggu bakalan interview siapa dulu.
Ternyata,
Tilda dan Scott dulu.
Gue
penggemar cerita high fantasy dan
Narnia adalah salah satu kesukaan gue. Ditambah fakta CS Lewis dan JRR Tolkien
itu segeng, gue makin suka. Makanya, ketika ketemu Tilda, gue senang banget.
Dia orangnya ramah. Gue suka cara dia menjawab pertanyaan, tegas, tertata rapi,
dengan nada mendayu-dayu yang menghipnotis. Pokoknya, cocok deh jadi public speaker.
Dan
Tilda ngomong, “I like your question,”
ketika dengerin pertanyaan gue. Saat itu gue nanya there’s something positive that we can learn from The Ancient One.
Saking asyiknya dia menjawab, semua wartawan diam begitu dia selesai ngomong.
Lupa harus ngajuin pertanyaan lain. Untung gue langsung sadar dan manfaatin
momen itu buat nanya ke Scott, he-he.
Selesai
dari Tilda, saatnya Ben. Kirain udah siap hati dan mental, tapi ternyata
enggak. Saat itu gue bertekad, apapun yang terjadi, gue harus ngajuin
pertanyaan, karena media lain begitu dominan. Emang, sih, Ben udah sering
ditanya dan dia enggak bakal ingat siapa aja yang udah nanya ke dia. At least, gue pengin dia dengerin gue
dan jawab pertanyaan gue meski bagi dia itu enggak ada artinya, tapi bagi gue
itu berarti banget. Satu lagi, gue harus duduk deket dia.
Begitu
masuk, Ben udah menunggu di meja. Gue ambil posisi dua kursi dari dia biar puas
mandangin. Lalu Ben ngomong, “could you
sit in front of me? So I could see all of you. Actually, I don’t like round
table because I can’t see all of you.” (Kira-kira begitulah intinya).
Dengan senang hati kita pindah dan gue pas di depan dia. Tangan gue basah
banget saking banyaknya keringat. Jantung gue berdegup kencang. This is the moment that every Cumberbitches
would die for.
Interview dibuka dengan
reporter Malaysia nanyain apa Ben udah jadi makan dimsum yang dijawab Ben
dengan memorinya soal dimsum dan Hong Kong (yang kemudian menginspirasi cerpenini). Pertanyaan kedua dari reporter Filipina. Gue bertekad, abis ini harus
gue. Untung gue diberkahi suara cempreng, kenceng, dan nyebelin, jadi ketika
gue nyebut nama dia, ‘Benedict’ dia langsung lihat ke gue dan reporter lain
suaranya kalah kenceng, nyehehehe.
Satu
menit yang berarti karena tatapan Ben hanya tertuju ke gue. Satu menit yang
enggak bakal gue lupakan. Sambil ngomong, gue terpukau oleh matanya yang bagus
banget, juga hidungnya yang tinggi banget. Dia tipikal pendengar yang baik
karena siapapun yang nanya, ditatap sama dia sambil mengangguk-angguk. Bikin lo
serasa dihargai. Duh, humble banget
sih Bang.
Dan,
ya, dia emang suka ngomong sehingga pertanyaan satu menit bisa dapat jawaban
lebih dari lima menit dengan cerita ke mana-mana dan kadang melenceng ke
mana-mana. Tapi itu bukan masalah (baru jadi masalah ketika bikin transkripnya
buat tulisan. Ngomong panjang dan cepat, juga medok British).
Gue
nanya, “Doctor Strange is about second
chance, when you lost everything that you have. What if in real life you lost
everything, maybe career, health, anything. What would you do?”
Di
tengah menjawab, Ben bilang, “Actually it’s
a cruel question, but it’s fun eventought I never think about that. It’s a
great question I think.”
Demi
Eru, Elbereth, bahkan Melkor sekalian, gue rasanya pengin melayang. Tadi Tilda,
sekarang Benedict (Tilda cuma muji gue, Scott muji pertanyaan Jawa Pos, Ben
muji gue dan si Malaysia. Boleh bangga dong ya #braggingngehe). Gue emang
sengaja ngajuin pertanyaan rada-rada. Ini round
table, ngajuin pertanyaan standar toh pasti ada yang bakal nanya dan info
soal film ini gampang ditemuin di mana-mana. We need something special yang bikin stand out dan nyentuh si narasumber. Buktinya, Bang Ben bilang gue
kejam padahal sebenarnya dia yang kejam. Satu tatapan matanya aja membunuh
banyak hati Cumberbitches.
Lucunya,
saat asyik-asyik ngomong, Bang Ben muncat dan kena hape gue. Dia kaget dan
ngelap hape gue, syok banget. Gue sih cuma bilang ‘it’s okay’ sambil ketawa najong. Ya iyalah enggak apa-apa, kena
muncratannya Bang Ben *sampah banget emang gue*.
Begitu
selesai interview, dia nyalamin satu-satu sambil bilang makasih. This is it, I have to do something.
Jadi, pas salaman (tangannya halus bo. Enggak pernah nyuci nih pasti), gue
bilang, “Hello Smaug.”
Dia
kaget, matanya membola, trus ketawa. “How
did you called me like that?”
“The Hobbit”
“Yeah, Smaug the Dragon.” Trus dia ketawa.
Gue
ngepalin tangan di belakang punggung. Yess, berhasil menyapa anggota terakhir
keluarga gue.
Dan
sebelum keluar, si Malaysia minta foto bareng. Gue ngintil di belakangnya tapi
sayangnya Bang Ben minta maaf enggak bisa karena dilarang. Kecewa sih tapi
enggak apa-apa.
Yang
penting bahagia.
Mission accomplish!!!
0 Comments:
Post a Comment