Drinking Solo, Me Time & Alasan Kenapa Kadang Kita Butuh Makan Atau Minum Sendiri

Leave a Comment
Foto: koreandrama.org

Salah satu drama Korea favorit gue adalah Let’s Eat, drama ringan tapi sedikit menyentil dan kisah tokoh-tokohnya bisa diterima di kehidupan sehari-hari (Let’s Eat 1 dengan original cast karena enggak terlalu dapet feel Let’s Eat 2). Ketika tahu akan dibikin spin off, Let’s Drink atau Drinking Solo atau Drinking Alone (sumpah, ini yang masih belum gue pahami dari drama Korea dengan seabrek-abrek judul) jujur aja gue semangat. Kali ini, kita diajak minum-minum. Terlebih begitu tahu Key akan main di sini, motherly instinct gue langsung keluar (I saw SHINee as my child, he-he-he).Tentu saja, sebagai seorang ibu yang baik, gue akan memonitor Key di sini.
Drinking Solo bercerita tentang kehidupan di Noryangjin. Tentang mereka yang ingin ikut tes CPNS dan belajar di sebuah pusat lembaga belajar. Juga persoalan guru-guru di sana.
Ngomongin soal tokoh-tokohnya, gue lebih suka tokoh pendamping ketimbang tokoh utama. Sepanjang episode, gue menunggu kisah apalagi yang akan dihadapi tokoh pendamping, dan enggak ambil pusing dengan dua tokoh utama Jin Jung Suk dan Park Ha Na. Kisah mereka standar dan udah ketebak endingnya gimana. Terlebih gue enggak suka dengan ekspresi Park Hana, entah pas ketawa atau nangis (later, ini juga yang mengganggu gue ketika menonton ulang Two Weeks—review menyusul). Juga dengan pengulangan yang dilakukan Jin Jung Suk setiap episode soal tiga-aturan-penting-saat-minum yang selalu disebut di setiap episode. Sorry Professor Jin, I have to skip it.

Spotlight for Supporting Role
Foto: imgur.net

Yup, para supporting role inilah yang bikin drama ini menarik. Setiap episode, gue menunggu impersonasi apalagi yang akan dilakukan Professor Min. Dia jadi salah satu bumbu penghangat cerita, dengan segudang bakatnya dalam meniru karakter di drama atau film. He’s super funny, dan kalau lagi impersonasi beneran total, enggak tanggung-tanggung. Hebatnya, dia melakukan ini bukan buat dirinya, melainkan agar muridnya enggak bosan saat dengerin pelajaran di kelas dia. Favorit gue ketika dia meniru Park Hae Young dan ngobrol dengan detektif Lee Jae Han ala-ala lewat walkie talkie yang mirip banget dengan yang dipakai di Signal (paling juga ini property Signal).
Ada satuhal yang menggelitik dari Prof. Min. Kita enggak pernah bisa menebak isi hati seseorang. Di balik pembawaannya yang riang dan sifatnya yang seolah-olah takut sama istri dengan alarm yang selalu bunyi setiap jam sepuluh malam, itu memberikan twist tersendiri. Twist yang enggak disangka-sangka. Dan bikin kita mikir kalau jauh di dalam hatinya, bahkan orang paling ceria sekalipun, menyimpan masalah. Mungkin kita memang butuh untuk menyimpan masalah itu sendiri, se-suck apa pun itu, ketimbang membaginya dengan orang lain—yang mungkin juga mempunyai masalah.

Tiga Sekawan Kesayangan
Foto: dramabean.com

Tokoh pendamping lain yang juga menyita perhatian adalah tiga sekawan Gong Myung, Kim Kibum dan Dong Young. Ini bukan karena gue Shawol trus gue subjektif, tapi Key di sini benar-benar natural. Dengan logat kampungnya yang lucu, Key benar-benar bertransformasi jadi pemuda nanggung pengangguran kebanyakan duit dari kampung. I live for your satoori, Kibum-ah.
Tiga sekawan ini mewakili masalah yang umum dimiliki para pencari kerja. Gong Myung yang baru keluar dari wajib militer dan sejujurnya enggak tahu apa yang ingin dia lakukan. Ketika teman-temannya belajar di Noryangjin untuk jadi pegawai negeri, dia ikutan. Apalagi ibunya juga memaksa dia melakukan sesuatu. Dia sering dipandang useless oleh kakaknya yang sempurna. Padahal, dia hanya enggak tahu apa yang dia inginkan. Bukan hal yang salah, kan, ketika kita masih belum tahu apa sebenarnya yang ingin kita lakukan di dalam hidup di usia 20-an? Meski orang-orang di sekitar kita tahu apa yang dia inginkan, bukan berarti kita juga harus tahu? Life is a process, a big process, am I right?
Kibum mewakili anak-orang-kaya yang manja dan kebanyakan duit dan sering dipandang remeh serta useless. Dari luar, dia memang tipikal happy go lucky guy, yang seolah hidupnya enggak punya masalah. Bahkan, si happy go lucky pun punya masalah, meski mungkin bagi orang lain, masalahnya cetek. Dia mungkin terlihat useless dan kekanak-kanakan, tapi ketika dia menghadapi sesuatu, justru dirinya bisa bersikap dewasa dan menerima kekalahan.
Dong Young menggambarkan anak dari keluarga pas-pasan yang bertekad tahun ini harus lulus dan dapat kerjaan. Biar dia enggak lagi jadi pengangguran dan mengurangi beban keluarga. Gue yakin, banyak yang berada di posisi Dong Young sehingga enggak heran jika kita gampang bersimpati pada sosok ini.
Persahabatan mereka bertiga jadi bumbu menarik di sini. We feel happy and relieved when we know that we have someone to rely on. Meski saling bersaing dan kadang berantem, mereka selalu ada satu sama lain. Mereka saling menguatkan. And I live for their bromance.

Sometimes We Need a Time to Drinking Alone
Foto: yonhap.news.com

Terlepas dari gue yang enggak suka kalimat berulang-ulang yang disampaikan Jin Jung Suk, gue setuju dengan pemikirannya. Kadang, kita butuh waktu untuk makan atau minum sendiri. Bukannya biar kita terlihat pathetic atau menyedihkan. Simply because everyone need their me time. We need our ‘me time’. Karena ketika kita makan sendirian, kita enggak perlu dengerin keluh kesah orang lain yang sebenarnya enggak kita butuhkan. Kita enggak harus dengerin curhatan teman dan bikin kita makin mumet setelah seharian bekerja. Bukannya enggak setia kawan, tapi enggak mungkin juga kan setiap hari harus dengerin keluh kesah orang?
Dengan makan sendiri, kita bisa terhindar dari keharusan berbasa basi. Gue pernah mengalaminya, saat sedang makanrame-rame, at that time I want to be alone. Hal yang manusiawi jika sesekali kita merasa malas berbasa basi dengan orang lain, terpaksa tertawa for the sake of biar orang enggak tersinggung, dengerin cerita orang lain biar enggak dibilang ‘lo enggak pedulian banget sih?’ dan segala tetek bengek basa basi lainnya.
Dengan makan sendiri, kita bisa fokus pada diri kita dan isi pikiran kita.
Sesekali, makan bareng memang menyenangkan. Namun, itu harus diimbangi dengan waktu untuk diri sendiri. Masalahnya, banyak yang menganggap aneh orang yang makan sendiri di suatu café, misalnya. Dulu gue berpikiran kayak gitu. Anti makan sendiri atau nonton sendiri. Sampai akhirnya muncul kesadaran kalau enggak selamanya teman lo available buat lo dan kalau selalu nunggu teman, lo enggak bakal mendapat apa-apa dan cuma buang-buang waktu. Akhirnya gue memberanikan diri buat sendiri. Hasilnya ternyata enggak semengerikan itu.

Seperti kali ini, gue berhasil menyelesaikan tulisanini (dan satu chapter novel) dengan duduk sendirian di Starbucks.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig