Shy
Shy Cat & Sentilan Buat Para Perantau
Selasa,
1 November 2016, gue liputan premier
film Shy Shy Cat. Awalnya penasaran sama film ini karena enggak sengaja lihat trailer-nya waktu nonton Doctor Strange.
Ketika lihat trailer, bisa ditebak kalau
filmnya lucu. Apalagi ini hasil kerjaannya Monti Tiwa dan Aditia Mulya. Gue
rasa dua nama ini cukup jadi jaminan. Pas nonton trailer pun, gue nangkep vibe
yang sama kayak Get Married dan 30 Hari Mencari Cinta (mungkin efek Nirina kali
ya) dan jujur aja, kangen nonton film Indonesia ringan tapi nendang kayak gini.
Jadilah, ketika melihat undangan premier ini di meja, langsung semangat.
Hasilnya
sesuai ekspektasi. Lucunya dapet, dan sukses bikin ketawa sepanjang film. Fedi
Nuril strike again sebagai
cowok-bikin-halu-yang-imam-able. Ya gimana ya, mukanya Fedi itu muka surga,
makanya perannya begini-begini terus. Kalimatnya Fedi di film ini juga sukses
bikin baper maksimal.
“Aku
enggak minta apa-apa dari kamu, Nul. Kalau mau minta itu sama Allah. Dan selama
ini, yang aku minta sama Allah itu cuma kamu.”
Eaaa…
ngacung siapa yang dibikin baper sama Fedi?
Filmnya
menyenangkan dan yang nyantol di gue itu Acha sebagai Jessy Bom. Emang yah,
kalau di setiap cerita soal persahabatan, pastiiii ada aja satu karakter bitchy yang berani dan enggak neko-neko.
That’s why I love Jessy Bom, bintang
film esek-esek, he-he. Karakter Acha favorit kedua di mata gue setelah Test
Pack.
Shy Shy Cat dan Para Perantau
I read somewhere at
Twitter. Lupa
di akun mana, mungkin di salah satu twit yang di-RT mbak Ninit (@ninityunita)
karena gue emang follow mbak Ninit.
Kurang lebih isi twit itu begini, seperti filmnya Monti Tiwa dan Adit, lo
dibikin puas ketawa tapi ketika keluar bioskop dengan rasa puas, ada satu pesan
yang ditangkap. Dan ya, ada satu sentilan yang ngeganjel di hati gue begitu
abis nonton film ini.
Jadi,
ada satu adegan ketika Mira (Nirina) nanya ke Otoy (Fedi), ngapain sih Otoy
balik ke kampungnya di desa Sindang Barang? Dengan kehebatan Otoy dan visi
misinya, dia bisa maju kalau kerja di kota besar, let’s say Bandung or Jakarta. Jawaban Otoy kalau disimpulkan
begini: dia enggak pengin desanya terus tertinggal kayak dulu. Anak-anaknya
putus sekolah kalau enggak harus kerja, ya dipaksa kawin buat nebus utang. Dia enggak
pengin desanya terbelakang, makanya pengin mengembangkan desanya jadi kawasan
agrowisata.
“Kalau
enggak kita, siapa lagi?”
Mira
bersungut-sungut karena disindir. Pasalnya, Mira merantau ke Jakarta demi
mencari pekerjaan karena dia merasa di desanya enggak ada pekerjaan dan masa
depan. Ucapan Otoy menyentil Mira. Dia sayang sama desanya, tapi memutuskan
untuk pergi.
That part makes me to look
at myself.
Gue sama kayak Mira. Pergi dari kampung gue, meski gue sayang sama kampong gue
itu, karena pengin maju. Karena gue enggak bisa melihat masa depan yang cerah
dengan tetap tinggal di sana. Meski seruan ‘baliak ka nagari’ heboh gue dengar,
dan gue sebenarnya pengin balik ke Bukittinggi, tapi impian gue memaksa buat stay di Jakarta. Delapan belas tahun tinggal
di sana, gue tahu seperti apa keadaan di sana. Gue kebayang kalau gue di sana,
kerjaan gue paling di bank atau pegawai negeri.
That’s not me.
Jadi,
cinta gue sama diri sendiri lebih ngalahin cinta gue sama kampung.
Lalu,
ucapannya Otoy, kalau bukan kita siapa lagi? Gue juga menyadari kalau memang
ingin kampung gue maju, gue harusnya memberikan kontribusi di sana. Bikin
supaya maju. Seperti Otoy, bukan kayak Mira.
I know that, tapi gue sadari gue
enggak sehebat itu. Gue pernah punya mimpi itu. Gue pengin membangun sekolah
dan perpustakaan. Gue cuma pengin kerja beberapa tahun doang di Jakarta, trus pulang
buat wujudin mimpi gue itu. Nmun, realita yang gue hadapi sekarang enggak
semanis bayangan ketika gue masih belasan tahun. Dulu, gue punya bayangan
kelewat muluk, mimpi naif remaja belasan tahun dari kota kecil. Seiring bertambahnya
umur, bertambahnya tanggung jawab, gue menyadari kalau mimpi gue terlalu muluk
dan tangan gue enggak bisa menggapai mimpi itu.
Lagi-lagi
cinta gue sama diri sendiri ngalahin cinta sama kampung. Karena gue sadar,
sekeras apapun gue berusaha di sana, gue enggak akan bisa bikin masa depan gue
sesuai keinginan gue.
Ketika
pulang kampung lebaran kemarin, dan ketemu teman-teman seumuran, gue sadari
kehidupan kita beda banget. Kehidupan mereka, itu sama persis kayak apa yang
gue bayangin dulu kalau gue enggak pergi keluar. Ketika melihat itu, gue sama
sekali enggak nyesal udah pergi.
Balik
lagi ke ucapan Otoy. Ini semua adalah pilihan. Otoy yang memilih untuk kembali,
dan Mira yang memilih untuk tetap pegi.
Dan
gue memilih seperti Mira. Tetap pergi, entah kapan akan tergerak untuk kembali.
Namun,
bagaimanapun, gue tetap cinta Bukittinggi.
0 Comments:
Post a Comment