The Story of a Writer and Street
Musician: A Thank You Coffee
(Foto: teacoffeebooks.tumblr.com)
Writer’s block is suck.
Seriously, harus berapa lama lagi
aku duduk bengong di sini sementara kata-kata yang aku harapkan mengisi layar word malah nyangkut entah di mana. Otakku
blank. Benar-benar kosong. Seolah-olah
kurcaci kecil yang selama ini bekerja sebagai penggerak mesin di otak mogok
bekerja. Padahal aku sudah memberikan kopi kesukaannya sebagai bahan bakar,
tetap saja enggak ada ide cemerlang muncul di benakku.
“Lisa,
kenapa tulisannya belum dikirim?”
Pesan
itu sudah kuterima sejak hampir satu jam yang lalu. Tapi kubiarkan tidak
terbaca. Aku tidak mau big boss
memberondongku dengan pesan tagihan.
Semula
kupikir writer’s block cuma mitos. Gaya-gayannya
para penulis aja biar merasa dibutuhin. Aku juga mengutuk orang yang perama
kali bilang kalau lagi deadline, otak
tiba-tiba jadi kreatif. Semuanya enggak terbukti. Bullshit.
Buktinya,
meski sudah terdesak deadline, otakku
sama sekali enggak mendadak jadi kreatif.
Aku
menatap jendela lebar yang ada di depanku. Siapapun di luar sana pasti bisa
melihatku yag sedang bertopang dagu di sini. Beberapa orang yang lewat dan
enggak sengaja menoleh ke coffee shop
ini pasti akan mengerutkan dahi begitu melihat wajah nelangsaku. Mungkin beberapa
di antara mereka akan berkata dalam hati, betapa menyedihkannya aku. Ugh,
seandainya saja mereka bisa membantuku, bukannya tertawa meledek.
Sekali
lagi, kuteguk kopi yang sudah dingin. Semoga akumulasi dingin dan rasa pahit
bisa menyentak kurcaci kecil itu dan memaksanya untuk segera bekerja.
Sambil
menunggu reaksi kopi, aku menatap keadaan di luar. Jalan Cikini lumayan sepi
siang ini, tapi sangat panas. Bahkan aku yang ada di coffee shop yang dilengkapi AC ini aja bisa merasa gerah hanya
dengan melihat keadaan di luar. Pasti aku sudah meleleh seperti es krim kena
panas kalau ada di luar.
Tapi
sepertinya tidak begitu dengan street
musician yang sejak aku datang sudah ada di sana. Keringat sebesar butir
jagung menetes dari keningnya, tapi dia tetap fokus pada gitarnya. Dari sayup-sayup
bunyi gitar dan lirih nyanyiannya yang menyusup masuk ke kedai kopi ini, aku
tidak menenal lagu itu. Satu pun. Entah aku yang terlalu menutup diri sehingga
tidak mengenal lagu baru, atau memang lagu itu dia karang sendiri.
Aku
menajamkan telinga, berusaha mendengar nyanyiannya di sela ratapan Adele yang
mengisi coffee shop. Meski tidak
mengerti gitar, aku berani bilang kalau permainan gitarnya tergolong hebat
untuk sekadar jadi street musician. Namun,
bukan itu yang membuatku akhirnya fokus melihtnya.
Bukan
permainan gitarnya.
Melainkan
ekspresinya.
Dia
tidak melihat ke mana-mana. Hanya menatap ke satu arah. Sambil terus bernyanyi.
Dia bahkan tidak peduli kalau ada orang yang melemparkan duit ke dalam case guitar yang ada di depannya. Atau,
kalau ada jahat yang mengambil duit yang terkumpul di sana, aku yakin, dia
pasti akan tetap bergeming.
Kualihkan
tatapan ke arah dia melihat. Aku sengaja mencondongkan tubuh di atas meja, agar
bisa melihat lebih jauh lagi. Tapi tidak ada yang spesial. Hannya ada
pedestrian yang di beberapa tempat dihias gambar oleh mahasiswa IKJ. Cuma ada
tukang parkir yang sibuk mengipaskan topi untuk mengusir panas. Atau beberapa
orang yang lalu lalang.
Lalu,
apa yang membatnya terpaku ada titik entah apa itu?
Kembali
aku menatap si street musician,
kuperhatikan ekspresinya. Dia terlihat sendu, seperti orang yang tengah
mengharakan sesuatu.
Atau
merindukan sesuatu?
Berkali-kali,
aku menatap sosoknya dan arah tatapannya. Berganti-gantian.
Mungkin
dia tengah menunggu kedatangan seseorang. Beragam skenario bermain di benakku. Cerita
apa yang dimiliki street musician
ini?
Perempuan
yang dicintainya meninggalkannya di jalanan ini. Dia tidak bisa menerima,
sehingga setiap hari, dia akan kembali ke sini, memainkan lagu yang dia yakini
bisa membawa kembali perempuan yang dicintainya.
Atau…
Dia
dan perempuannya berpisah di sini. Mereka janji akan bertemu lagi. Di tempat
ini. Dia menepati janjinya, kembali ke sini. Tapi perempuan yang dicintainya
tidak datang. Dia masih yakin dengan janjinya, sehingga dia tetap di sini. Dengan
gitarnya, berharap perempuan itu kembali menepati janjinya.
Ah… The Man Who Can’t B
Moved says hello to me.
Mungkin
juga cerita lain. Dia sudah menyakiti hati perempuannya. Dia ingin minta maaf,
tapi tidak tahu harus mencari perempuan itu ke mana. Yang dia tahu, tempat in
favorit perempuan itu. Sehingga, dia hanya bisa melantunkan ucapan maafnya
sendiri. Berharap suatu hari si perempuan lewat dan mendengar permintaan
maafnya.
Kurasakan
sesuatu menggelitik otakku,
Ah
sepertinya kurcaci kecil itu sudah berhenti mogok kerja.
Dengan
tersenyum, aku menatap layar laptop. Perlahan, jariku mulai menari di atas keyboard.
Penantian dan Bukti Kesetiaan.
Aku
tidak tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menuangkan ide di otak ke
dalam tulisan. Yang kutahu, begitu aku selesai mengirim tulisan itu dan
mengangkat kepala, si street musician
sudah selesai bekerja dan sibuk membereskan gitarnya. Enggak lama kemudian, dia
masuk ke coffee shop ini. Dia duduk
di meja panjang yang juga kududuki sejak tadi, di dekat pintu masuk. Wajahnya masih
sama, ekspresinya masih terihat menyedihkan.
Begitu
saja, aku memesan secangkir kopi untuknya. Anggap saja ini ucapan terima kasih
dariku. Aku tidak tahu masalah yang menimpanya, tapi yang kutahu, dia sudah
membantuku, meski dia tidak tahu kalau dia cukup berjasa dan menyelamatkan
pekerjaanku hari ini.
Segera
kubereskan laptop dan menyimpannya ke dalam tas. Setelah meneguk sisa kopi
hingga habis, aku bersiap untuk pergi.
Aku
sampai di pintu, bersamaan dengan waitress
mengantarkan kopi untuknya. Dia terlihat kaget. Entah apa yang dibisikkan si waitress, aku tidak bisa mendengarnya. Namun
detik selanjutnya, dia mendongak sehingga kami bertatapan.
Kuberikan
dia sebaris senyum.
“Thank you,” bisikku, dan melanjutkan
langkahku keluar dari coffee shop
ini. Diiringi kerutan dalam di keningnya.
**
NB: Ini postingan pertama di Sunday Story. Yup, ke depannya, setiap Minggu gue bakal ngepost Sunday Story. Sunday Story sendiri berupa cerita singkat yang gue bikin sendiri. Untuk cerita ini, belum diputuskan apakah akan dijadikan seri khusus Sunday Story atau cuma cerita untuk satu episode saja. We'll see. Enjoy Sunday Story.
XOXO
iif
0 Comments:
Post a Comment