Sebelum Rangga dan Cinta dipisahkan oleh bandara,
ada Galih dan Ratna yang dipisahkan oleh stasiun.
Galih dan Ratna, pasangan iconic dari perfilman Indonesia. Mereka muncul di film Gita Cinta
Dari SMA yang tayang tahun 1979 lalu. Karakter ini melekat banget pada sosok
Rano Karno dan Yessy Gusman. Hampir empat puluh tahun berlalu, Galih dan Ratna
muncul kembali. Di era modern, tapi tetap berpegang pada cinta mereka.
Ketika tahu Galih & Ratna akan difilmin lagi,
penasaran dengan interpretasi yang akan dilakukan oleh Lucky Kuswani. Sempat
kepikiran kalau ini kayak film remake
biasa. Untunglah Lucky menghadirkan sesuatu yang baru, tapi tetap membawa
esensi dasar dari Galih dan Ratna itu sendiri.
Di Gita Cinta Dari SMA, konflik Galih dan Ratna
disebabkan oleh ayah Ratna. Sementara Galih dan Ratna versi modern punya
konflik lain. Iya di sini kita enggak akan ketemu dengan konflik beda suku
antara Galih dan Ratna dan perjodohan yang menghalangi mereka buat bersatu. Konflik
antara Galih dan Ratna juga enggak jadi cetek, dengan hadirnya orang ketiga, maybe?
No,
it’s more than that. Passion and dream, we talk about that. Latar
belakang keluarga Galih lebih digali lagi, dan di sanalah dua hal ini terasa
jelas. Juga pada Ratna. Maybe we see
ourself in Ratna. Bertemu orang lain yang tiba-tiba nyadarin kita passion kita di mana dan membuka mata
kita untuk menjalani passion itu. Mungkin
juga kita seperti Ratna, ketika tahu akhirnya ingin menjadi apa, tapi enggak
didukung oleh keluarga. Menurut gue ini masalah yang enggak akan pernah basi,
terutama di masa sekarang. Ketika gap
antara generasi orang tua dan generasi kita masih besar. Apa yang dilihat
orangtua dan apa yang kita lihat terkait masa depan kita itu berbeda banget. Contohnya
Ratna dan Galih yang enggak bisa dipisahkan dengan musik. Sayang, di mata orang
tua mereka, musik enggak bisa ngasih makan.
Ketika premier film ini, ada kalimat Lucky Kuswandi
yang nempel banget di benak gue. “Semoga banyak remaja yang berakhir seperti Ratna,
dan semakin sedikit yang menjadi seperti Galih.” Ratna, yang memperjuangkan
mimpinya. Dan Galih, yang terhalang realita sehingga harus mengubur mimpinya.
I
remember that day, when I asked my mom, like what Galih did.
“Pernah enggak, Bu, sekali aja dalam pikiran ibu terlintas aku itu maunya apa?”
Memang enggak sefrontal Galih, tapi gue pernah mempertanyakan hal yang sama.
“Pernah enggak, Ma, Mama ngelihat apa yang aku
jalanin sekarang dari sudut pandang aku? Mencoba buat paham soal kerjaan yang
aku jalani sekarang?”
First
love does matter. Memang, sih, semua yang pertama itu terasa
spesial. Begitu juga dengan cinta pertama. Meski sudah bertahun-tahun berlalu,
yakin, deh, urusan cinta pertama bakalan selalu teringat. I do remember my first love. My senior in high school, when I watched
him from window or cheer for him when he played basketball. Momen-momen
yang kadang mendatangkan senyum ketika tiba-tiba teringat cinta pertama ini.
Menonton Galih dan Ratna memberi efek cinta
pertama. Terlebih buat kita-kita in mid
20s – almost 30 ini. Cerita cinta anak SMA yang penuh semangat, dengan
hal-hal manis yang dirasakan oleh anak remaja. Sepanjang menonton, gue enggak
henti-hentinya tersenyum. Selain karena Refal yang ganteng banget, juga karena
sepanjang film feel-nya adalah
mengajak kita buat nge-recall kembali
momen-momen cinta pertama dulu.
Film ini berusaha menggabungkan masa lalu dan masa
sekarang. The millennials Galih and Ratna. Unsur masa lalu dimunculkan lewat
Nada Musik dan kaset-kaset lama yang mulai terlupakan. Masa sekarang diwakilkan
oleh tokoh-tokohnya. Kedua masa ini kemudian saling beririsan lewat Galih dan
Ratna. Kaset yang mulai terlupakan tapi dibawa kembali ke permukaan oleh Galih.
Jujur saja, gue suka dengan ide menghadirkan kaset
ini. Bahkan filosofi kaset Galih itu nempel banget di otak gue. Karena hidup
itu seharusnya seperti kaset. Butuh proses untuk sampai ke lagu favorit kita
dan ketika akhirnya sampai di lagu favorit, otomatis kita akan merasa senang
banget. Dalam hidup juga kayak gitu. Butuh proses sampai akhirnya kita bisa
meraih yang selama ini diimpi-impikan dan ketika berhasil, pasti bakalan senang
banget.
Dan Ratna. “Kalau bisa menghindari hal yang enggak
enak, kenapa enggak?”
Dan well,
gue setuju dengan Galih. “Kadang kita butuh ngerasain yang enggak enak dulu
buat tahu enak itu kayak apa.”
Enggak persis banget sih, tapi kurang lebih kayak
gitu.
Dan di sinilah salah satu keunggulan film ini. Story telling yang dihadirkan Lucky
terjalin dari awal hingga akhir, dan kita enggak akan merasa bosan didongengin
oleh Galih dan Ratna.
Kehadiran kaset ini bukan sekadar tempelan. Banyak filosofi
yang dihadirkan dalam kaset. Seakan menampar kita, dengan semua kemudahan yang
kita rasakan saat ini, kadang kita lupa menikmati momen. Dan momen itu ada
hanya untuk satu saat itu saja, seperti kaset yang di-protect dan enggak bisa direkam ulang, momen berharga kadang memang
enggak bisa diulang. Kita cuma bisa memutarnya di kepala dan untuk bisa
memutarnya di kepala, tentu kita harus menikmati momen itu.
Living
in the moment, ini yang kadang mulai kita lupain, termasuk gue. Thanks to Galih for remind me biar gue
mulai benar-benar menikmati momen.
I
know him when Ika Natassa announce who will be Harris Risjad.
Sosok yang selalu jadi pertanyaan semenjak kabar kalau Critical Eleven akan
difilmin. Later that I know kalau dia
yang akan jadi Galih. Well, I know Galih
& Ratna lagi dibikin ulang tapi enggak pernah pay attention sama dia. Dan ketika mulai ngepoin siapa ini si
Harris—dan wajahnya yang tengil emang Harris banget—siap-siap aja, deh,
terjebak pesonanya Refal.
Sebelum menonton Galih & Ratna, sempat
diingetin sama teman. “Semoga dia enggak bikin lo drop ya mbak. Kayak si RK
itu, ganteng sih tapi aktingnya bikin…” Yeah
well, RK si cowok ganteng tapi aktingnya bikin gue pengin berkata-kata…
Anyway,
untunglah Refal enggak bikin gue drop. Ini film pertama doi, dan di beberapa
scene terlihat kalau dia masih struggling sama ekspresinya. But so far oke lah, lumayan meski kadang
ekspresinya masih harus dipertanyakan. Situ lagi mikir apa sedih, mas? He-he. Sekarang
jadi enggak sabar menunggu Mei, karena ketika melihat Refal waktu interview
kemarin, I see Harris in him. Semoga dia
pas memerankan Harris, mengingat Harris
is one of my favorite character.
Bonus
2: Soundtrack-nya Gokil Parah
UNTUK MUSIC DIRECTOR FILM INI, GUE ACUNGIN EMPAT
JEMPOL *dua minjem jempol teman*
Kalau ada bagian yang bikin gue puas banget sama
film ini, itu adalah soundtrack-nya. 10 out of 10 lah. GAC bisa membawakan
Galih & Ratna yang fenomenal itu dengan sentuhan kekinian dan tetap asyik. Tapi,
bukan cuma mereka aja yang menonjol. Lagu-lagu lain di film ini juga keren.
Rendy Pandugo. Man,
itu adegan ketika lagu Hampir Sempurna ini diputar benar-benar pas. Ditambah
dengan adegan yang agak slow, makin
terasa syahdu dengan iringan suara Rendy.
Lagu lain juga keren. Ada White Shoes & The Couples
Company yang sukses bikin senyum sendiri karena ingat masa muda. Agustin
Oendary dan Ivan Gojaya juga keren banget. Now
I ask you to go to Spotify, search for Galih & Ratna playlist and listen to
it while you sip your tea. Perfect!
Jadi, selamat kembali merasakan indahnya cinta pertama bersama Galih dan Ratna.
XOXO
Iif
*Promo
colongan*
Jangan lupa mampir ke cewekbanget.id yak dan baca
alasan kenapa Galih itu cocok banget jadi pacar idaman di sini. Juga bisa
kenalan dan dibikin menggigil hatinya sama Refal Hady kalau masuk ke artikelini.
0 Comments:
Post a Comment