Mungkin
ini sebuah kebetulan, karena dalam dua bulan terakhir, ada tiga event yang
mengajak kita menaiki mesin waktu dan kembali ke masa lalu. Festival Mesin
Waktu di 14 Oktober, IDN Soundscape di 28 Oktober, dan The 90’s Festival di 25
November.
Sebagai
seseorang yang sebagian jiwanya tertinggal di tahun 1990-an (sebagian lagi
tertinggal di Middle Earth), jelas saya senang dengan ketiga event ini. Karena
memberikan kesempatan untuk menyaksikan langsung penampilan musisi favorit yang
selama ini hanya bisa saya dengar melalui rekaman (dulu dalam bentuk kaset,
sekarang dalam bentuk Spotify).
Saya
akan kembali ke masa dua puluhan tahun lalu.
Kenangan
90-an saya terbatas. Saat itu saya masih kecil dan tinggal nun jauh di sana.
Memiliki kakak dan sepupu yang menginjak usia remaja di saat itu membuat saya
mau tidak mau ikut terpengaruh oleh apa yang mereka sukai.
Ada
kalender dari toko sepatu dengan foto Nike Ardilla, radio yang selalu memutar
lagu DEWA 19, Five Minutes, Voodoo, SLANK, KLA Projects, Potret, dll, acara TV
yang menghadirkan mereka, dan saya yang menemukan idola pertama, Gilang
‘Wayang’ (simpel, karena dia masih kecil. Alasan yang sama kenapa saya menyukai
Zac Hanson, karena dia masih kecil).
Singkat
cerita, saya menyukai lagu-lagu di era ini, meski ketika ngomongin kenangan,
saya tidak punya kenangan berarti. Saya hanya anak kecil yang begitu penasaran
dengan dunia luar sehingga berpikir kalau pesawat di lagu Memes beneran ada sehingga
saya bermimpi biar bisa naik pesawat ke bulan dan Gilang itu sesosok makhluk
luar angkasa karena dia hebat, bisa main drum.
I was so naïve back
then.
Beranjak
remaja, saya mendengarkan banyak jenis lagu, mengenal banyak musisi, mempunyai
idola baru, tidak lagi menganggap Gilang itu keren, tapi satu yang pasti, saya
akan selalu kembali ke masa itu.
Karena
ada satu keinginan yang belum terwujud, menyaksikan mereka secara langsung.
Dreams Do Come True
Ketika
akhirnya akses untuk menyaksikan musisi idola mulai terbuka, saya pun berani
membuat wishlist. Awalnya ketika
NKOTBSB datang ke Indonesia. Itu jadi titik balik bagi saya, untuk menuntaskan
keinginan masa kecil yang sejauh ini belum terwujud. Itu pertama kalinya saya
mencoret sesuatu dari dalam wishlist.
My sister said that it
was my revenge. Dari
dulu saya sudah memendam keinginan ini, tapi keterbatasan menghambat. Akhirnya,
ketika sedikit demi sedikit keterbatasan itu berkurang, saya tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Thanks to my job, dalam
beberapa kasus, saya mendapat sedikit kemudahan.
Why I Love 90’s Music So
Much?
I don’t know the exact
reason why I love 90’s music so much. Saya tidak punya alasan sentimental berupa
nostalgia yang membuat ingatan saya membeku di masa itu.
Saya
hanya menyukainya. Nadanya begitu membekas, dan menurut saya lirik lagunya
sangat romantis dan manis. Padahal kalau dipikir-pikir, apa yang diceritain di
lagu dulu dan sekarang sama aja. Hanya, pengemasannya yang berbeda.
Juga
nadanya yang ringan dan bisa sing a long
bareng. I’m not a music critic nor I have
a competence to talk about music. All I know about music is… bisa diterima
kuping. As simple as that.
Dan
lagu 90an cocok untuk daydreaming.
Kalau saja boleh menyebut daydreaming
sebagai pekerjaan, saya ingin menyebut professional
daydreamer sebagai profesi saya. Dan, menghabiskan waktu tanpa melakukan
apa-apa dengan lagu 90-an sebagai backsound
membuat saya bisa daydreaming
sepuasnya. Membiarkan imajinasi saya melayang ke mana-mana. Membentuk sebuah
cerita di benak dan itu adalah momen yang membahagiakan untuk saya.
Jadi,
ketika ada banyak festival musik yang membuat saya bisa kembali ke masa lalu,
melampiaskan dendam yang sejak dulu dipendam, tentu saja, saya dengan sangat
senang hati menyambutnya.
Intimate Moment at Festival
Mesin Waktu
Kita awali dengan Festival Mesin Waktu yang diadakan oleh Generasi 90-an di The Establishment, SCBD. Di sini saya mencoret nama Base Jam (thank God ada Sigit), Potret, P Project dan Naif dari dalam wishlist.
Acaranya
tidak terlalu besar tapi intimate. At
least for me, karena di sini saya bersama teman-teman dari Komunitas 90-an.
My inner fangirl strike again, karena
apa asyiknya sih menonton konser tapi kalem? Justru ini saatnya untuk screaming out loud.
Crying your heart out.
Ini
yang saya suka dari konser. Ketika kita bisa menjadi nobody di tengah keramaian. Masa kita bisa nyanyi meneriakkan isi
hati, berteriak sekencang-kencangnya atau bahkan menangis di lagu tertentu. We could do this and nobody give a f about
it. Karena orang lain juga larut dalam euphoria
yang sama . Mungkin, selain bandara, keramaian di tengah konser jadi
satu-satunya yang bisa saya tolerir.
Back to Festival Mesin
Waktu. Bagi
saya, highlight acara ini adalah Base
Jam. Sita, oh gosh. She was a cool girl
and now she’s still cool, meski rambutnya udah panjang. And Sigit freaking Wardana. Enggak
pernah kebayang bisa menonton Base Jam lengkap dengan Sigit setelah dia
memutuskan untuk hengkang dari Base Jam.
Bukan
Pujangga? Tentu saja saya sangat menikmati lagu ini. This is my favorite song. Kisah cinta yang tulus dan apa adanya,
yang mengajarkan saya bahwa romantis tidak selamanya harus mewah dan puitis.
Meski lagu ini sedikit kontradiktif. Katanya Bukan Pujangga yang Mampu
Merangkai Kata tapi liriknya sangatlah manis *abaikan*.
Dua
penampil terbaik versi saya selanjutnya adalah P Project. Puluhan tahun
berlalu, mereka masih lucu, setia dengan lagu-lagu plesetan yang bikin ngakak.
Awalnya, sih nyanyiin versi mereka, tapi di tengah malah nyanyiin lirik
aslinya.
Selanjutnya
ada Potret. Meminjam istilah kekinian, Melly dan Anto ini adalah salah satu
#RelationshipGoals. Saya ingat waktu berkunjung ke rumah mereka, ada papan
tulis berisi jadwal musik mereka beserta anak-anak. Goals, isn’t it? Dan salah satu goals
saya adalah menonton Potret, menyanyikan lagu favorit bersama, salah satunya
Diam. Saya ingat, dulu Aneka Yess! (RIP) sering memberikan bonus organizer
berisi lirik lagu dan kord gitar, dan saya terkesima dengan lirik Diam. Kenapa
perempuan di lagu ini begitu bodoh? Mungkin, itu persinggungan pertama saya
dengan isu sosial ini, abusive
relationship. Lagu Diam, yang belasan tahun lalu tidak saya pahami
maknanya, tapi membuat saya waktu itu bertekad tidak ingin jadi perempuan bodoh
seperti si Diam.
Yang
bikin mata berkaca-kaca adalah Bunda. Dentingan piano dan suara Melly cukup
bikin bulu kuduk berdiri. Ingat sinetron Bunda yang dibintangi oleh Dina Olivia
dan Merriam Bellina? Ya, lagu ini adalah soundtrack
sinetron tersebut dan salah satu kenangan saya dan mama adalah menonton
sinetron itu. Selain Cinta Dara Kembar dan Cinta, Bunda adalah sinetron zaman
dulu favorit saya.
Melangkah Satu Dekade di
IDN Soundscape
Dua
minggu kemudian, ada acara serupa, bedanya kali ini membawa kita ke era
2000-an. Well, I want to give my two
cents.
Jadi
gini, bicara soal era yang iconic, 2000-an jarang disebut. Karena jika kita
bicara soal era, 2000-an merupakan campuran dari era-era sebelumnya, dan
sedikit yang bisa menjadi ciri khas era tersebut. Termasuk soal musik yang di
early 2000 masih didominasi oleh 90-an tapi late 2000, itu sudah beda banget.
Mungkin karena kita masih berada di era ini sehingga belum terlalu terasa
spesialnya. Kecuali, band pop yang semakin banyak bermunculan dengan sound yang sedikit lebih lembut
ketimbang band 90-an.
Menilik
ke line up, saya mengacungkan jempol.
Sebut saja ada Pongki Barata (I want
Jikustik actually), Andra and the Backbone, D’Massiv, Kahitna, Naif, Gigi,
dan tentu saja, SLANK. Dan out of nowhere
ada Tulus.
Acara
ini mengusung konsep kembali ke masa SMA. Yang ada di pikiran saya adalah
mereka yang menghabiskan masa SMA-nya di tahun 2000an. Lalu, kenapa bisa ada
Tulus yang notabene adalah musisi zaman sekarang? Memang, sih, Tulus
menghabiskan masa SMA dia di era itu, tapi sebagai pengisi acara, out of place aja menurut saya.
Jadi
begitulah, menurut saya acara ini tidak mempunyai target market yang jelas.
Siapa yang sebenarnya dituju? Karena jika bicara 2000an maka sebaiknya di line up ada Ungu, Letto, Peter Pan (oh
well, Noah), Dygta, Ten 2 Five, dan lainnya. Tapi, kan musisi 90-an masih punya
pengaruh di early 2000? Okelah, kita tambahkan Kahitna, Gigi, dan Slank. Tapi,
kita juga butuh audience masa
sekarang? Well, ini dia, ada Tulus.
Jadi
begitu, menurut saya acara ini secara konsep bagus tapi terlalu luas dan kurang
jelas siapa yang dituju.
Dari
ketiga acara, ini yang paling fancy.
Apalagi banyak yang datang pakai seragam SMA (gimmick-nya memang beli tiket maka dapat seragam SMA dari Danjyo
Hiyoji makanya tiketnya jadi mihils) sehingga ngelihatnya seru. We talk about festival dan festival itu
enggak sekadar musik. Ada fashion, food,
experience lebih dari sekadar sing a
long bareng idola.
Terlepas
dari penataan tempat penonton yang kurang efektif dan juga memunculkan kesan
kosong, overall saya suka dengan
acara ini.
Terima
kasih Pongki yang sedikit mengobati kerinduannya saya kepada Jikustik meski di
beberapa lagu terasa kurang karena saya rindu suara Icha.
Terima
kasih D’Massiv yang mengingatkan saya kepada masa-masa dewasa awal, menikmati
serunya kuliah dan semangat pantang menyerah mencari pekerjaan.
Dan
Kahitna. The second most romantic band
I’ve ever heard (after KLA) yang sukses bikin malam dingin berhujan itu
terasa romantis. Meski tubuh menggigil akibat hujan-hujanan sejak sore (ya
hujan, tapi itu tidak menghentikan keasyikan menonton konser. Sesuai prinsip
saya, harus all out. Jadi, sekalipun
hujan, mari kita hajar, he-he), tapi lagu-lagunya mampu menghangatkan hati.
Satu
pertanyaan saya, keseringan nonton boyband
Korea, seharusnya saya sudah kebal dengan fanservice.
Namun, melihat Mario dengan fanservice
yang sangat banyak, little heart (itu
tuh, gestur tangan ala Korea yang kalau di Indonesia jadi kayak gestur minta
duit) ditebar ke mana-mana. Dan senyumnya. Ya Tuhan, saya jadi banyak mengucap
syukur malam itu. Ke sekian kalinya menonton Kahitna, saya rasa saya sudah imun
terhadap pesona mereka. Nyatanya? Sama sekali tidak.
Ketika
mengetahui line up, saya bertekad
akan menonton SLANK. Kaka itu keren, dan sayangnya saya belum pernah kesampaian
menonton mereka langsung. This is the
momen’t I’ve waiting for. Meski saya diberi pesan, “nontonnya dari jauh
aja, ya.” Ketika berada di antara Slankers, saya paham dengan maksud pesan itu.
Two thumbs up buat SLANK. Meski hanya
menonton beberapa lagu, dari jauh, setidaknya saya berhasil mencoret satu lagi
dari dalam wishlist.
Awesome and Epic
Festival, The 90’s Festival
Dan,
ini gongnya dari semua perjalanan melintasi waktu.
Sempat
absen di tahun 2016, The 90’s Festival kembali muncul di 2017 dengan skala yang
jauh lebih besar dan line up yang dreams do come true banget. Semua yang
selama beberapa tahun ini sempat menghilang akhirnya kembali lagi. Shaden,
Wayang, DOT, Base Jam, Potret, Voodoo (can you hear me scream?), Bragi (my God,
Aldi!), P Project, Fariz RM, KLA Project (yess!) dan DEWA 19 ft Ari Lasso. Let me repeat it, DEWA frickin 19 frickin
Ari Lasso.
Can you hear me
scream?
Terima
kasih kepada Festival Mesin Waktu, sehingga ada beberapa pengisi acara yang
bisa saya skip untuk memberi kesempatan menonton musisi lain. All out, itu prinsip saya.
Sedikit
telat karena datang kesorean, ada beberapa musisi yang saya skip. Untungnya musisi yang saya ingin
lihat akhirnya tersalurkan.
Saya
ingin break down satu-satu siapa saja
yang saya saksikan di festival ini,
Shaden
jadi band pertama yang saya lihat. Karena datang kesorean dan ingin menikmati
suasana festival dulu dengan berkeliling foto-foto, maka saya baru bisa melihat
Shaden. Itu pun enggak dari awal, karena Pacarku hanya sayup-sayup saya dengar
dari jauh. Sejujurnya, saya tidak begitu hafal lagu Shaden. Yang saya tahu
hanya dua, Pacarku dan Dunia Belum Berakhir. Dunia Belum Berakhir pun
melemparkan ingatan saya ke masa SMP dan teringat suatu kejadian.
Selanjutnya,
Bragi. Saya hanya bisa melihat dari jauh karena sudah lumayan padat. Tapi, ya
Tuhan, Aldi makin ganteng aja. Enggak nyangka dia udah 40an tapi… pesonanya
jauh lebih matang sekarang ketimbang dulu. Menonton mereka live, saya sadari kalau suaranya Aldi itu… B aja, he-he *sorry
Aldi, tapi ini penilaian jujur*. Dan penontonnya pada kalem. Memang, sih,
lagunya juga kalem, dan Aldi juga kalem, Rendy apalagi, jadi… saya agak kurang all out. Karena ketika saya teriak
sendiri, yang lain pada melototin.
Selepas
break Maghrib, tujuan saya ada pada Voodoo. Ada tiga band di kamus saya dengan
hits hitungan jari tapi iconic;
Voodoo, Protonema, Power Slave. Di The 90’s Festival 2015 ada Protonema meski
kurang greget karena bukan vokal Micko (semoga Micko damai di surga) dan
sekarang gilirannya Voodoo. Berhubung teman saya clueless soal siapa itu Voodoo, saya nekat nonton sendirian. All out, itu prinsip saya. Jadilah saya
masuk ke dalam kumpulan mas-mas dan abang-abang penyuka Voodoo.
Sesuai
ekspektasi, di lagu Salam Untuk Dia, vokalisnya jadi gabut karena semua
penonton nyanyi bareng. Saya yakin, mungkin kita enggak tahu siapa yang nyanyi,
tapi pasti pernah dengar lagu ini, karena Salam Untuk Dia benar-benar iconic.
Reza
Artamevia membuktikan kalau kualitas tidak pernah bohong. Suaranya menggelegar.
Lagu-lagunya pada bikin baper, dan penghayatannya yang dahsyat bikin lagunya
langsung merasuk masuk ke hati dan menyayat-nyayat hati. Menonton Reza membuat
saya berpikir, apa jadinya jika diva Indonesia hadir dalam satu festival musik?
Vina Panduwinata. Krisdayanti. Reza Artamevia. Ruth Sahanaya. Titi DJ. Memes.
Rita Effendi. Rossa. It would be awesome.
Bulan merah jambu, luruh
di kotamu. Kuayun sendiri langkah-langkah sepi.
KLA
PROJECTS. I’m not Klanis but their song
have a special place in my heart. Saujana, itu yang membuat saya jatuh
cinta kepada Bahasa Indonesia dan puisi (setelah Sapardi Djoko Damono dan
Sutardji Calzoum Bachri). Kedua kalinya menonton mereka dan masih menunggu
momen bisa menonton konser tunggal mereka. As
expected, KLA sukses menyajikan lagu hits mereka dan semuanya sing a long bareng. Umur tidak jadi
masalah, karena masih pada enerjik meski sudah kepala 5 (really?). Suara Katon masih sama seperti ketika dengerin Tentang
Kita puluhan tahun lalu. Dan, masih sakit hati seperti dua tahun lalu ketika 40
menit penampilan mereka, tidak ada Saujana dan Kidung Mesra. For me, these two are their most
underrated song. Padahal, dua lagu ini punya lirik yang kuat dan sangat
manis. Harapan mendengarkan lagu ini secara live,
masih saja menjadi mimpi.
Seperti
yang sudah-sudah, menonton KLA selalu memunculkan jiwa romantis. Sebagai
seorang hopeless romantic, hal
sederhana seperti ini cukup menjadi trigger.
Meski lelah, nyatanya saya malah mencoret-coret kertas melahirkan sebuah puisi
(I’ll post it later).
*Dan saya masih saja
mengkhayal seseorang bisa mendatangkan KLA atau setidaknya Katon menyanyikan
lagu Selamat Ulang Tahun di ulang tahun saya. Dari semua musisi yang membuat
lagu ulang tahun, ini yang paling saya suka. Lagunya terdengar manis dengan
lirik yang puitis. Doa yang disampirkan di dalamnya juga tulus dan punya makna
dalam.*
Setelahnya,
kita cooling down sedikit bersama
Sixpence None The Richer. Ini adalah masa-masa memulihkan tenaga setelah
menonton KLA dan persiapan menuju DEWA 19. Tidak ada yang begitu berkesan bagi
saya di penampilan ini, hanya senang bisa melihat mereka, itu saja.
Di
stage sebelah ada Potret. Berhubung
bulan sebelumnya sudah menonton Potret, bersama teman-teman kami putuskan tidak
menonton dan menunggu di depan stage
yang nantinya akan ditempati Dewa 19. Bukan hanya kami, banyak yang melakukan
hal sama. Karena, gong dari festival ini terletak di tangan Dewa 19. Mereka
sama seperti saya, ingin menuntaskan dahaga menonton legendary Dewa 19. Strategi yang menguntungkan, karena posisi kami
sangat strategis, tengah depan.
Bicara
soal Dewa 19, tentu saja saya berharap ada Dhani, Erwin, Wawan, Ari, dan Andra. That was Dewa means, right? Namun,
kita hanya berharap karena kenyataan memang tidak seindah harapan. Saya sudah
pesimis dengan kehadiran Erwin. Saya sedikit berharap dengan Wong Aksan karena
Wawan tidak mungkin, or at least Tyo.
Setidaknya, tiga dari lima original member ada, dan itu sudah lebih dari cukup
(oh, saya juga masih menunggu duet Ari dan Once).
Tengah
malam dingin tidak lagi terasa. Kaki pegal tidak jadi penghalang untuk melompat
dan nyanyi bareng Ari. Quality never
fails you, dan Dewa membuktikannya. Malam itu, saya meluapkan semua
kerinduan yang dimiliki dan bernyanyi dengan suara cempreng saya, tidak peduli
pada apa pun selain lirik manis yang mengalun keluar dari bibir.
Kirana jamah aku…
jamahlah rinduku.
Teruntuk
Ahmad Dhani, terima kasih sudah menciptakan banyak lagu dengan lirik berarti.
Saya
kehabisan kata-kata untuk menggambarkan Dewa 19. Megah. Awesome. Keren.
Menggelegar. Luar biasa. Ah, saya rasa itu tidak cukup. Lain kali, jika saya
sudah menemukan kata yang tepat, saya akan mengedit tulisan ini.
Untuk
kali ini, saya tidak bisa berkata apa-apa. Rasanya ingin menangis tapi bibir
tersenyum lebar. Rasanya ingin berteriak melompat tapi di saat yang sama juga
diam terpaku menyaksikan mereka. Seminggu berlalu, ketika saya menulis ini,
rasanya saya kembali terlempar ke Jiexpo – Gambir Expo, menyaksikan mereka.
Saya
memang berhasil mencoret nama Dewa 19 dari wishlist,
tapi kemudian memunculkan wishlist
baru. Konser tunggal. I’ll wait for it.
Kepada
The 90’s Festival yang mungkin saat ini masih terlena dalam euphoria, bolehkah
saya meminta Padi untuk mengisi line up
tahun depan?
aku juga nonton 90s festival dari sore dan cukup puas nyanyi bareng opie andaresta, t-five, shaden, neo, sweet martabak, reza artamevia, potret, kla project, sixpence, daan dewa 19. puas banget bisa nostalgia 90an setelah beberapa kali liat di java jazz ada ME, lingua, coboy, iwa k. berharap setiap tahun ada dan jadi festival reuni musisi dan generasi 90an :D
ReplyDelete