Day 5, tema dari Nanien
Saya memiliki
darah asli Minang dan katanya, sih, orang Minang itu identik dengan perantau. Kalau
dilihat secara etimologi, merantau berarti perginya seseorang dari tempat asal
ke daerah lain untuk mencari pengalaman atau penghidupan baru. Seringkali karena
faktor ekonomi, yaitu mencari kehidupan yang lebih baik. Namun bagi masyarakat
Minangkabau, merantau bisa dibilang sebagai suatu keharusan, terutama bagi para
pemuda, dan lama-lama menjadi tradisi.
Tidak usah
jauh-jauh, merantau antar-kampung pun bisa dilakukan. Saya ingat sebuah pepatah
Minang yang berbunyi Karatau tumbuah di
hulu, babuah babungo alun. Marantau bujang dahulu, di rumah baguno alun. Secara
sederhana, artinya seorang cowok yang sudah cukup umur bisa pergi merantau dan
mencari pengalaman sebanyak-banyaknya karena pada saat itu dia belum bisa
bicara banyak di tengah adat. Bahkan, merantau juga menjadi sebuah tanda
kedewasaan.
Jika saya
tidak salah ingat, sih, hal ini ada hubungannya dengan sistem matrilineal yang
dianut masyarakat Minangkabau. Sistem ini membuat harta pusaka diturunkan
kepada garis keturunan perempuan, sementara laki-laki mengolahnya. Itu juga
yang mendorong para pemuda zaman dulu untuk merantau.
Ingat film
Merantau yang dibintangi Iko Uwais dan Donny Alamsyah? Di sana sempat
disinggung sedikit soal filosofi merantau ini.
Dalam perkembangannya,
sekarang bukan cuma cowok-cowok saja yang merantau. Banyak perempuan Minang
juga pergi merantau. Bahkan, begitu selesai ujian SMA dan menunggu pengumuman
kelulusan, banyak yang memutuskan pergi dari kampung untuk mempersiapkan diri
menuju kuliah. Paling banyak pindah ke Padang, karena universitas negeri
terbaik di Sumatra Barat ada di sana dan dipercaya pendidikan di sana lebih
bagus. Ada yang pergi lebih jauh, Jakarta dan Bandung. Beberapa kembali pulang,
beberapa bertahan di tanah rantau, hingga bertahun kemudian.
Jadi, tidak
heran, kan, orang Minang ada di mana-mana?
Saya sendiri
mulai merantau sejak selesai UN SMA, tepatnya ke Jakarta, untuk ikut bimbel
persiapan kuliah. Waktu itu, ada dua alasan saya memilih Jakarta. Pertama,
karena kakak saya sudah duluan ke Jakarta lima tahun sebelumnya, seselesainya
dia ujian akhir SMA. Dan kedua, karena saya menargetkan untuk masuk UI, makanya
saya ingin membiasakan diri dengan lingkungan UI #sokpede.
Ketika SNMPTN,
mama pernah bertanya, ‘kamu enggak mau ngambil jurusan di Unand salah satu?’
karena saat itu saya menargetkan UI di kedua pilihan. Saya tidak mau, karena sudah
tahu apa yang saya tuju dan itu tidak akan mungkin bisa didapatkan jika bertahan
di kampung.
Menanggapi pertanyaan
‘apa, sih, hal paling menyenangkan menjadi anak rantau?’, saya bisa
menyimpulkan beberapa hal:
Pola pikir yang berkembang
Salah satu faktor pendorong tradisi merantau adalah untuk mencari pengalaman. Malah, semakin jauh kita pergi, semakin banyak pengalaman yang didapat. Tentunya, pengalaman tersebut akan berguna ketika dia ‘balik ka nagari’ dan membangun kampung halaman. Jika terus berada di kampung, besar kemungkinan akan tumbuh seperti katak dalam tempurung, karena yang dialami hanya itu-itu saja.
Dengan merantau,
saya jadi mengenal lebih banyak tipe orang. Indonesia yang kaya dan beragam,
dengan budaya berbeda satu sama lain, itu membuat saya bisa lebih berempati dan
memahami orang lain. Selama delapan belas tahun saya tumbuh dengan nilai-nilai
yang ditanamkan oleh keluarga dan lingkungan. Saya membawa nilai tersebut. Namun
seiring perjalanan waktu, saya melihat nilai lain dan mengadopsi nilai baru
yang saya rasa lebih cocok bagi diri saya.
Tidak bisa
dipungkiri ada beberapa nilai yang bertentangan atau tidak bisa diterima dengan
mudah oleh lingkungan yang dulu. Namun, hal tersebut justru membuat saya lebih
kaya, karena memiliki perbandingan dan pilihan yang banyak, sehingga tahu mana
yang bisa saya anut dan bisa saya buang.
Mendapat banyak kesempatan
(Forum internasional yang memungkinkan saya bertemu banyak orang dari berbagai negara. Beberapa bahkan masih berhubungan sampai sekarang.)
Seperti yang saya singgung di atas, kenapa saya tidak mau mengambil kuliah di Unand? Saat itu, saya dicap sombong oleh beberapa teman, tapi menurut saya pribadi, saya hanya berusaha mewujudkan apa yang saya mau.
Saya ingin
terjun ke dunia media massa. Impian pertama saya terjun menjadi wartawan perang
tapi impian itu sudah kandas, ya. Namun, saya begitu mencintai media massa dan
saya tahu kesempatan untuk membuktikan diri di dunia tersebut lebih luas jika
saya berada di kota besar seperti Jakarta. Di tahun saya mulai kuliah, Unand
akhirnya membuka jurusan Ilmu Komunikasi. Beberapa teman SMA saya menyorot
jurusan itu, karena dianggap lulusnya lebih mudah. Namun, apakah tujuan saya
hanya sebatas kuliah di sana saja? Mungkin nanti saya bisa ke Jakarta atau ke
manapun setamatnya kuliah.
Tidak, saat
itu saya berpikir semakin cepat lebih baik. Dan itu terbukti. Saya semakin
jatuh cinta kepada dunia ini. Tujuh tahun setelah lulus kuliah, saya masih
berada di jalur yang saya inginkan sejak dulu.
Salah satu
mata kuliah dulu, Manajemen Ilmu Komunikasi, memungkinkan saya dan teman-teman
sejurusan mengunjungi berbagai macam kantor media massa untuk melihat ‘isi
dapur’ mereka. Itu kuliah yang paling menyenangkan, sekaligus membuat saya semakin
yakin akan impian yang ingin diraih. Tentunya, kesempatan berharga itu akan
sangat sulit didapat jika saya tetap di kampung.
(Sepenggal kenangan bareng teman-teman kuliah saat main ke kantor Detik di matkul MMM)
Tumbuh sebagai
anak bungsu di tengah keluarga besar yang jauh lebih tua membuat saya sedikit
banyak dimanja. I think that they still
see me as a child, bahkan sering dibecandain kalau saya ‘seumuran’ dengan
keponakan yang masih kecil dan remaja. Soalnya, sifat santai dan image ‘bersenang-senang’
yang saya tampilkan memberikan vibe
tersebut.
Di kampung
saya dulu, tempatnya sangat sunyi. Bahkan, angkutan umum menuju rumah saja
sudah enggak beroperasi sejak sebelum adzan Maghrib. Ditambah tidak ada
kendaraan pribadi yang membuat saya bisa bepergian di malam hari.
Berada jauh
dari keluarga yang bisa jadi backup,
membuat saya mau tidak mau harus melakukan apa pun sendirian. Saya tidak bisa
selamanya mengandalkan Uni untuk menemani ke mana saja saya butuh karena dia
juga memiliki kesibukan lain. Meski karena itu, mama sering menelepon dan
khawatir saat harus pulang malam karena beliau berpikir dengan melihat keadaan
di kampung. Untung sekarang sudah paham, setelah ikutan pindah ke Jakarta,
he-he.
Hal lainnya,
saya pun mendapat banyak tantangan untuk mencoba hal baru yang tidak akan
mungkin bisa saya dapatkan jika memutuskan untuk tinggal di kampung. It’s very challenging for me. Itu juga
membuat saya semakin kaya akan pengalaman dan pemahaman baru.
Lalu, apakah
saya masih sayang dengan kampung halaman? Tentu saja. Sampai kapan pun, rumah
saya di sana, meski saya tidak bisa menengoknya setiap saat. Namun saya akan
mengunjunginya, sesekali.
(Jam Gadang kebanggaan)
Di sana tempat
saya beristirahat. Di sini, tempat saya berusaha.
“Jadi anak
rantau? Hmmm… sok tahu dengan segala hal, he-he. Karena kalau di Jakarta harus tough dan enggak boleh bego. Yang paling
menyenangkan, di sini gue bisa ke mana-mana sendiri. Ke mana pun yang belum
pernah gue datangi, bisa sendiri. Lebih tepatnya, berani coba hal baru. Sekaligus,
itu juga challenging, karena kalau stay di Lampung, gue mau coba apaan?”
Tyara, yang merantau dari Lampung ke Jakarta setamatnya dari SMA.
For you anak rantau out there, what is the
most interesting thing that you had?
0 Comments:
Post a Comment