(Day 1, tema dari Muti)
Tahun lalu,
saya mendapat tantangan untuk menulis tema yang sedikit mirip, yaitu apa yangsaya pelajari dari sebuah perjalanan. Satu hal yang akhirnya saya pahami adalah
berhenti memikirkan what if yang
belum terjadi dan berani mematahkan keragu-raguan yang selama ini sering
menghambat langkah saya.
Mungkin terlambat
karena saya baru memulai petualangan sendiri ini di usia menjelang 29 tahun, di
saat orang lain memasukkan traveling solo
ke dalam xx things you have to do before
20 or 25. But, nevermind. Saya sudah berhenti membandingkan diri dengan
orang lain.
Ya, pengalaman
traveling solo pertama saya terjadi
di April 2018. Itu pun terjadi di luar rencana. Bahkan sebenarnya saya tidak
pernah merencanakan untuk menjadi seorang solo
traveler. Saya suka sendiri, saya suka melakukan sesuatu sendiri, tapi
untuk liburan sendiri? Nanti dulu, saya tidak seberani itu.
Namun terkadang
dalam hidup bukan hanya kita saja yang bisa membuat keputusan. Ada kalanya
keadaanlah yang memutuskan sesuatu dan tidak ada alasan bagi kita untuk
menolaknya.
Itulah yang
terjadi pada saya. Cinta yang teramat besar kepada Ed Sheeran membuat saya
memutuskan untuk pergi ke Manila sendirian. Untuk perjalanan saya ke Manila untuk menonton konser Ed Sheeran bisa dibaca di sini dan di sini.
Sebenarnya, di
tulisan ini, saya pernah menulis tentang pelajaran apa saja yang saya dapatkandari pengalaman pertama solo trip.
Namun, hal
yang paling mengejutkan tentang diri saya?
Let me think about it.
I enjoyed my trip. I think I want to go
somewhere again, alone, just with myself.
But the most surprising thing? Well, I think
I’m brave enough.
(Meninggalkan jejak di Bonifacio Global City, Manila)
Let me tell you a story (minjam frasanya
koh @Amrazing hehe).
Ketika SD, ada
sebuah sungai yang letaknya sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya berjalan
kaki sepuluh menit. Tempatnya cukup menyeramkan, karena lumayan jauh dari jalan
raya dan rimbun oleh pepohonan besar, terlebih di masa itu, ketika kondisi
tempat itu belum seperti sekarang yang mulai ramai dipenuhi rumah. Kami menyebutnya
Tambuo.
Pergi ke sana
membutuhkan keberanian besar, terutama bagi anak kecil. Apalagi ada cerita
burung slash mistis yang membuat bulu
kuduk makin berdiri.
Suatu hari,
bersama teman-teman, saya pergi ke sana. Tentu saja, saya tidak minta izin ke orangtua
karena tahu tidak akan diizinkan. Kami bermain di sana, dan tanpa terasa sudah
Maghrib. Ketika mulai gelap, akhirnya kami pulang. Yang tidak saya tahu, selama
berjam-jam Mama mencari ke sana ke mari, bahkan sampai berpikir saya hilang. Ketika
saya pulang dalam keadaan basah kuyup, beliau khawatir. Ketika saya cerita
habis dari Tambuo, beliau marah besar.
Saya lupa apa
yang Mama bilang saat itu, tapi intinya saya tidak diizinkan pergi jauh. Hal itu
berlanjut sampai saya dewasa sehingga sejujurnya, di dalam hati, saya seorang
pengecut. Saya suka membaca, saya sering membaca petualangan seseorang, dan
saya sering berkhayal bagaimana rasanya menjelajah dunia luar.
Mungkin tidak
ada yang percaya, selama delapan belas tahun saya tinggal di Bukittinggi,
sangat sedikit tempat di Sumatra Barat yang pernah saya datangi. Beberapa bulan
lalu, teman saya, Manda, bertanya ‘lo pasti udah pergi ke semua tempat bagus di
Padang, kan?’ yang hanya bisa saya jawab dengan tawa miris.
(Di sebuah pintu di sekitar Casa Manila, Intramuros)
Ketika kuliah,
kakak saya pernah berkata, ‘kamu harus melihat dunia luar. Uni beruntung punya
kerjaan bisa bepergian, jadi banyak tempat yang bisa dilihat, bukan cuma Depok
dan Bukittinggi saja.’
Kalimat itu
terus tertanam di benak saya.
Looking forward ke awal tahun ini,
ketika saya memutuskan untuk pergi ke Manila sendirian. Sayang banget ya cuma
nonton konser aja ke sana, jadi kenapa enggak sekalian liburan?
Interesting.
Namun Mama
mulai mengajukan banyak pertanyaan yang membuat tekad saya berangsur turun. Untung
saja ada Uni yang bilang, ‘Udahlah, Ma, biarin aja dia pergi. Udah gede ini.’ Dan
tekad itu kembali mengembang.
Sejujurnya,
saya berjudi dengan diri sendiri. Saya pun menjadikan liburan ini sebagai
momentum untuk menguji apakah saya berani melakukannya?
Sebuah pertanyaan
mengawali kepergian saya: lihat setelah kamu kembali, apakah kamu ingin
melakukannya lagi? Jika ya, selamat, kamu berhasil mengalahkan ketakutanmu. Jika
tidak, selamat, setidaknya kamu pernah mau mencoba.
Hasilnya?
I enjoy it.
Orang-orang
berkata, langkah pertama memang berat, tapi langkah kedua, ketiga dan
seterusnya akan terasa ringan karena sudah terbiasa. Ketika mendaratkan kaki di
Manila, pundak saya serasa menanggung beban berat. Namun setelah menjelajahi
Intramuros sepanjang pagi hingga siang, langkah saya terasa ringan.
(Meninggalkan jejak di Fort Santiago, Intramuros, Manila)
Ketika kembali
ke Jakarta, teman saya Ira, bertanya, ‘masih mau ngulangin lagi?’ dan dengan
mantap saya menjawab, Ya. Bukankah itu pertanyaan yang mengiringi kepergian
saya? Dengan jawaban itu, selamat, saya sudah berhasil mengalahkan salah satu
ketakutan yang saya miliki.
Saya pun
menepuk pundak sendiri. ‘Good job, If. You
did a good job.’
Meskipun saya
tidak akan sering-sering pergi (karena keterbatasan waktu dan keuangan he-he),
setidaknya saya bisa menganggarkan sebuah perjalanan bermakna lainnya. Hanya saya
dan diri saya sendiri.
Karena sendirian,
tentunya kita punya banyak waktu untuk diri sendiri. Untuk berbincang, untuk
mengenali batasan tubuh kita, untuk memahami apa yang diinginkan oleh hati. Juga
waktu untuk berdiskusi karena siapa lagi yang bisa diajak bertukar pendapat
selain diri sendiri? Pada akhirnya, kita jadi paham apa yang diri kita
butuhkan.
“Ternyata bahagiaku enggak bergantung sama orang
lain. Selama ini kalau aku stres, aku sedih, aku selalu cari orang lain, dan
seringkali malah makin sedih pas enggak ada yang bisa nemenin. Ketika aku pergi
sendiri, ternyata diri aku sendiri yang bikin aku hepi.” Wita Adelina, yang
memutuskan untuk solo trip ke Jepang di tahun 2018 ini untuk pertama kalinya.
“Ternyata
berbadan kecil dan suka disangka anak-anak itu membawa keberuntungan, banyak
ditolongin. You may puke but I think in foreign country they see me as cute
girl, suka ditolongin biarpun gue enggak minta. Bahkan petugas imigrasi aja
baik banget,” Muti Siahaan, yang pertama kali solo trip ketika berusia 28 (atau 29?) ke
London.
"Banyak orang yang memang udah bilang kalau gue itu keras banget orangnya, nah kadang gue masih enggak mau ngakuin. Tapi, ketika solo travel kemarin, gue benar-benar menemukan iya gue keras banget. Kalau udah pengin ke satu tujuan, meskipun lapar, jauh, tetap dijabanin. Tapi, ada kalanya juga gue males, kayak emang kalau udah mood males, udah deh, enggak bakalan mau ke mana-mana." Maggie, yang pertama kali solo trip ke Yogya beberapa bulan lalu.
"Banyak orang yang memang udah bilang kalau gue itu keras banget orangnya, nah kadang gue masih enggak mau ngakuin. Tapi, ketika solo travel kemarin, gue benar-benar menemukan iya gue keras banget. Kalau udah pengin ke satu tujuan, meskipun lapar, jauh, tetap dijabanin. Tapi, ada kalanya juga gue males, kayak emang kalau udah mood males, udah deh, enggak bakalan mau ke mana-mana." Maggie, yang pertama kali solo trip ke Yogya beberapa bulan lalu.
So, what is the most surprising thing you
learn about yourself while travel solo?
Note: Hal ini berlaku bagi saya
berdasarkan pengalaman sendiri, karena saya tahu ada banyak cara untuk
mengenali diri sendiri dan traveling
bukan untuk semua orang. Ada yang enjoy
diam di rumah doing nothing dan itu
membuatnya bahagia, dan dia malah semakin stres saat traveling. Atau seperti teman saya, yang tahu dia parnoan sehingga yakin
dia tidak akan pernah bisa enjoy saat
solo trip. So, whatever it is, just found
what makes you happy. I’m not a traveler who go to strange place everytime I
want, because sometimes, stay at my room, doing nothing or just reading a book,
or watching movie alone, or daydreaming at some coffee shop, it’s enough for me
to talk to myself.
0 Comments:
Post a Comment