-->
![]() |
Ijen. Foto: Dok. LINErs |
“Hei,
pelan-pelan. Apa yang kamu kejar, sih?”
Sejak setengah
jam yang lalu pertanyaan yang sama selalu keluar dari mulut Hadi, tapi tidak
pernah kuhiraukan. Alih-alih menanggapi, aku malah mengabaikannya begitu saja. Menganggapnya
sebagai angin lalu.
“Sati, tunggu.”
Lagi-lagi
ucapan Hadi kuabaikan begitu saja. Saat ini, tidak ada waktu untuk menunggu. Aku
tidak bisa jalan kaki santai seperti biasa, seolah-olah saat ini aku hanya
memutari kompleks perumahan sore-sore, bukannya mengejar waktu agar sampai di puncak
tepat waktu.
“Sati.” Hadi
memanggilku tegas, sambil menyentak tanganku. Mau tidak mau aku terpaksa
berhenti.
Aku hanya bisa
melemparkan tatapan horor kepada Hadi. “Gue enggak punya waktu, Di.”
Bukannya
menjawab, Hadi malah menyodorkan botol minum ke arahku. “Minum.”
Aku menggeleng
dan melepaskan tanganku, tapi cengkeraman Hadi begitu keras. Dia memaksaku
mengambil botol minuman itu.
“Minum, kalau
lo mau selamat sampai di atas.”
Aku mengambil
botol minum itu. Meski enggan, kuakui kalau sebenarnya aku sangat membutuhkan
minuman itu. Aku melirik jalanan menanjak di hadapanku. Senter yang berada di
keningku hanya bisa menyinari beberapa langkah di depan, dan aku sama sekali
tidak bisa melihat apa yang menungguku di balik tikungan ini.
“Kita bakal
sampai di atas tepat waktu, kan?”
Hadi mengambil
botol minuman yang kukembalikan kepadanya. “Lo yakin apa yang lo cari ada di
atas?”
Ini juga
pertanyaan yang sudah ratusan kali ditanyakan Hadi, semenjak aku muncul di
rumahnya pagi-pagi buta dengan ide absurd yang membuatnya terbelalak. Mendaki gunung
bukanlah bagianku. Aku bahkan ngos-ngosan hanya dengan jogging di minggu pagi, tentu saja ajakan mendaki gunung terdengar
sangat tidak masuk akal. Namun, aku bersikeras sehingga Hadi tidak punya
pilihan lain selain menemaniku.
Hingga sekarang,
saat aku setengah jalan untuk sampai ke puncak, aku belum memberikan jawaban
itu.
Karena sejujurnya,
aku tidak punya jawaban yang tepat.
“Let’s go. Gue enggak mau kehabisan
waktu.”
Masih mengabaikan
pertanyaan Hadi, aku menyeret langkah, berpacu dengan waktu agar sampai tepat
waktu.
**
![]() |
Foto: dok. LINErs |
“Sati,
hati-hati.”
Kalau saja
Hadi tidak cepat tanggap dan menangkap tanganku, mungkin aku sudah terjerembab
ke bawah sana. Aku menahan napas melihat batu-batu berjatuhan akibat kakiku
salah memijak sehingga nyaris saja ikut terjatuh bersama batu-batu itu.
Aku melirik
jam tangan. Tidak, waktuku tidak banyak. Aku tidak bisa berlama-lama di sini
dan membuang detik-detik berharga yang tinggal tidak seberapa. Meski kakiku
masih gemetar, aku memaksakan diri menuruni bebatuan ini satu demi satu.
Satu tanganku
berada dalam genggaman Hadi.
“Gue pegangin,
biar lo enggak jatuh.”
Aku mendongak,
menyorot wajahnya dengan senter yang menempel di keningku. Sebaris senyum
terukir di wajahku. “Gue gila, iya kan?”
Hadi ikut
tersenyum. “Ngelihat lo di tempat kayak gini? Mungkin kita lagi berada di
dimensi lain.”
“Kalau di
dimensi lain, gue enggak perlu pergi sejauh ini, Hadi.” Aku tergelak. “Karena
di dimensi lain dia enggak pernah pergi dari hidup gue.”
Tanpa
mendengar jawaban Hadi, aku kembali menuruni batu-batu itu, berpacu dengan waktu.
**
![]() |
Foto: Dok. LINErs |
Semburat
cahaya biru terlihat di kejauhan. Hanya sejauh ini yang bisa kutempuh, aku
tidak bisa bergerak lebih jauh lagi.
Perlahan aku
mengeluarkan selembar foto dari dalam kantong jaket. Foto itu tampak lecek,
entah berapa kali aku meremuknya, lalu membenahinya lagi, lagi dan lagi. Aku meratakan
foto itu, sebisa mungkin membuatnya tampak utuh.
Aku mengangkat
foto itu tinggi-tinggi, berlatar belakang semburat biru—semburat yang sama
dengan yang terlihat di foto. Perlahan, aku membalik foto tersebut dan membaca
goresan singkat di sana.
Sati, aku di sini.
“Dia pernah
ada di sini, Hadi.”
DI sebelahku,
Hadi hanya menghela napas panjang. “Tapi bukan hari ini.”
Aku mengangguk.
“Dia pernah ada di sini. Dia masih ingat gue ketika berada di sini, sama kayak
gue yang masih ingat dia. Sepenuhnya.”
Hadi tidak
lagi bicara. Dia membiarkanku menikmati momen itu sendiri, sementara aku
membiarkan ingatanku melayang ke masa lalu yang ingin kulupakan.
**
![]() |
Foto: Dok. LINErs |
“Sati.”
“Shiva.”
Aku memutar bola mata. “Kamu bukan orang
pertama yang pura-pura bernama Shiva setelah mendengar namaku. Padahal sebenarnya
mereka tidak tahu siapa itu Shiva.”
“Aku tahu siapa Shiva. Dan aku juga tahu
siapa Sati. Yang paling penting, namaku beneran Shiva.”
Aku menatapnya dengan mata memicing penuh
kecurigaan. Ada berapa banyak kemungkinan seorang Sati bertemu dengan Shiva di
dunia ini? Nihil.
Kecuali yang berpura-pura menjadi Shiva.
Menyadari kecurigaanku, dia mengeluarkan KTP
dari dalam dompet dan menyodorkannya ke depan mataku. “See? Namaku Shiva.”
Mataku membelalak ketika melihat namanya,
lalu detik kemudian tertawa terbahak-bahak menyadari kebetulan yang sangat
tidak terduga ini.
“Dewi Shakti, dipisahkan dari Shiwa atas
permintaan para dewa, hingga akhirnya dia bereinkarnasi menjadi Sati, dan
kembali jatuh cinta pada Shiwa.”
“Kamu membaca Purana?”
Dia menunjuk keningnya. “Sebagai pemilik
nama Shiva, aku merasa itu sebuah kewajiban .”
“Kenapa Purana?”
“Kenapa tidak?”
“Karena Mahabharata terlalu mainstream?”
“Siapa bilang? Itu kewajiban ketiga untukku.”
“Ketiga? Lalu, apa kewajiban kedua?”
Dia tersenyum lebar, menampakkan guratan
halus di kedua ujung matanya. “Membaca Purana.”
Aku mendengus. “Kewajiban pertama?”
Senyumnya semakin lebar. “Mencari Sati.”
**
![]() |
Foto: Dok. LINErs |
“Kalau nanti aku meninggal, aku tidak ingin
bereinkarnasi menjadi Parvati.”
“Kenapa tidak?”
“Aku ingin kembali menjadi Sati.”
“Kalau begitu, aku juga ingin bereinkarnasi
menjadi Shiva.”
“Shiva itu abadi.”
“Tidak. Jika tidak ada Parvati di kehidupan
selanjutnya, maka tidak akan ada Shiva dan Parvati. Hanya akan ada Shiva dan
Sati.”
**
![]() |
Foto: Dok. LINErs |
Aku merebahkan
tubuh di atas tanah dan memandangi bintang yang memenuhi langit di atas sana.
Shiva, kamu di sana?
Tidak seperti
yang dikisahkan di Purana, atau kitab manapun, Shiva yang kukenal tidak hidup
abadi. Shiva pergi meninggalkan Sati, begitu saja.
Aku masih
ingat ucapan yang selalu diucapkannya. “Kewajibanku sudah terpenuhi. Aku sudah
menemukan Sati. Selanjutnya, aku akan menjaga Sati. Shiva tidak akan pernah
terpisah dari Sati.”
Namun dia hanya
manusia biasa. Shiva Si Manusia Biasa tidak bisa sepenuhnya memegang janji. Dia
pergi, dan aku seperti orang linglung yang kehilangan pegangan hidup.
Hingga setahun
kemudian, aku menemukan foto-foto yang dikirimkannya kepadaku. Di setiap foto,
ada goresan namaku, tanggal, dan jam yang menunjukkan kapan foto itu diambil. Aku
seperti orang gila, menangisi foto demi foto, hingga tiba di foto terakhir, aku
menemukan ucapan perpisahan dari Shiva.
Dia sudah
pergi.
Mungkin dia
baru akan kembali ribuan tahun lagi, jika reinkarnasi itu benar-benar ada.
Di tengah rasa
kalut itulah aku memutuskan untuk menelusuri jejak terakhirnya, sekadar mencari
jawaban akan keberadaannya.
“Setelah ini
kita ke mana?”
Aku membuka
mata saat mendengar pertanyaan Hadi. Perlahan aku mengeluarkan foto berikutnya
dari dalam kantong jaket.
“Ke sini,”
jawabku, sambil menatap foto matahari terbenam di pantai barat Bali.
PS: Seharusnya sih ngeblog soal pengalaman trekking ke Ijen bulan lalu, tapi ketika ngelihat foto-foto di sana, malah kepikiran buat bikin cerpen. Setelah absen bertahun-tahun nulis cerpen, rasanya agak awkward ketika harus memulai. Apalagi enggak ada tema khusus yang ingin diangkat, jadilah menulis cerpen ini mengalir begitu saja. Apa yang kepikiran, ya itu yang ditulis, jadi harap maklum jika ada kejanggalan di dalamnya, he-he. Enjoy, dan ditunggu komentarnya.
0 Comments:
Post a Comment