Yup, kalimat itu
yang pertama kali terlintas di benak saya ketika jam lima pagi, turun dari shuttle bus di UPI dan kedinginan.
Ditambah capek dan lapar yang membuat saya semakin emosi, sehingga meluapkan
kekesalan dalam bentuk kalimat di atas.
Pertanyaannya, apa iya Lalala Fest jadi konser paling
mengecewakan yang pernah dikunjungi?
Tiga nama yang membuat saya akhirnya mengiyakan untuk datang
ke Lalala, terlepas dari segala macam drama yang mengikuti perhelatan musik ini
dari tahun ke tahun. Crush, Honne, dan Years & Years (yang terakhir batal
beberapa hari menjelang hari H). Sebagai mantan seorang rekan media, saya tidak
bisa menutup mata dari semua keruwetan yang dimiliki si Lalala ini.
Beberapa hal yang menjadi momok penting untuk dibahas
menjelang Lalala adalah: akomodasi, transportasi, fashion. Tempatnya di Lembang yang hari biasa aja macet, apalagi weekend dan ada Lalala? Menginap di mana
dan bagaimana cara ke sana menjadi bahan pertimbangan selama berbulan-bulan.
Bersama teman-teman, kami membuat beberapa pilihan. Menginap
di Lembang dan bawa mobil dari Jakarta? Check.
Menginap di Bandung dan sewa mobil di Bandung? Check. Menginap di Lembang yang one
Gojek away dari venue? Done. Semuanya dibahas dengan plus minus masing-masing.
Akhirnya, kami memutuskan untuk naik shuttle bus karena dari semua plus
minus, naik shuttle bus inilah
yang paling bearable.
Lesson learned:
Banyak yang mengeluhkan macet dan parkiran nun jauh di mata sehingga harus hiking 1.5KM di tengah hujan dan gelap
gulita di malam hari—bolak balik. Sebenarnya, hal ini sudah bisa diprediksi.
Macet itu sudah pasti, dan sepertinya solusinya enggak bakalan ada, sehingga
bisa diakali. Seperti teman saya yang memutuskan menginap di Lembang dan
berangkat pagi. Ada juga yang berangkat pagi dari Bandung agar enggak lama
terjebak di macet. Kalau untuk hiking,
sih, ya, saya juga mempertanyakan siapa yang ngedesain venue sehingga jadi muter-muter enggak kelar juntrungannya itu.
Namun, sekali lagi, ini bisa diakalin kok. Saya akan membahasnya nanti.
Bukan hanya Years & Years saja yang memberikan perubahan
mendadak dengan membatalkan penampilannya di Lalala Fest serta konser di
beberapa negara Asia lainnya. Ketika pihak panitia mengumumkan waktu penukaran
tiket plus tiket shuttle bus, kami
pun terpaksa membuat perubahan rencana. Tadinya berniat mau ke Bandung hari
Sabtu pagi. Toh, udah beli tiket kereta juga. Namun, sesuatu dan lain hal harus
memaksa untuk ke Bandung di hari Jumat.
Nukerin tiket ini juga penuh drama. Ketika sampai di Kiri
Social Bar, antrean sudah mengular. Begitu keluar dari Grab, dhuar!!! Petir super gede dan hujan
lebat yang datang tanpa permisi ataupun basa basi. Yang tadinya kaget, jadi
cuma bisa ketawa pasrah.
Saat itu, kita sudah membuat perencanaan matang untuk jadi
naq gaul Bandung abis nukerin tiket, tapi kenyataannya malah hujan-hujanan selama
satu jam lebih. Tentu saja kami tidak mungkin mundur. Sempat kepikiran untuk
mundur dan berteduh, tapi sudah terlanjur basah dan enggak sampai lima menit
antreannya makin panjang, sehingga memutuskan untuk melawan hujan. Beruntung
ada anak SMA yang bawa payung, meski percuma satu payung dipakai bertiga.
Hasilnya? Surat kuasa yang dibawa luntur semua, begitu juga
print-an tiket. Mas yang ngejaga cuma bisa ketawa, tapi untungnya prosesnya
jadi cepat.
Hasil lainnya? Basah kuyup, kayak kucing kecebur got yang
airnya lagi membludak. Dan, menggigil semenggigil-menggigilnya. Plus, ini purely salah saya, yang hanya membawa pakaian secukupnya untuk tiga
hari, sehingga harus minta tolong Veve beliin celana di Jakarta dan bawain ke
Bandung besoknya.
Lesson learned: Ketika
tiba di lokasi acara keesokan harinya, dan melihat antrean penukaran tiket yang
mengular padahal sudah lepas Maghrib, saya dan Zola bisa menarik napas lega.
Meski hujan-hujanan, ternyata itu keputusan paling tepat.
Drama selanjutnya ada di penukaran tiket shuttle bus. Teruntuk panitia Lalala
Fest: ketika membuat pengumuman, tolong yang jelas. Dan tolong juga di-briefing volunteer yang bertugas
sehingga bisa memberikan informasi yang jelas. Drama di sini tidak bisa saya jelaskan
secara gamblang karena sudah janji kepada panitianya, tapi patut dicatat bagi
panitia untuk lebih siap dan sigap dalam bertugas.
Lesson learned:
Terlepas dari segala drama, naik shuttle
bus kami rasa menjadi pilihan yang tepat. Macet, sih, tapi mau apa? Yup, risiko karena kami berangkat siang.
Beberapa penumpang yang enggak sabaran memutuskan untuk berhenti di tengah
jalan dan lanjut naik ojek. Saat sampai di tempat perhentian terakhir kendaraan
umum, tawa julid Veve langsung keluar. “Untung kita enggak ikutan naik ojek,
ya,” katanya. Karena, mereka hanya bisa sampai di bawah dan harus hiking 1.5KM, ha-ha-ha.
Apakah drama shuttle
bus berakhir? Tentu tidak. Ketika mau pulang, inilah puncak drama
sebenarnya dan yang membuat saya mencetuskan kalimat di atas. Dibilangnya bus
sudah ready sejak jam 1, tapi
ternyata sudah banyak yang mengantre pulang sejak jam setengah 1 tanpa ada
kepastian kapan bus akan datang. Dan… being
Indonesian (sadly) banyak yang nyelonong. Plus, panitia yang planga plongo enggak punya jawaban. Berhadapan
dengan orang capek dan luntang lantung, habislah mereka.
Hingga akhirnya ada satu mbak-mbak yang mengambil alih
keadaan. Aslik, dia saking keselnya kali ya sampai ngomelin panitia yang cuma
bisa “iya kak” dan dibalas “iya-iya doang. Kerjain!” Man, ini abis nonton konser apa lagi ospek?
Long story short,
si mbak ini, yang notabene adalah penonton, akhirnya mengurus bus untuk
kepulangan. Sadly, being Indonesian
sejati, ada yang nyelonong dan salah naik bus karena dikira ini shuttle untuk ke parkiran. Panitia,
sekali lagi, harus ditegesin dulu baru menindak tegas di penyelonong ini.
Aslik, mirip ospek euy.
Dalam penjelasannya ke media dalam menanggapi kritik
orang-orang (yang sebagian besar komen di Instagram dihapus), mereka mengaku
sudah menyediakan shuttle bus untuk
mengatasi macet. Sorry to say, shuttle
bus kalian bermasalah dengan semua ketidakjelasan berjam-jam di tengah
malam itu.
Sudah selesai? Belum. Karena, baru saja naik bus, bus-bus
ini berhenti. Literally berhenti.
Matiin mesin. Entah apa alasannya (ada banyak katanya tapi karena hanya
katanya, saya tidak akan membahasnya. Cukup tahu saja). Namun, berhubung sudah
lelah, jadinya cuma bisa tidur dan bangun-bangun sudah di parkiran UPI barengan
dengan adzan Subuh.
Lalu, bagaimana dengan konsernya?
Totally Epic
Teman saya bertanya, “Tahun depan lo bakal balik lagi
enggak? Kan selalu bapuk panitianya.”
Sebenarnya ini serba salah, kecuali kalau panitia mau
benar-benar berubah. Sebab, yang dijual oleh Lalala ini adalah konsepnya. Mendengarkan
musik di tengah hutan itu sangat syahdu, dan pengalaman inilah yang membuat
saya (juga orang-orang lainnya) rela ke Lembang, macet-macetan, demi merasakan
momen ini. Selain itu, line up yang dibawa oleh Lalala Fest ini juara, karena
mereka bukan nama besar yang dalam dua atau tiga bulan ke depan akan menggelar
konser tunggal. Pengalaman yang mungkin sekali seumur hidup inilah yang
menjadikan Lalala Fest patut untuk dikunjungi.
Oleh karena sampainya malam, saya pun melewatkan beberapa
nama, termasuk Ardhito Pramono. Padahal sebelumnya sudah kebayang gimana
syahdunya dengerin Ardhito di tengah hutan ditemani semilir angin. Beruntung nama-nama
lain masih sempat untuk dinikmati.
Crush jadi salah satu yang saya tunggu-tunggu. Malam itu,
Crush tampil total dan suaranya… gilak, bagus banget. Meski enggak ngerti
bahasanya, dan enggak semua lagu bisa sing along bareng, tapi Crush sukses
bikin joged malam itu. Dan, teruntuk Crush, semoga kamu segera kembali untuk
konser tunggal.
Pilihan saya selanjutnya adalah Jeremy Passion. Oleh karena itu, selepas Crush, saya pun rela meninggalkan The Internet demi Jeremy Passion karena mereka manggung di jam yang sama tapi beda stage. Setelah jalan lumayan jauh, ternyata Jeremy Passion udahan karena jadwalnya dimajuin akibat Alex TBH terjebak macet sehingga telat datang. Rasanya ingin mengumpat, tapi akhirnya saya tetap menikmati penampilannya Alex meski dari jauh.
Selanjutnya, yang paling saya tunggu-tunggu, HONNE. Harus kembali lagi ke main stage tempat Crush tadi manggung. Suasana main stage sudah sangat penuh karena semua orang menunggu HONNE. Meski harus berdesak-desakan, malam itu saya bisa menikmati HONNE. Dan, suasana alam membuat penampilan mereka semakin romantis. Hampir saja saya ikut meneteskan air mata sewaktu dibawakan Crying Over You dan Location Unknown.
Kembali lagi ke kalimat pembuka tulisan ini, line up yang
bagus dan maksimal sejatinya membuat saya menikmati festival ini. Namun, faktor
pendukungnya membuat kebahagiaan saya berkurang.
PS: Sedikit uneg-uneg. Banyak yang ngomentarin soal Lalala,
dan saya bisa terima karena mereka datang. Namun, tidak jarang ada yang ikut
berkomentar padahal enggak datang seolah-olah menggiring opini ‘tuh, kan,
untung gue enggak datang’. Kasarnya, sih, ‘lo iri aja sih makanya bacot.’
0 Comments:
Post a Comment