Ketika merencanakan untuk liburan ke Ciletuh, trip yang kami pakai menawarkan dua jenis penginapan. Pertama dengan view pantai dan kedua view bukit plus bonus pantai. Kami langsung jatuh cinta dengan pilihan kedua.
Begitu juga saat merencanakan perjalanan kedua kalinya, saya
menyarankan—dan sedikit memaksa—teman untuk menginap di tempat yang sama,
bahkan kamar yang sama. Untungnya mereka setuju, he-he.
Bukit Soca tidaklah mengecewakan. Saran saya jika ingin ke
Ciletuh, menginap di sini saja. Pilih kamar di belakang, karena pemandangannya
langsung menatap bukit-bukit dan berujung ke pantai. Cocok buat foto dengan
caption “I woke up like this” di Instagram.
![]() |
View dari kamar di kunjungan pertama. Lagi bersih, sehingga pantai terlihat jelas. |
Ini kunjungan kedua, lagi kabut sehingga kurang kelihatan pantainya |
Dan… pemandangan memanjakan mata yang menyambut di pagi hari. Bikin pengin leyeh-leyeh aja rasanya.
Juga, breakfast with style. Kapan lagi bisa sarapan penuh
gaya seperti ini?
![]() |
Ini sarapan gue, mana sarapan lo? |
Satu lagi alasan kenapa saya menyarankan kamar di belakang.
Di perjalanan kedua, kami sempat menginap di saung, tepatnya saung 1 untuk
semalam. Tempatnya di depan banget, dekat tempat parkir.
Perlu diketahui bahwa banyak banget yang touring ke Ciletuh
ini. Jadi, rombongan touring yang menginap di Bukit Soca pagi-pagi sudah
memanaskan motor. Parkiran motor ini tepat banget di samping saung 1, sehingga
pagi-pagi dibangunin raungan motor yang enggak berhenti-berhenti. Percuma nutup
kuping dengan selimut, karena motor itu super berisik.
Kamar di bukit Soca bisa diisi untuk 4-5 orang. Jika di
saung, berlima masih terasa lapang. Bahkan sepertinya 6-7 orang juga bisa.
Namun, di kamar yang di belakang, kami seperti pepes karena berlima lumayan
padat. Sebelumnya, di perjalanan pertama, hanya ada empat orang sekamar, jadi
masih sedikit lega.
Urusan kamar mandi, tidak usah khawatir. Kamar mandinya
banyak, dan dua kali menginap di sana, saya tidak pernah antre lama untuk
mandi. Selain itu, bersih juga meski dipakai untuk semua penghuni penginapan.
Soal makan juga bearable kok. Kami makan malam di sini dan …
melimpah. Mungkin karena kelelahan setelah bertualang ke curug di siang harinya
jadi makanan melimpah pun sudah habis. Namanya di daerah nelayan, jadi makan
malam tambah nikmat dengan ikan yang masih segar. Kami terlalu lapar, sehingga
tidak sempat memotret.
Ciletuh di malam hari sangat sunyi. Tidak ada lampu jalan,
dan tidak ada juga tempat yang bisa dikunjungi untuk nongkrong di malam hari.
Makanya, nongkrong di saung di Bukit Soca sudah cukup menyenangkan.
Mungkin, sepanjang tahun 2019 ini, hanya di Bukit Soca-lah
saya bisa tertidur jam sembilan malam.
Di pengalaman pertama, malam itu hujan. Kami bersyukur hujan
baru turun saat sudah sampai di penginapan sehingga tidak menghalangi
perjalanan di siang hari. Kedua kalinya tidak hujan, tapi anginnya kencang.
Ketika duduk-duduk di saung dan memandang pantai di bawah, saya sempat berpikir
soal bencana dari tengah lautan.
A week later, ada gempa besar di Banten, terus menjalar ke
Sukabumi. Di berita, air laut Pelabuhanratu sempat surut. Diperkirakan ada
gelombang tinggi di sana. Saya tidak tahu apakah Ciletuh mengalami dampak yang
besar, tapi berita itu membuat saya sedih, sebab saya sudah jatuh cinta dengan
Sukabumi.
Jika nanti kembali lagi ke Ciletuh, saya tetap akan memilih
Bukit Soca sebagai tempat menginap.
Ini Pak Andri, si pemilik Bukit Soca. Thank you for your hospitality, Pak.
Ini Pak Andri, si pemilik Bukit Soca. Thank you for your hospitality, Pak.
Cheers,
XOXO
Iif
Special thanks to Pak Andri and staff at Bukit Soca.
0 Comments:
Post a Comment