![]() |
Bersama teman-teman yang bertemu di Hostel, tepatnya Kyoto Hana Hostel |
-->
Masalah penginapan memang krusial, meskipun waktu yang
dihabiskan di penginapan sangatlah singkat. Jangan sampai salah memilih
penginapan, karena bisa-bisa malah merusak mood.
Enggak mau, kan, liburan berantakan karena tidak bisa tidur dengan nyenyak?
Selain itu, masalah penginapan juga memengaruhi budget. Maka dari itu, harus
berhati-hati dalam memilih akan menginap di mana. Enggak mau, kan, tekor karena
budget hotel membengkak?
Sebagai solo traveler,
hostel tentu menjadi pilihan yang tepat. Alasannya apa lagi kalau bukan karena
jauh lebih hemat ketimbang menginap di hotel atau AirBnB. Apalagi, Jepang itu
rajanya hostel dan capsule hotel,
sehingga bisa banget menekan pengeluaran.
Selain itu, hostel juga memungkinkan untuk bertemu orang
baru dari negara lain. Bukan hanya kaya pengalaman, hostel juga membuatmu
mendapat kenalan dan cerita baru dari teman baru.
Sebelumnya, aku belum pernah menginap di hostel, karena
seringnya lebih memilih hotel. Berhubung hotel sangat mahal untuk kantong
sendiri, jadi mau enggak mau ya hostel aja.
Beberapa pertimbangan turut membantu dalam menentukan hostel
mana yang dipilih.
1.
Nyaman. Aku bisa berseluncur di Trip Advisor
sampai halaman belasan sebelum menentukan hostel yang pas. Blame my Virgo side, ya, karena review jelek satu aja bisa bikin
kepikiran dan lupa sama puluhan review bagus. Hasilnya, sering banget dilanda
ragu sebelum memesan hostel. Aku sempat booking
beberapa hostel saking ragunya. Namun, enggak mungkin, kan, berpegang pada satu
review jelek dan abai sama puluhan review bagus? Akhirnya, aku membuat catatan
pertimbangan dan yakin memilih hostel yang nyaman untuk ditinggali.
2.
Jarak. Ini penting, karena aku ke berbagai kota
dan butuh menggeret koper. Jadi, semakin dekat ke stasiun, semakin mudah akses
ke stasiun, semakin oke. Google Maps sangat membantu untuk mengecek sejauh mana
jarak hostel ke stasiun.
3.
Lokasi. Percuma jarak dekat ke stasiun kalau
lokasinya Bronx atau kurang ramah. Apalagi kemungkinan besar akan pulang
sendiri ke hostel di malam hari, jadi kudu hati-hati. Makanya, cari di lokasi
yang terpercaya. Untuk kali ini, aku memilih lokasi yang dekat dengan lokasi
tujuan dan pusat keramaian, sehingga sedikit merasa aman saat harus pulang
malam.
4.
Instagramable. Niatnya, sih, mau foto-foto, tapi
sedikitpun enggak ada foto-foto di hostel ini, he-he.
Berikut review ala-ala hostel yang saya tinggali
Osaka Namba Hostel
Miyabi
Check it here: Hostel Miyabi
![]() |
Courtesy photo by: Hostel Miyabi |
Sesuai namanya, hostel ini terletak di daerah Namba. Ketika
memilih, aku memang fokus di daerah Namba, karena dekat dengan Dotonburi. Kalau
bisa, sih, yang walking distance dari
Dotonburi, antisipasi pulang malam dan kereta sudah enggak beroperasi.
Sejujurnya, ini bukan hostel pilihan pertama. Aku sempat
melirik hostel yang direkomendasi Wita, tapi ada beberapa review di Trip
Advisor yang membuatku ragu. Cukup sulit juga menemukan hostel dengan harga
bersahabat dan memenuhi semua keinginan yang seabrek.
Hingga akhirnya aku menemukan hostel ini. Tepatnya, dari
salah satu website berisi rekomendasi hostel. Review di TA juga meyakinkan.
Soal harga? Miring banget. Walking
distance dari Namba Station dan Dotonburi. Jadilah, aku pun memutuskan
untuk menginap di sini.
Sebuah pilihan yang tepat.
Namba berisi jalanan dengan gang-gang dan jalan-jalan kecil
yang cukup njelimet. Pertama kali sampai, aku sempat salah jalan karena titik
di Google Maps yang membingungkan. Dan juga, tidak ada papan penanda berukuran
besar, sehingga sempat skip.
Aku memilih kamar khusus perempuan. Satu kamar diisi oleh lima
bed untuk sepuluh orang. Oleh karena
aku takut tinggi, aku request bottom bed.
Tinggal kirim email, dan permintaanku disetujui.
Hostel ini terdiri dari empat lantai, dengan common room di lantai pertama dan rooftop. Kamarku ada di lantai dua.
Sayangnya, shower room ada di lantai
satu sehingga kalau mau mandi harus turun satu lantai dulu.
Di hostel ini, kita bisa menyewa slipper (100 Yen), handuk (100 Yen), dan beli minuman. Kita juga
bisa memakai peralatan dapur kalau mau makan. Ada penyewaan payung juga, untuk
jaga-jaga kalau hujan.
Kamarnya tergolong sempit, sehingga padat banget. Apalagi
kalau full, dengan koper bertebaran di
lantai, sehingga ruang gerak jadi terbatas. Namun, karena kamar fungsinya hanya
untuk tidur, jadi oke-oke aja. Di setiap bed
ada lampu tidur, colokan, dan hanger.
Terus, di dalam kamar juga ada wastafel dan hair
dryer, jadi bisa dandan di kamar.
Aku menginap dua malam di sini, dan cuma berkenalan dengan
dua orang teman sekamar. Sisanya enggak kenal, karena mereka belum bangun
ketika aku berangkat dan belum pulang ketika aku tidur, he-he. Aku juga enggak
manfaatin common room, saking
lelahnya sehingga langsung tidur.
Overall, I like it.
Skor 7,5 untuk hostel ini.
Kyoto Hana Hostel
Check it here: Kyoto.hanahostel.com
![]() |
Courtesy by: Hana Hostel |
This is my favorite.
Salah satu alasan yang membuatku jatuh cinta kepada Kyoto.
Soal lokasi, ini paling juara. Hanya berjarak lima menit
jalan kaki dari Kyoto Station dan selemparan kolor dari halte bis. Aku sampai
di Kyoto malam, sehingga sempat kelewat hostel ini karena tulisan yang kecil,
dan juga saat itu gerimis sehingga fokus menudungi kepala.
Hostel ini terasa lebih tradisional aja, begitu juga dengan
tempat tidurnya. Bunyi derit kedengeran banget, apalagi kalau tidurnya
berantakan. Namun, kalau sudah lelah, ya enggak bakal keganggu juga.
Aku juga menemukan hostel ini dari website berisi
rekomendasi. Jaringan hostel ini ada di beberapa kota. Tadinya, aku mau booking Hana Hostel juga di Osaka, tapi
batal karena pengin nyoba hostel lain.
Oh ya, kita bisa membeli Kyoto One Day Pass di sini, jadi
enggak perlu beli di stasiun, deh.
Kesan pertama begitu masuk hostel ini adalah hangat—padahal
di luar gerimis. Tempelan foto pengunjung di dinding depan resepsionis
menunjukkan keakraban, makanya terasa hangat.
Aku memilih female
dormitory. Kamarnya juga tergolong kecil, dengan tiga bed untuk enam orang. Di dalam bed
juga ada lampu tidur, hanger, dan
colokan—standar, sih. Namun, bedanya, tempat tidurnya tradisional gitu. Batas
antar bed hanya gorden aja, tapi
privasi tetap ada.
Begitu sampai, aku langsung disambut oleh Dreamy yang
berasal dari Shanghai. Kami langsung ngobrol hangat, padahal belum mandi,
he-he. Dia bahkan nawarin mochi yang dia beli di Uji. Di kamar itu, aku kenalan
dengan Lin, cewek Belgia yang setahun di jalan, juga Teresa dari Ceko.
Serunya, shower room
dan toilet pas di depan kamar, jadi kalau kebelet enggak perlu jauh-jauh,
he-he. Aku menempati Sakura Room di lantai dua. Total ada empat lantai, dengan common room di lantai satu dan rooftop. Aku juga request bottom bed, dan udah disiapin. Lucunya, ada nama kita di
atas bed jadi enggak perlu takut
salah tempat. Di sini juga bisa sewa handuk. Dan … sampo sama sabun mandinya
endes banget. Wanginya menenangkan. Sempat nanya mereknya sama Miki—yang jaga
malam—tapi lupa.
Di sini, aku sempat ke common
room. Asli, kayak di rumah. Sofa, televisi, gitar, meja makan, dan dapur
kecil. Jadinya kehangatan itu semakin kentara.
Dari semua hostel, ini favoritku.
Ini aku bareng Miki (yang jaga malam di hostel), Teresa, dan
Dreamy.
Skor? 9
UNPLAN Shinjuku
Check it here: unplan.jp
![]() |
Courtesy by: Unplan |
Oke, alasan terbesar memilih hostel ini karena …
Instagramable banget, he-he. Tadinya aku mau menginap di Book and Bed, di
daerah Shinjuku juga. Soalnya, konsep hostel sekaligus perpustakaan ini
benar-benar memikat. Namun, rasanya ragu aja karena banyak review yang bilang
kurang oke.
Nah, pilihan kedua jatuh ke hostel ini. Dibanding hostel
lain, ini yang harganya paling mahal. Berbeda dibanding hostel di kota
sebelumnya, hostel ini terasa banget modernnya. Pas check in aja di tab, dengan
konfirmasi check in dikirim langsung ke email, beserta pin pintu. Gaya bats,
he-he.
Namun, sempat ada kendala di sini. Ternyata, jaraknya
lumayan jauh dari stasiun JR Shinjuku. Pilihannya, jalan kaki sekitar 20 menit,
atau naik kereta ke stasiun lain, atau naik bis. Di malam pertama, sih, mau
sok-sokan ngecek sejauh mana, jadinya ngegeret koper lumayan jauh. Dan … sempat
ngelewatin red district, dengan drag
queen berjejer di trotoar. Sebuah pengalaman yang aduhai, he-he.
Kendala lain setelah sampai di hostel. Aku menginap di
lantai 4, dan pintu masuk ke dorm bisa dibuka pakai pin. Namun, pintu kamar
gagal terus. Terpaksa geret koper lagi ke lantai satu minta pin baru, dan geret
koper lagi ke atas. Untung ada lift, he-he.
Kesan modern juga terasa di kamar. Hostel ini kamarnya
besar, karena aku mengambil female dormitory
untuk 12 orang. Lagi-lagi, request
untuk bottom bed dikabulin.
Di hostel ini, tempat tidurnya terasa compact, dengan dominasi putih yang memberi kesan clean. Ada laci di bed, jadi aman kalau mau ninggalin barang penting. Selain itu, juga
ada lampu, hanger, dan colokan. Plus, handphone yang bisa dipakai.
Seperti hostel lainnya, di sini juga shared bathroom. Namun, banyak kok showernya jadi enggak perlu
berebutan. Di shower room juga ada hair dryer, plus lampu yang terang
sehingga nyaman untuk dandan.
Di sini, ada common
room di lantai satu. Plus, ada café
dan bar juga. Berhubung saat itu lagi ada Rugby
World Cup, jadi ramai sampai malam karena ada nobar. Kita juga dapat breakfast di café di basement, tapi aku enggak nyoba karena breakfast ready jam 7.30 sementara aku
sudah cabut dari hotel jam 7. Serunya, depan hostel ada Sevel jadi kalau butuh
beli sesuatu, gampang banget.
Mungkin karena kesan dingin yang kurasakan di Tokyo, hostel
ini juga terasa dingin. Dalam artian orang-orangnya ya. Individualis. Beda banget
dengan di Kyoto.
Overall? Aku, sih,
suka.
Skor: 7
Ueno Uno Hostel
Check it here: uno-ueno.com
Jadi, setelah di Tokyo, aku jadi bertanya-tanya: apa gunanya ganti hotel di malam terakhir? Entahlah. Yang pasti, kuharus cabut dari UNPLAN dan pindah ke hotel ini. Letaknya di daerah Ueno. Meski semalam, area ini terasa beda banget dibanding Shinjuku. Lebih tenang dan sedikit hangat.
Dibanding hostel lain, Uno ini yang kamarnya paling sempit. Aslik,
begitu menggeret koper masuk aja susah banget karena mentok di wastafel dan
tempat tidur. Ada dua bed untuk empat
orang. Begitu buka koper di depan bed,
udah habis aja ruang geraknya. Jadinya, aku bongkar koper di lorong di luar,
deh, he-he. Beruntung ini hari terakhir, dan sebelum berangkat dari Shinjuku
aku sudah menyiapkan pakaian di tas tambahan, jadi enggak perlu buka koper.
Karena semalam, dan sampai di hotel ini sudah malam lalu
langsung berangkat lagi esok pagi, aku enggak banyak explore soal hostel ini. Tapi,
di sini ada café yang seru kayaknya buat kerja di lantai satu. Aku lupa apakah
hostel ini punya common room atau tidak.
Dan … sampo serta sabunnya sama kayak di Kyoto. Lagi, aku
lupa namanya apa, tapi wangi banget.
Ada cerita soal hotel ini. Jadi, aku sudah menyimpan koper
di stasiun pagi-pagi, lalu lanjut jalan ke Odaiba dan berakhir di Asakusa. Siang
itu panas banget, sampai-sampai mau pingsan gitu di Asakusa. Jadinya, aku
putusin untuk balik ke hotel. Dari Jakarta udah mengecek lokasi, dan senang
karena hostelnya cuma selemparan kolor dari stasiun. Jadi, dengan pedenya aku
pun menuju arah yang ditunjuk di Maps. Sedikit mondar mandir gaje karena maps
enggak jalan, dan polisi yang menjawab dingin serta sama sekali tidak membantu
saat ditanyain arah. Begitu asal jalan, eh bener mapsnya jalan dan arahnya
tepat. Senang banget karena hotelnya ada di area Ameyoko yang disebut sebagai
pusat belanja murahnya Ueno.
Tapi, setelah sampai di lokasi kok enggak ada tanda-tanda
hostel? Cuma toko, toko, dan toko. Aku sempat nanya ke ibu-ibu di toko dan dia
bingung, seingat dia enggak ada hostel di situ.
Panik? Pasti. Niatnya mau tidur sore dulu sebelum jalan, eh
ini udah sore banget.
Akhirnya, setelah inhale
exhale beberapa kali, aku pun membuka email konfirmasi dan mengarahkan ke
maps yang ada di Agoda. Ternyata, yang aku tuju itu namanya Uno. Memang, si Uno
ini yang ada di daftar pencarian teratas kalau search Ueno Uno di Maps. Sementara
tempat yang seharusnya kutuju itu Hotel Uno. Parahnya, letaknya berseberangan,
he-he. Jadilah aku balik ke stasiun dan menuju arah yang benar. Lumayan capek, apalagi
saat itu pusing banget. Begitu sampai kamar, langsung tewas.
Lesson learned: pastikan lokasi yang dituju itu benar, enggak
langsung menyimpulkan begitu saja.
Skor: 7 kurang sedikit karena sempit, he-he.
Overall, semua hostel ini lumayan memenuhi semua keinginan,
dengan sedikit minus yang enggak terlalu mengganggu. Kalau kamu ke Jepang,
mungkin bisa mengecek hostel ini.
çorlu
ReplyDeletesinop
van
kastamonu
bitlis
JDVKNN