Japan Trip: Kyoto yang Cantik dan Menawan Hati, Tak Cukup Hanya 2 Hari

Leave a Comment
Kinkakuji yang berdiri angkuh di tengah kolam

-->

Perjalanan selanjutnya saya menuju Kyoto, langsung dari Kobe. Banyak yang berpesan bahwa saya pasti akan jatuh cinta pada Kyoto. Kenyataannya, memang demikian.

Saya sampai di Kyoto malam hari, sekita pukul tujuh, dan disambut hujan. Begitu menginjakkan kaki di luar stasiun, aku langsung disambut Kyoto Tower dan lightshow di bagian luar stasiun. Lumayan, untuk menghibur diri setelah perjalanan dari kota sebelumnya.

Tadinya, aku berencana hanya satu hari di Kyoto. Namun, terjadi perubahan rencana sehingga aku menghabiskan 1.5 hari di sana. Itu pun masih kurang, karena ada banyak banget tempat menarik yang ingin aku kunjungi tapi waktunya sudah tidak ada.

Meskipun sebagian besar perjalananku di Kyoto terhitung mainstream, enggak ada salahnya dong untuk berbagi tempat apa saja yang dikunjungi?

Menghabiskan pagi menjelang siang yang syahdu di Hozugawa River

Hozugawa River Boat Ride from Kameoka to Arashiyama

Pagi-pagi, ketika tiba di stasiun Arashiyama, aku disambut oleh petugas mengenakan baju seolah-olah dari zaman dulu, mempromosikan Torokko Romantic Train. Tergodalah, tentunya, he-he.

Kereta itu akan membawa kita ke Kameoka. Nah, untuk kembalinya, ada tiga cara. Bisa membeli tiket pulang pergi, jadi kereta itu akan membawa lagi ke Arashiyama. Cara kedua, naik bis ke stasiun JR Kameoka untuk kembali ke Arashiyama.


Torokko Train

Atau cara ketiga, naik perahu yang dijalankan secara manual memakai tenaga manusia di sepanjang Hozugawa River. Ini yang paling mahal, tapi menurutku sih worth ya. Akhirnya, aku naik kereta ke Kameoka. Karena masih di penghujung musim panas, sepanjang jalan pemandangannya sungai Hozugawa dengan pohon dan dedaunan berwarna hijau. Sesekali, ada perahu yang melintas di sungai itu.


Kereta berakhir di Kameoka, sebuah desa di Kyoto. Begitu sampai Kameoka, rasanya sangat hening. Aku tidak sempat eksplor Kameoka, karena harus mengejar bis yang akan membawa ke pelabuhan kecil tempat si perahu ini. Namun, di sepanjang jalan aku jarang melihat rumah, kebanyakan sawah-sawah dengan ujung berupa perbukitan. Jalanan yang bagus dan sepi. Sepertinya seru juga jika menghabiskan waktu lebih lama di desa ini.

Kameoka

Di sekitar terminal kecil menuju Hozugawa River


Perjalanan kembali ke Arashiyama memakan waktu dua jam. Sungai ini membelah hutan dengan pohon pinus di sekelilingnya. Airnya hijau jernih, dengan arus yang tidak terlalu besar. Rasanya nyaman dan tenang banget. Jadi, selama dua jam itu, kita tidak ngapa-ngapain selain menikmati pemandangan sekitar.

Bagi sebagian orang terasa membosankan. Aku sering mendapat pertanyaan, ‘trus lo ngapain aja di perahu dua jam enggak ada sinyal?’

Balik lagi ke kalimat sebelumnya, aku merasa enggak sia-sia mengeluarkan uang banyak untuk mengikuti trip ini. Selain aku mendapat pengalaman baru menginjakkan kaki di Kameoka, tempat yang tidak ada di daftar seharusnya, aku juga punya waktu to talk to myself. Yes, I don’t realize that I need that time until I have it. Dua jam yang sangat berharga karena bisa bercengkrama dengan diri sendiri. Melihat sudah sejauh mana berjalan selama ini. Mengulik kembali semua rencana yang dimiliki.

Di hulu sungai, di desa Kameoka

Kalau autumn atau winter, pasti lebih syahdu sih


Intinya, itu dua jam yang berharga karena aku bisa berbincang dengan diri sendiri. Baru kusadari kalau sudah lama banget enggak menyediakan waktu khusus untuk berbicara dengan diri sendiri. Baru nyadar, ya, kalau waktu untuk diri sendiri itu mahal. Bahkan, aku harus ke Jepang dulu untuk bisa bicara dengan diri sendiri.

Sebenarnya siang itu panas, tapi karena di sekeliling ada pepohonan, rasanya sejuk. Di beberapa tempat, aku melihat pohon tumbang. Kata si pendayung perahu, itu karena typhoon. Dahsyat banget ya, sampai pohon besar di hutan sampai tumbang.

Ketika perjalanan mau usai, ada perahu lain yang jual makanan


Di beberapa titik, aku juga bertemu warga lokal, umumnya ibu-ibu, yang menyelam. Memang, ada yang bekerja sebagai penyelam. Seperti di drama Korea, he-he.

Hutan bambu Arashiyama

Arashiyama Bamboo Forest

Perjalanan dengan kapal berakhir di dekat Togetsukyo Bridge. Dari sana, aku melanjutkan perjalanan menuju Arashiyama Bamboo Forest. Tentunya, melewati kedai kopi kecil yang sangat hits itu, % Arashiyama. Siang itu ramai, meski antre tidak lumayan panjang.

Dekat Togetsukyo Bridge, tepat di seberang % Arabica


Di sepanjang jalan menuju hutan bambu juga dipenuhi dengan camilan yang menggugah selera. Aku sempat menyicipi matcha ice cream dan mochi strawberry matcha. Enak dan bikin nagih.


Mochi matcha strawberry, endeusss

Ice cream matcha + sakura. Segar di tengah hari bolong

Sebelum sampai ke hutan bambu, aku sempat mampir ke Tenryu Ji Temple. Tadinya pengin masuk, tapi karena sudah siang dan masih banyak yang ingin dikunjungi, akhirnya aku membatalkan niat.

Tenryu Ji Temple hanya dari luar


Sesampainya di Arashiyama Bamboo Forest, sudah ramai. Jadi,agak susah untuk mendapatkan latar belakang foto yang kosong. Aku menyusuri jalanan setapak yang di kiri kanan dipenuhi bambu.


Diriku di tengah bambu

Sekilas info, aku berasal dari kampung kecil bernama Aur Kuning. Aur itu adalah bambu, jadi di kampungku dulu ada banyak banget rumpun bambu. Memang, tidak seindah dan setertata di Arashiyama, tapi tetap saja, bambu. Sehingga, ketika berada di hutan ini, aku bisa reconnecting lagi dengan masa lalu, asal usulku yang sebenarnya.

How far I go pun terngiang di benakku.

Kinkakuji yang megah

Istana emas yang sangat cantik

Selanjutnya, aku menuju destinasi berikutnya. Kinkakuji alias Golden Pavilion. Lumayan jauh juga, sih, jalan dari halte menuju Kinkakuji ini, dan ramai.

Kinkakuji ini berupa pavilion kecil yang terletak di tengah kolam, jadi tidak bisa dimasuki. Hanya bisa dinikmati dari jauh saja. Di sekeliling kolam ada pagar bambu sebagai pembatas. Di sekeliling kolam itu, orang-orang bergerombol mengabadikan keindahan Kinkakuji.

Diriku plus photobomb anak kicik di belakang


Ada cerita seru di sini. Menjelang pintu keluar, ada tempat melempar koin. Sudah pesimis, sih, karena biasanya keseimbanganku tuh parah banget. Sehingga, enggak yakin koin bakal masuk. Ternyata, langsung masuk di percobaan pertama. Aku hanya bisa terkaget-kaget. Someone said to me, you’re wish will come true.

Ini dia tempatnya

Salah satu bagian di dalam kompleks Kinkakuji

I hope he’s right. Karena sesungguhnya, berada di Jepang saja merupakan impian yang menjadi nyata.

Nishiki Market untuk mengisi perut

Nishiki Market tempat memamah biak

Sebenarnya, tujuan selanjutnya adalah Ginkakuji. Sejenis Kinkakuji, tapi ini silver pavilion. Aku mengejar waktu dengan naik bis. Sedikit curhat, naik bis di Kyoto sedikit bikin pusing. Aku sempat salah halte. Seharusnya naik dari halte di seberang. Akibatnya, jadi muter-muter dan begitu sampai di Ginkakuji sudah tutup.

Terpaksa aku membatalkan niat ke Ginkakuji. Sekadar saran, kalau ingin ke Kinkakuji dan Ginkakuji sekaligus, lupakan naik perahu di Hozugawa, karena itu lumayan memakan waktu.

Bawaannya pengin beli semua

 
Yang jualan ternyata pernah tinggal di Indonesia ceunah
Tujuan selanjutnya adalah Nishiki Market. Jajan, yeaiii!!! Saatnya memamah biak. Di sore itu, beberapa toko di Nishiki Market sudah tutup, tapi aku masih sempat jajan di beberapa tempat. Bukan cuma makanan, tapi juga es krim jeruk yang enak banget.

Gion yang syahdu di kala senja dan Maiko San yang cantik

Gion yang syahdu di kala senja

Lanjut, Gion. Aku dipesenin sama temanku, Wita, untuk ke Gion saat senja, jadi langitnya bagus, oranye keunguan gitu. Pas banget, sih. Aku memilih untuk jalan kaki dari Nishiki Market ke Gion, sekalian menikmati angin sore yang lembut. Kyoto sore itu lumayan ramai dan padat.

Sesampainya di Gion, aku bertemu MAIKO SAN!!!

Kesan pertama, cantik banget. Tadinya aku pengin banget melihat Geisha, meski sebenarnya serba salah, sih. Apalagi belakangan ada peraturan dilarang foto di Gion, karena warga sana merasa terganggu. Ya, aku juga mempertanyakan apa tujuannya memotret Geisha?

Tapi, aku mau bertemu Geisha.

Di sinilah aku berpapasan dengan MAIKO SAN!!!


Sayangnya, aku tidak ketemu Geisha. Itu pun setelah mendengar penjelasan Miki, penjaga hostel, ketika aku cerita. Dia yang memberitahu kalau yang aku temui itu bukan Geisha, melainkan Maiko.

Bagiku tidak masalah, karena Maiko juga cantik banget. Beruntungnya lagi, aku bertemu empat orang Maiko San. Dan, di keempat pertemuan itu, aku cuma bengong memandang mereka dari kejauhan, lalu berpapasan, dan kemudian menghilang dari pandangan.

Ini di perjalanan dari Nishiki Market menuju Gion. Cantik banget perpaduan gedung modern dan tradisional plus langit yang mulai menggelap


Secantik Memoirs of a Geisha, meski minus Ken Watanabe.

Fushimi Inari dan trekking di pagi hari

Sebuah keputusan yang tepat pagi-pagi sekali sudah sampai di sini, karena belum ramai

Hari kedua, pagi-pagi sekali, aku sudah tiba di Fushimi Inari. Sebuah keputusan yang tepat, selain karena udara pagi yang masih segar, juga karena belum terlalu banyak orang. Saking sepinya, sempat ngeri juga ketika menelusuri deretan tori seorang diri.







Tadinya, aku cuma pengin sampai di titik temu pertama, lalu balik. Namun, kayaknya sayang aja, jadinya lanjut, deh.

Di sinilah kepalaku ditemplokin burung yang berkoak


Ada kejadian yang lumayan mengagetkan. Ketika di tengah-tengah Fushimi Inari, tepatnya di antara deretan tempat berdoa, dan ada patung rubah di sekeliling, lalu tiba-tiba ada burung berkoak nemplok di kepala. Ya kagetlah, kirain ada apa.

Shrine di dalam Fushini Inari

Kalo capek jalan, di dalam ada banyak vending machine. Ada jajanan juga. Plus, toko yang jual suvenir lucu


Akhirnya, aku menjelajah seluruh Fushimi Inari. Enggak terasa, sudah mengelilingi Fushimi Inari aja. Begitu sampai di ujung, langsung disambut dengan deretan food stall yang menjual jajanan yang menggelitik selera.

Saatnya memamah biak!!!




Kyomizudera yang dipadati orang-orang


Selanjutnya adalah Kiyomizudera. Sekali lagi, harus berhujan-hujan ketika menuju Kiyomizudera. Apalagi perjalanan yang lumayan jauh dari stasiun dan menanjak. Untungnya, ada banyak yang jualan es krim di kiri kanan jalan, sehingga ada alasan untuk mampir.

Menuju Kiyomizudera



Menelusuri Kiyomizudera serasa kembali ke masa lampau. Sebab, rumah-rumah di sekitar sini kental banget dengan unsur tradisionalnya. Ditambah, ada banyak yang menyewa kimono dan jalan-jalan memakai kimono, sehingga suasana masa lalu semakin terasa.





Sepulangnya dari Kiyomizudera, aku melewati pertokoan dan melihat Starbucks dengan desain bangunan tradisional Jepang, salah satu Starbucks yang unik di dunia. Sekali lagi, rasanya seperti tengah berada di masa lalu, karena banyaknya yang memakai kimono.








Rasanya berat untuk pergi dari Kyoto. Benar kata orang, Kyoto akan menawan hati. Mungkin, aku sudah meninggalkan separuh hatiku di Kyoto, dan akan kembali lagi suatu hari nanti.

Meski berat, tapi perjalanan harus berlanjut. Aku pun harus mengejar Shinkansen demi berlabuh ke kota selanjutnya, Tokyo.

Si norak pertama kali naik Shinkansen

By the way, ini pengalaman pertamaku naik Shinkansen. Norak, he-he.

XOXO,
Iif

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig