The True Fashion Icon

Leave a Comment
Suatu malam, saya membaca sebuah artikel di Fimela.com dan saya tertarik dengan artikel tersebut. Maka dari itu, saya me re-post nya di blog ini.
Berikut isi artikel tersebut.

Fashionista dunia, siapa mereka?
Kini, yang jadi style icon tidak hanya model ataupun selebriti. Sosok-sosok gaya di balik lembar majalah dan selebriti tersebut justru jadi idola baru. Yuk, kenalan dengan para Fashion Editor dan Stylist kelas kesayangan dunia fashion saat ini!

1. Anna Dello Russo
Inilah sosok favorit para fotograer pemburu gaya, Anna Dello Russo, Editor at Large dan Creative Consultant untuk Vogue Jepang. Gayanya senantiasa dramatis dan glamor. Mulai dari hiasan kepala berbentuk ceri emas ukuran besar, jaket rumbai kulit, gaun panjang dipadu topeng bulu, segala sesuatu yang dikenakan oleh Anna selalu merebut perhatian dan "berteriak". Ia tinggal di Milan namun senantiasa bepergian ke penjuru dunia untuk melakukan pemotretan. Menyebut dirinya sebagai kolektor karya fashion, di Milan ia memiliki dua apartemen yang bersebelahan. Satu untuk ditinggali, satu untuk menyimpan koleksi busana dan aksesorinya. Ia mengaku memiliki lebih dari 4000 pasang sepatu!
Komentar: Super duper wow. Punya dua apartemen which is salah satunya untuk menampung koleksi dia yang seabrek dan 4000 pasang sepatu? That's my dream, you know????

2. Anna Wintour
Inilah sosok dingin yang dijuluki sebagai Bunda Maria-nya dunia fashion. Editor in Chief dari majalah Vogue edisi US ini memang tidak suka basa basi dan dikenal sebagai business woman yang handal. Tidak hanya berhasil memimpin Vogue US menjadi otoritas fashion lewat 20 tahun kariernya di sana, ia juga menjadi penentu gaya fashion macam apa yang dijual di pusat perbelanjaan Amerika dan juga dunia. Seorang trendsetter dalam artian sesungguhnya. Novel "The Devil Wears Prada" yang menceritakan soal sosok keji seorang Editor in Chief majalah fashion ditulis oleh mantan asistennya, jadi tidak heran ketika banyak orang menyamakan tokoh tersebut dengannya.
Komentar: The TRUE fashion icon, Fashion Lady, Ibu Suri dunia permajalahan. Kalau saja ada kesempatan yang memungkinkan saya menjadi Personal Assistant dia, biar kata dia lebih kejam daripada Miranda Priestly, saya rela.

3. Kate Lanphear
Sosoknya sungguh ikonik, gaya androgini, warna hitam dan rambut pendek pirang platinum. Style Director dari Elle edisi US ini dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan tidak banyak omong. Ia kelahiran Amerika namun sempat bekerja di Vogue Australia selama 8 tahun sebelum kemudian kembali ke New York dan akhirnya bekerja di Elle bersama dengan Joe Zee. Majalah Elle kerap memunculkan anggota timnya ke beberapa acara TV, mulai dari Nina Garcia yang dulu merupakan Fashion Director mereka, hingga Joe Zee, pengganti Nina, yang muncul di serial Ugly Betty dan Anne Slowey yang jadi bintang reality competition, The Stylista. But, not Kate. Ia memilih jauh dari sorotan.
Komentar: Her androginy (personal) style is awesome. Superbbbb. Jauh dari 'pergunjingan' karena sifatnya yang adem ayem. Cool.

4. Giovanna Battaglia
Lihat kaki jenjangnya, tidak heran kan kalau ia dulunya seorang model? Sekarang Giovanna adalah Editor utama untuk Vogue Gioiello, majalah keluaran Vogue Itali khusus soal perhiasan. Anna Dello Russo dulu pernah menjadi pimpinannya di L'Uomo Vogue. Gaya favoritnya adalah yang melibatkan rok atau celana super pendek, dan Azzedine Alaia adalah desainer favoritnya. Putera Carine Roitfeld, mantan Editor in Chief Vogue Paris, Vladimir Restoin Roitfeld adalah pacarnya. Walau kerap terlihat dalam kemasan gemerlap, Giovanna mengaku pernah tidak tahan dengan gaya hidupnya yang serba fashion, ia kemudian berbekal ransel menjadi backpacker mengelilingi Thailand selama sebulan!
Komentar: Gimana caranya dia bisa dapetin cowok se hot Vladimir? Aihh, Vlad ada kloningannya nggak ya di Indonesia?

5. Emmanuelle Alt
Sosok jenjang di sebelah kanan adalah Emanuelle Alt, Editor in Chief Vogue Paris yang baru. Sebelumnya dia adalah Fashion Director untuk majalah tersebut. Selain sebagai editor, ia juga menjadi konsultan stylist untuk beberapa label fashion seperti Balmain. Ialah yang berjasa menjadi pencetus tren "Balmainia" dan kembalinya baju dengan siluet pundak menjulang. Saat fashion week tiba, ia kerap membawa puterinya yang masih kecil ikut menghadiri fashion show bersama, a working mother!
Komentar: Sudah ada satu tulisan full tentang dia. yang bikin dia makin keren: seimbang karier dan keluarga. berharap bisa seperti dia kelak.

6. Joanna Hillman

Senior Fashion Market Editor untuk Harper's Bazaar US ini dikenal sudah menjadi favorit para fotografer tapi kini jadi makin terkenal sejak ia menyetujui untuk difoto setiap hari selama 30 hari dan kemudian fotonya dimuat di website majalah Bazaar. Setiap hari ia muncul dengan padu padan yang serba stylish dan penuh inspirasi. Dan tentunya bibir merah yang jadi ciri khasnya. Ia mengaku baru beberapa tahun terakhir mulai mengenakan lipstik, awalnya iseng mencoba suvenir lipstik dari sebuah acara yang dihadirinya. Sekarang, lipstik Lady Danger dari MAC jadi favoritnya.
Komentar: Ide 30 days of style nya keren dan gayanya totally cool. Kalau di Indonesia ada yang mau bikin 30 days of Style, Izabel Jahja saya rasa cocok.

7. Taylor Tomasi Hill
Menjabat sebagai Style & Accessories director majalah Marie Claire edisi US, Taylor dikenal dengan gayanya yang senantiasa berubah dan kaya unsur mix & match. Ia menyebut dirinya sebagai "bunglon" berdasarkan gayanya tersebut. Walalu banyak yang menanyakan padanya soal warna rambutnya yang merah menyala, namun itu jadi rahasia yang tidak dibagi olehnya. Walau koleksi sepatunya memenuhi apartemen, ada di setiap ruangan dan di setiap lemari kecuali kulkas katanya, ia justru memilih sepatu Converse klasik warna hitam sebagai sepatu favoritnya.
Komentar: Cantik banget sumpah. Dan rambutnya itu loh, dari jarak 3 meter udah ketahuan kalau itu dia. Once more: she's a shoe fetish, haha.

Itulah daftar fashion icon yang dikeluarkan Fimela. Namun, saya memiliki satu lagi tambahan, and this is it
Carine Roitfeld
Mungkin, jika Carine masih menjabat sebagai Editor in Chief Vogue Paris, dia akan ada di daftar ini. Namun, meski mantan model ini tidak lagi menduduki posisi itu, pengaruhnya di dunia fashion tidak akan pudar secepat itu. A true lady. Cantik, otak bisnisnya cihuy dan berbakat. Uniknya, madam ini juga seimbang antara karier dan keluarga (oh my, anaknya Vladimir hot abissss. Julia juga cantik) dan penerusnya, Emmanuelle Alt juga. Mungkin sudah jadi trademark Prancis kali ya, very romantic.

Kalau saya boleh berpendapat, apakah di Indonesia juga ada? Tentu saja. Berikut daftar fashion icon Indonesia version ala saya.
1. Izabel jahja (editor in chief Harper's bazaar Indonesia)
Mantan model *yang pernah tersandung kasus pornografi* ini memang layak menjadi seorang ikon fashion Indonesia. Selain pintar dan cantik, her personal style is really really cool. Elegant and glamour at the same time.

2. Adeline Juni Mewengkang (Editor in Chief ELLE Indonesia)
Menurut saya, dia adalah Anna Wintour-nya Indonesia. Meski berada di dekat dia merasa terintimadasi, justru itulah kelebihannya menurut saya. Sosok wanita cantik dan stylist tapi juga kuat dan tangguh. Dan ya, saya suka sekali dengan haircut asimetrisnya. Cool. Pertanyaannya: mbak, butuh personal assistant nggak? Saya bersedia loh.

3. Fira Basuki (Editor in CHief Cosmopolitan Indonesia)
EIC sekaligus novelis. Kamu semua tentu sudah tahu betapa saya mengidolakan dia. Sosok perempuan Indonesia asli berjiwa global, cantik dan berbakat serta memiliki hati putih dengan kepeduliannya terhadaap anak-anak terkena kanker. Soal style? Two thumbs up.

4. Petty S Fatimah (Editor in Chief Femina)
Ibu suri dunia permajalahan Indonesia. Menggawangi majalah wanita PERTAMA Indonesia. Otak bisnisnya juga keren dan selalu berbagi di seminar wanita wirausaha. Seringkali bergaya klasik dan elegan, ciri khas Indonesia. Yang lebih saya kagumi dari dia: Mbak petty lulusan Komunikasi UI loh (seniorku).

5. Ivana Atmodjo (Editor in Chief EVE)
Selain di majalah, mbak ini juga bertanggungjawab terhadap wardrobe Metro TV. Seorang musisi sejati yang menguasai banyak bahasa. Fashion consultant Indonesia dengan sertifikasi internasional. Wow.

6. Zornia Devi (Editor in Chief Grazia Indonesia)
Awalnya saya tidak terlalu melirik dia, tapi ketika dia hadir dengan potongan rambut cepak (mungkin hanya sekitar 3 cm), saya langsung tersentak. Wow. That was really really cool. Berani and so chic. Kerennn.

Untuk sementara hanya ini yang bisa sampailkan mengenai daftar yang saya buat. Untuk ke depannya ada tambahan? Well, mungkin saja. Saya tegaskan juga bahwa versi Indonesia ini adalah hasil pemikiran subjektif saya, kamu mau setuju atau punya pendapat lain? Silakan saja. Saya jsutru berharap munculnya daftar baru dari kamu semua.

love (and be stylist in every moment),

SHARE:
0 Comments

MODE

2 comments
Seperti biasa, begitu jam 9 malam, Writing Session hadir dengan tema baru. Sudah lama saya tidak mengiktuinya. Entah karena sedang malas, temanya kurang sreg atau tdak ada waktu. Lalu, malam ini pilihan temanya membuat mata saya terbelalak.
Temanya adalah FASHION.
Jadi, buat kamu yang mengenal saya tentunya paham mengapa saya excited menjawab tantangan ini. Dan, setelah berkutat selama 75 menit, jadilah tulisan sebanyak 1734 kata ini. Panjang memang karena saya memasukkan diri saya ke dalamnya. Ceritanya tidak jauh-jauh dari majalah lifestyle dan sosok pemimpin redaksi. Untuk tulisan ini, saya terinspirasi dari kehidupan pemimpin redaksi ;kitab suci; saya *bagi yang mengenal saya tentu paham siapa dia dan majalah apa yang saya maksud*.
Mungkin kalian menganggap tulisan ini lebay tapi percayalah: kenyataan di dalam majalah sana adalah seperti ini.
So, this is it...

MODE oleh Ifnur Hikmah

“Astaga Renata.”

Teriakan nyaring dari arah belakang membuatku terlonjak kaget. Untung saja refleksku bagus. Kalau tidak, sebungkus gula ini pasti sudah ku lempar saking kagetnya.

Aku berbalik dan mendapati Lasja, temanku –well, teman bukanlah istilah yang tepat. Rival sepertinya lebih cocok mengingat ketidakakuranku dengannya- berdiri melongo. Wajahnya terlihat kaget dengan mulut menganga dan mata membulat besar. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar.

Jujur, aku merasa ekspresi Lasja berbelihan. Seperti melihat hantu di siang bolong saja.

“Hai,” sapaku malas. Ughhh, aku selalu malas berurusan dengan Lasja, dan tidak sengaja bertemu dengannya di hari libur ibarat mimpi buruk untukku.

“Ya ampun Renata. Lo abis kebanjiran? Atau rumah lo kebakaran?” cerocos Lasja asal.

Lagi-lagi aku mengernyit. “Lo apa-apaan sih. Lo nyumpahin gue yang nggak-nggak ya?”

Lasja menatapku secara seksama. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sedikit pun tak ada yang terlepas dari pengamatannya. “Gue kaget aja lihat penampilan lo. Lo nggak kayak Renata yang biasa gue lihat. Acak-acakan. Lo kayak nggak mengenal sisir. Fine, kalo lo ingin terlihat messy, tapi nggak kayak gini.”

Aku membuka mulut untuk menanggapinya tapi Lasja terus menyerocos tanpa henti.

“Trus kaos yang lo pakai? Iyuhhh, kalo gue cuma mau make itu pas tidur. Dan celana lo. Masih jaman celana digulung? Kayak abis kebanjiran aja. Renata… Renata,” Lasja menggelengkan kepalanya. “Seorang editor in chief majalah fashion ternama di Indonesia berpenampilan seperti ini? Gue yakin, Coco Chanel bakal menggelinjang di alam sana melihat salah satu anak didiknya menyalahi hukum fashion.”

Aku mencibir. “Sja, rumah gue cuma berjarak satu blok dari sini dan gue ke sini hanya buat beli kopi dan gula. Buat apa gue dandan full make up and full dress up?” Dengan tatapan nyinyir aku memandang Lasja. Penampilannya hari itu memang ‘So Lasja’. Strap heells, legging merah menyala dan strip dress half shoulder selutut. Belum lagi wajahnya yang full make up dan rambut bob yang ‘ughhh.. so chic’. “Lo kayak mau ke mall atau acara apa gitu,” celetukku.

Lasja angkat bahu. “It’s a must baby, apalagi bagi orang seperti kita. Penampilan adalah yang nomor satu. Mungkin saja kita bertemu klien kan?”

“Ya ya..” timpalku singkat. Jujur saja, aku ingin Lasja segera enyah dari hadapanku.

Sepertinya Lasja menyadari ketidaksukaanku sehingga dia burur-buru pamit. “Oke baby, gue duluan. Gue cuma mampir buat beli rokok. Kebetulan rokok Josh habis. Daghh….”

Aku melambaikan tangan malas. Kedatangan Lasja benar-benar merusak mood. Dan apa katanya tadi? Josh? Sial ternyata dia masih pacaran dengan Josh. Aku semakin gondok. Josh kan model yang diorbitkan majalahku, kenapa dia bisa pacaran dengan Lasja padahal jelas-jelas aku yang mengenalnya lebih dulu.

Oke oke, aku memang cemburu, tapi kecemburuan ini murni berdasar pada ketidaksukaanku pada Lasja. Bukan berarti aku mencintai Josh, hanya saja aku tidak suka model yang ku orbitkan jatuh ke tangan rival sejatiku. Itu artinya, Josh akan lebih sering muncul di Night Out, majalah Lasja, ketimbang di Mode, majalahku, meskipun jelas-jelas awal karirnya di Mode.

Arghhh, persetan dengan Josh. Sekarang aku benar-benar terganggu dengan komentar Lasja.

Mau tak mau aku harus mengakui bahwa Lasja benar. Penampilanku memang berantakan. Aku hanya mengikat rambut tanpa disisir terlebih dahulu, mengenakan kaos rumah dan celana jins belel yang sudah kumiliki sejak di bangku kuliah. Untuk menambah keamburadulanku, aku mengenakan sandal jepit yang sebetulnya lebih cocok untuk dipakai ke pasar.

Jika aku berkaca maka aku seperti tak mengenal siapa yang dipantulkan kaca tersebut. Itu bukanlah seorang Renata Danurjaja yang biasa berpenampilan edgy dengan sederet koleksi coat yang biasa menemani hari-harinya. Tapi, bukankah kepergianku ke mini market ini begitu spontan? Kopiku habis dan aku tidak bisa hidup tanpa kopi di pagi hari. Tanpa ba bi bu lagi, langsung saja aku beranjak ke mini market dekat rumah. Mana mungkin aku sempat berpikir untuk dandan dulu?

Lasja memang berlebihan, tapi Lasja bukanlah satu-satunya orang yang selalu mengusik penampilanku. Seolah seluruh dunia menyuruhku untuk selalu tampil rapi dan fashionable. Seolah semua orang di sisiku memaksaku untuk tampil cantik dengan setumpuk pakaian dan aksesoris branded di tubuhku. Seolah glamour telah menjadi nama tengahku.

Aku tidak mengingkarinya. Toh, inilah duniaku dan aku yang memilih untuk tinggal di dalamnya. Kecintaanku pada dunia fashion dan majalah membuatku terdampar di MODE, sebuah majalah fashion and lifestyle yang mengaku sebagai the largest magazine in Indonesia. Setelah bertahun-tahun berkutat sebagai pembaca, maka sejak dua belas tahun lalu aku berhasil masuk ke dalam jejeran redaksi dan selama dua tahun belakangan, aku dipercaya memegang tampuk kepemimpinan alias Pemimpin Redaksi. Posisi ini –dan juga majalah tempatku bekerja- menuntutku untuk selalu tampil glamour. Toh, majalah ini juga memanjakanku dengan limpahan materi yang membuatku bisa sesuka hati keluar masuk toko atau butik ternama. Belum lagi kiriman-kiriman dari klien MODE. Dalam waktu sebulan, tak terhitung barapa banyak baju, tas, sepatu, aksesoris, bahkan make up yang ku pakai, semuanya di endorse oleh klien MODE. Ditambah lagi dengan gadget mutakhir yang menunjang penampilanku, semuanya bisa ku miliki. Dengan sebaris dua baris kalimat di majalah, koleksi terbaru dari seorang desainer berhasil ku miliki. Mereka bilang itu barang contoh, aku tidak peduli. Yang penting, lemariku terus terisi dan semakin lama semakin sesak.

Posisi ini tidak hanya membuatku dikenal di kalangan penggiat fashion tanah air. Sebagai salah satu majalah franchise dari kota mode dunia, Paris dan New York, maka tak pelak lagi, para icon fashion dunia pun bisa ku jangkau. Contohnya, bulan lalu aku baru saja kembali dari Prancis karena Thierry Mugler –ya, maestro parfum itu- mengundangku sebagai perwakilan dari Indonesia untuk datang langsung ke pabrik mereka di paris. Jalan-jalan ke Paris gratis –meski dengan judul tugas liputan- dan pulang dengan sebotol parfum terbaru serta bercengkarama dengan pemimpin redaksi dari berbagai belahan dunia adalah pengalaman tak ternilai untukku.

Karena itulah seolah-olah dunia tak mengizinkanku untuk tampil seadanya. Wong aku cuma mau ke mini market dekat rumah, masa aku harus pake long coat dan ankle boots –gaya andalanku-? Toh kepergianku tak lebih dari sepuluh menit. Beda ceritanya jika aku harus bertemu klien atau sekedar berangkat ke kantor. Tampil chic is a must. Ini juga yang aku ajarkan kepada ‘anak-anak’ di kantor. Kita bekerja di majalah fashion, kita memberitahu pembaca tentang tren terbaru, kita bersikap ibaratnya sebuah kitab suci berisi panduan gaya hidup terkini, maka sudah seharusnya kita –para pekerja di belakangnya- tampil sempurna. Kita adalah representasi dari MODE. Itulah yang selalu ku katakana pada anak-anak.

Namun, bukan berarti hal ini membuatku tak boleh tampil seadanya. Jika boleh, aku mendeskripsikan diriku seperti dua sisi mata uang. Saat di kantor, aku adalah Renata si glamour, tapi saat aku berada di dunia kecilku, maka aku adalah Renata si gadis biasa yang terkadang tampil dengan rambut messy, kaos butung dan jins belelnya.

Lalu, mengapa takdir selalu mengkonfrontasiku? Seolah-olah aku tak boleh tampil biasa. Lasja bukan satu-satunya orang yang pernah mengkritikku seperti tadi. Tiga bulan lau, saat aku dan Philip –tunanganku- memutuskan untuk backpacking keliling Jawa bareng Sita, sepupu Philip. Namanya juga backpacking, tentu kaos, jins dan keds adalah padanan yang sesuai. Namun, saat aku melangkah keluar dari pintu, Sita menatapku dengan ekspresi kaget.

“Ternyata lo bisa merakyat juga Ren,” ujarnya.

Saat itu aku hanya tersenyum masam sementara Philip berusaha keras menyembunyikan tawanya.

Lain waktu, masih bersama Philip. Saat itu kami berencana untuk jalan-jalan ke sebuah desa di kaki Gunung Salak. Otomatis ankle boots, strap heels, coat dan tote bag serta wayfarer andalanku mendekam di rumah. Sebagai gantinya cukup celana jins selutut, polo shirt dan Doc Mart. Tahu yang membuatku kesal? Tak lain adalah komentar Philip.

“Ren, kamu bisa juga lepas dari sepatu hak tinggimu.”

Ini tak seberapa. Saat MODE mengadakan acara amal membantu korban bencana gempa, aku ikut terjun langsung ke lapangan. Aku membantu para pengungsi di tenda pengungsian. Berhari-hari di sana tentu membuatku tak lagi mempedulikan wajah. Toh, keadaan warga Yogya jauh lebih menarik perhatinku. Satu dua jerawat bermunculan di pipi.

Suatu siang, bos besar datang dari Jakarta. Saat itu aku tengah makan siang dengan para pengungsi. Penampilanku tentu sangat jauh dari kesan chic, apalagi glamour. Hanya sebuah kaos oblong dan celana jins belel. Melihatku, si bos berteriak lantang.

“Renata, are you okay?

I’m fine. What’s wrong?

“Kamu nggak jauh beda sama korban gempa di sini.”

Otomatis aku terbelalak. Tiga hari tinggal bersama mereka jelas saja membutku cukup membaur. Tapi si bos sepertinya jijik melihatku. Lha wong yang biasa dia lihat adalah Renata yang always look fabolous and very fashionable.

Inilah yang selalu mengganggu pikiranku. Aku memang bekerja di tempat dimana aku dituntut untuk selalu terlihat fabolous tapi aku tetap saja manusia biasa yang duniaku tak hanya berkisar di MODE. Aku sering jalan-jalan keliling Jakarta, backpacker dan kalau lagi malas, maka aku pun tampil seadanya. Namun, saat aku mewakili MODE atau datang ke acara yang menuntutku untuk rapi, aku juga bisa memenuhi tuntutan mereka. Seperti yang dikatakan ‘ibu suri’ Coco Chanel, Fashion fades, only style remains the same. Seperti apapun pergerakan fashion, aku tetap sebagai pemegang kendali atas apa yang ku kenakan.

Aku memang si pemuja fashion. Aku selalu mengikuti perkembangan terbaru. Namun prinsipku, akulah yang membentuk mode, bukan mode yang membentukku. Aku selalu melihat, sedang dimana aku dan siapa yang ada di hadapanku sebelum memutuskan untuk memakai sesuatu. Fashion memang selalu melalju dengan cepat tapi bukan berarti kita harus selalu mengikutinya? Aku menyukai gaya Carrie Bradshaw tapi aku cukup tahu diri untuk tidak memakai summer dress di Jakarta. Intinya, akulah yang menggerakkan fashion, bukan fashion yang mendikteku.

Prinsip itu selalu ku pegang, meski terkadang dunia yang ku tinggali tidak mengizinkannya. Aku tidak ingin seperti Lasja yang justru diperbudak mode. Dia yang harus mengikuti keinginan dunianya, bukan dia yang menentukan apa yang seharusnya dilakukannya. Aku tidak ingin seperti itu. Saat aku mewakili MODE, maka jadilah aku the stunning Renata. Namun saat aku menjelajah, maka inilah aku, si backpacker gila.

Dan saat aku hanya keluar rumah demi gula dan kopi, bukan berarti the stunning Renata harus ikut keluar tho?

Aku mendesah. Berat memang, tapi inilah konsekwensi yang harus ku jalani. Aku yang memilih dunia ini, so akulah yang harus bertanggung jawab.

Pertemuan dengan Lasja memang menurunkan mood –heii, bukankah selalu seperti itu? kapan kami pernah akur?- tapi bukan berarti aku terpengaruh dengan ucapannya dan jadi seperti dia.

“Hanya ini mbak?” ucapan si petugas kasir membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk.

Si kasir mengambil uang yang ku sodorkan dan menghitung kembaliannya sambil sesekali curi-curi pandang kepadaku.

“Ada apa?” tanyaku risih.

Dia tersenyum malu. “Saya cuma pangling lihat mbak. Mbak Renata yang biasa saya lihat tidak acak-acakan seperti ini,” ujarnya pelan dan tidak berani menatapku.

Aku tercekat. Geram. Bahkan, petugas kasir di mini market kecil dekat rumahku juga menuntutku SELALU TAMPIL SEMPURNA?

Ya Tuhan, dunia macam apa ini?


love,


SHARE:
2 Comments

Little Wonders

5 comments
Beberapa hari terakhir, kicauan saya hanya seputar 'mengucapkan selamat tinggal' pada seseorang yang saya namakan dengan tagar #L.
Ya, saya memang ingin mengucapkan selamat tinggal padanya. Akhirnya, setelah 4,5 tahun kuliah, dia bisa juga meraih gelar Sarjana Sosial dari kampus tercintanya. Dan kelulusan itu berarti, tak kan ada lagi cerita antara saya dan dia, atau tepatnya, saya tak kan merangkai cerita lagi.
Memang tak ada cerita berarti, hanya saya yang selalu dan selalu menggoreskan pena kehidupan mengatasnamakan dia. Saya yang menyikap hari demi hari dengan menautkan dia. Hanya saya. Tak pernah ada dia. (Sekalipun ada, itupun seteah melalui akal licik yang mendiami kepala saya.)
Namun, semua ini saya lakukan karena rasa. Rasa untuknya.
Lalu, selepasnya dia dari kampus, dimana lagi saya bisa mengukir cerita? Bukannya saya tak percaya pada takdir yang mungkin saja telah mengatur pertemuan tidak disengaja kita -suatu hari nanti-, tapi saya lebih percaya pada realita. Realitanya, tak ada tali atau bahkan selembar benang tipis pun yang mengikat kita dan dunia ini tidak terlalu baik hati untuk mempertemukan dua orang yang bahkan saling bertukar senyum pun jarang. Kalaupun takdir sedang memihak saya dengan mempertemukan kita nanti, apa yang bisa saya lakukan? Selain kembali menatap dari jauh?
Jadi, dengan berpijak pada realita, saya putuskan untuk mengucapkan selamat tinggal saja.

Seolah semesta berpihak pada saya, dia pun diterbangkan ke seberang lautan sana. Ya, berkat pekerjaan yang baru saja didapatnya, dia terpaksa pindah ke provinsi paling barat Indonesia. Terima kasih takdir, kau sama sekali tak berbaik hati. Dan ku jadikan ini pertanda bahwa DIA BUKAN UNTUKKU.

Jadilah saya menye-menye ria beberapa hari terakhir ini. Sekedar menguatkan hati bahwa inilah akhir cerita saya. Bukankah selama ini juga tak ada cerita berarti? Lalu, buat apa saya menikam diri dengan pisau sepi? Berurai air mata tak berarti. Menangguk kenangan yang tak begitu indah untuk di impi.

Baiklah. Mungkin ini hanya sekedar cinta di awal masa dewasa saya. Lagipula, saya dan dia begitu berbeda, buat apa saya terus bermuram durja? Pada cinta tak nyata dan tak seharusnya ada?

Oke oke. Saya akan bergerak maju. Berdoa pada Tuhan Maha Penggerak Laju. Berusaha berjalan di muka bumi dengan langkah menderu. Dan kepercayaan di kalbu. Saya yakin pada satu. Akan ada rasa baru. Untukku. Dan akan memberikan akhir yang indah untukku. Untuk kehidupanku.

Hiburan dari teman saya @FhiaFT. Dia menyuruh saya mendengarkan lagu Little Wonders dari Rob Thomas. Katanya, liriknya sangat menyentuh dan bisa memberi semangat untuk melangkah maju. (Well, saya hanya berani menyimak liriknya saja dan tidak mau ambil pusing dengan nama penyanyinya. Bagi yang mengenal saya pasti paham dengan maksud saya).
Let it go, let it roll right off your shoulder
Don't you know the hardest part is over
Let it in, let your clarity define you
In the end we will only just remember how it feels

Our lives are made in these small hours
These little wonders, these twists & turns of fate
Time falls away, but these small hours,
These small hours still remain

Let it slide, let your troubles fall behind you
Let it shine until you feel it all around you
And i don't mind if it's me you need to turn to
We'll get by, it's the heart that really matters in the end

Our lives are made in these small hours
These little wonders, these twists & turns of fate
Time falls away, but these small hours,
These small hours still remain

All of my regret will wash away some how
But i can not forget the way i feel right now
love,

SHARE:
5 Comments

PELUK

2 comments

"Kamu mau kemana?"

"Aku mau bikin sarapan."

"Nanti dulu."

"Loh? Kok nanti dulu? Kamu nggak lapar?"

"Lapar sih, tapi masih bisa ditahan. Sini! Aku mau meluk kamu terus. Seperti ini."

***

"Kamu udah tidur?"

"Belum. Kenapa?"

"Malam ini aku tidur sambil meluk kamu ya."

"Tiap malam kamu juga meluk aku."

"Tapi kamu suka gerah malam-malam trus lepasin diri dari pelukan aku."

"Kalau gitu, dinaikin aja AC-nya."

"Nanti kamu kedinginan."

"Kan ada kamu yang meluk aku. Nggak mungkinlah aku kedinginan."

"Kalo gitu aku akan meluk kamu terus. Seperti ini. Sampai pagi."

***

"Kamu mau pergi tiga hari aja kayak mau pergi setahun."

"Tiga hari kan lama sayang."

"Bagaimana kalau kamu beneran pergi selama setahun ya?"

"Aku pasti akan mati meranggas karena rindu. Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Kalau aja aku bisa nolak kerjaan ini, pasti sudah aku tolak."

"Ditahan aja rindunya sampai kamu pulang."

"Susah. Aku pasti bakalan kangen banget sama kamu. Kangen dengerin suara kamu. Kangen lihat wajah cantik kamu. Kangen meluk kamu. Itu yang bikin aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu."

"Gombal kamu mas."

"Aku serius ma. Tujuh tahun tinggal bareng kamu, tiap hari bareng kamu terus, mana bisa aku jauh-jauh dari kamu? Aku udah terbiasa selalu sama kamu dan aku butuh kamu selalu."

"Iya mas. Aku juga. Tapi yang namanya hidup kan nggak bisa sekehendak kita. Yang penting sekarang kamu kerjain pekerjaan kamu dan langsung pulang begitu selesai."

"Pasti itu, ngapain aku lama-lama disana sementara hatiku berontak ingin cepat pulang."

"Kamu kok makin gombal sih mas?"

"Aku serius sayang. Sini, aku mau meluk kamu. Tiga hari ke depan aku kan nggak bisa meluk kamu. Aku mau peluk kamu sepanjang malam. Selamanya."

***

"Kalau kamu bisa minta, apa yang akan kamu minta mas?"

"Cukup satu: aku diizinkan meluk kamu terus."

"Kenapa?"

"Karena dengan adanya kamu di pelukan aku, aku merasa tenang. Aku merasa hidup. Dengan meluk kamu, aku jadi punya tujuan hidup, bahwa aku nggak sendiri dan langkahku bisa mantap karena tujuannya jelas, yaitu kamu. Dengan meluk kamu, aku bisa menyampaikan apa yang nggak bisa aku ungkap secara lisan, bahwa aku begitu mencintaimu melebihi kata cinta itu sendiri. Dengan meluk kamu, aku nggak khawatir akan hari esok karena ada kamu yang memenuhi pandangan mataku ketika aku membuka mata."

"Lalu, kalau kamu nggak bisa meluk aku lagi?"

"Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Lebih baik aku yang pergi dulu."

"Kamu egois. Apa kamu pikir aku nggak sedih kamu tinggal? Aku juga nggak bisa hidup tanpa kamu."

"Aku bukanlah pria terbaik untukmu. Setelah aku nggak ada, kamu bisa mencari pria lain yang jauh lebih baik."

"Aku nggak nyangka kamu begitu egois. Kamu pikir aku bisa mencari penggantimu? Sekarang bagaimana kalau dibalik?"

"Aku nggak bisa. Sungguh."

"Mas, berjanjilah padaku bahwa kamu tidak boleh sedih jika suatu hari nanti aku pergi."

"Aku akan menyusulmu. Justru, kamulah yang harus berjanji untuk mencari kebahagianmu ketika aku sudah tidak ada. "

"Tidak bisa."

"Kamu pasti bisa. Heiii, kamu jangan pergi. Aku masih ingin meluk kamu."

"Aku nggak mau dipeluk kalau kamu masih ngomong kayak gitu."

"Iya, iya. Aku nggak akan ngomong gitu lagi. Aku cuma ingin meluk kamu."

"Mas, coba ya kita bisa membekukan waktu. Aku ingin membekukan waktu sekarang, saat kita berpelukan seperti ini."

"Iya sayang. Aku ingin selamanya kita seperti ini."

***

Malam ini begitu dingin mas. Biasanya aku tak pernah kedinginan karena kamu selalu meluk aku. Tapi setahun ini aku selalu kedinginan. Tak ada lagi dekap hangat darimu.

Aku kangen kamu mas. Bukankah kamu tahu kalau aku nggak bisa hidup jauh-jauh darimu? Aku limbung mas, nggak ada tempatku berpijak, nggak ada yang menuntunku.

Kamu kebahagiaanku mas. Aku nggak bisa mencari kebahagiaan lain selain kamu. Maaf mas jika aku tidak menepati janji. Aku nggak bisa nahan air mataku, kesedihanku, kegamanganku. Aku butuh kamu, di sini, di sisiku.

Ah, betapa aku merindukanmu, cintaku.

Aku merasa kedinginan mas. Butuh berapa lama lagi waktu yang harus ku tempuh sampai akhirnya kau menjemputku? Sungguh ku ingin berada di pelukanmu lagi.

Mas, peluk aku.

Dari surga, rumah abadimu.


Love,


nb: erinspirasi dari mereka yang ditinggalkan dengan cepat oleh suaminya tercinta (Dinda Nawangwulan dan Angelina Sondakh)

SHARE:
2 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig